Mengapa Kita Suka yang Manis-Manis?

Pemanis buatan sifatnya menipu otak, karena rasa manis terasosiasi dengan sumber energi. Padahal kandungan energinya zonk.

Rabu, 28 September 2022 | 16:44 WIB
0
97
Mengapa Kita Suka yang Manis-Manis?
Pemanis buatan (Foto: kingsckt.com)

Kasus somasi PT Esteh Indonesia Makmur terhadap pemilik akun Twitter Gandhoyy, memicu lahirnya berbagai tema atau berita yang berkaitan dengan yang manis-manis. Umumnya tema yang berhubungan dengan kesehatan dan industri minuman. Saya sendiri tertarik untuk membahas dari sisi yang lain, mengapa kita umumnya (kalau bukan semuanya) suka dengan yang manis-manis?

Sebelum melenceng ke topik lain, biarlah kucegah di awal bahwa tulisan ini tentang kemanisan makanan dan minuman loh ya. Bukan yang manis-manis itu, yang bisa membuat hati gemetaran dan lutut goyah. Hehehe.

Sejumlah penelitian ilmiah menunjukkan bahwa bayi atau anak-anak menyukai makanan-minuman yang rasanya manis dan lidahnya lebih sensitif terhadap rasa yang lain, khususnya rasa pahit, dibandingkan dengan orang dewasa.

Sudah dari sononya (genetis) kita menyukai rasa manis (Scientific American/NIH). Hal ini terutama dikarenakan sumber energi utama kita adalah glukosa (monosakarida dari golongan karbohidrat) yang naturnya berasa manis.

Apalagi anak-anak yang sedang dalam fase pertumbuhan dan perkembangan, dimana mereka membutuhkan asupan energi yang relatif lebih cepat yang sifatnya instan, yang langsung dimetabolisme oleh sel-sel tubuh.
Sedangkan sumber energi kita yang lain, lemak dan protein, mesti diubah dulu secara kimiawi di organ hati (liver) yang ujung-ujungnya menjadi glukosa juga.

Dengan demikian, sadar tidak sadar, kita jadi menyukai rasa manis pada berbagai jenis makanan dan minuman.

Dalam kehidupan sehari-hari, biasanya kita memperoleh glukosa dari gula pasir (sukrosa), gabungan glukosa dan fruktosa yang langsung dipisahkan oleh sel. Sebelum digunakan oleh tubuh, fruktosa diubah dulu menjadi glukosa.

Bagaimana dengan kadar kemanisan?

Tingkat kemanisan suatu makanan atau minuman pada setiap orang bisa berbeda, subjektif. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pola asuh orangtua dan lingkungan kebudayaan dimana kita lahir dan dibesarkan. Terkait hal ini, Gandhoyy mungkin berasal dari latarbelakang keluarga atau lingkungan yang tidak begitu menggemari yang manis-manis, atau lidahnya memang secara biologis sensitif terhadap kadar kemanisan.

Kadar kemanisan produk-produk di pasaran, nilainya sekitar 10-20 BRIX menggunakan alat refraktometer. Sebagai gambaran, 1 BRIX setara dengan 1 gram gula pasir dalam 100 ml air.

Bagaimana dengan pemanis buatan?

Pemanis buatan yang jamak kita temukan dalam produk makanan-minuman diantaranya adalah aspartame, sucralose, acesulfame, saccharin, xylitol dan steviol. Sejumlah penelitian ilmiah menunjukkan ada kecenderungan pemanis buatan memicu lahirnya berbagai penyakit.

Namun hal ini masih menjadi bahan perdebatan yang alot di kalangan ilmuwan. Hingga saat ini tidak ada konsensus resmi ilmiah yang jelas mengenai aman atau tidaknya pemanis buatan bagi kesehatan kita.

Yang jelas, pemanis buatan sifatnya menipu otak, karena rasa manis terasosiasi dengan sumber energi. Padahal kandungan energinya zonk. Bukan berarti saya anti pemanis buatan, namun sebaiknya dihindari. Baik alami maupun buatan, asupan yang manis-manis sebaiknya dibatasi.

[- Rahmad Agus Koto -]

***