Kritik Agama

Semoga dia bisa tetap kokoh dalam keimanan, semoga di manapun dia hidup kelak, bisa menjadi wajah Islam yang ramah dan berkemajuan.

Sabtu, 19 Februari 2022 | 11:07 WIB
0
255
Kritik Agama
Islam di Norwegia (Foto: portal-islam.co.id)

Kemarin siang sepulang sekolah wajahnya sumringah. Saya tahu hari itu dia ada ujian lisan susulan. Fatih (15 tahun - kelas 10) jadi peserta terakhir karena dia sempat absen 4 hari sebab sakit tempohari. Ujian lisan mata pelajaran KRLE (Kristen, Agama, Filosofi, dan Etika), salah satu mata pelajaran wajib yang didapat sejak kelas 6 SD (kalau nggak salah ingat). 

Iya, di Norwegia ada pelajaran agama, meski bukan tentang ritual atau akidah. Hanya pembahasan semua agama secara prinsip. Ya Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Bunda, Yahudi, sampai atheisme dan humanisme. Biasanya tiap sesi diawali dengan membaca teks di buku wajib. Kemudian guru akan memantik diskusi, yang biasanya berlangsung seru.

Kembali ke wajah sumringah tadi. Fatih cerita, bahwa ulangan lisan itu berlangsung 30 menit, sedangkan kata teman-temannya, mereka cuma dikasih waktu selama 10 menit. Temanya adalah kritik terhadap agama. Tema yang ngeri-ngeri sedap, ya. Tapi ya begitulah iklim belajar di negara demokrasi dan liberal. Siapapun bebas berpendapat dan mengkritik apapun, termasuk agama.

Meski lebih lama, Fatih was really in his elements. Kalau disuruh bercerita tentang topik yang dia sukai dan kuasai, Fatih memang selalu semangat, sampai kadang sudah dihentikan.

"Nggak terasa tadi aku ditanya-tanya sampai 30 menit, Nda. But it was all worth it. Aku dapat nilai 6!"

FYI, sistem nilai di sekolah Norwegia sangat berbeda dengan di negara lain. Skalanya dari 1-6 (1 terendah, 6 tertinggi).

Saya jadi penasaran, jawaban apa aja yang dia sampaikan, sampai bisa dapat nilai maksimal begitu.

"Awalnya guruku tanya, apakah di zaman maju seperti sekarang agama masih diperlukan? Bukannya tanpa agama kita bisa hidup tenang dan sukses di dunia?"

"Wah, berat pertanyaannya. Kamu jawab apa?"

"Ya, aku bilang, bahwa aku yakin agama itu diturunkan Tuhan untuk manusia, agar manusia punya panduan dalam hidupnya. Dari agama kita bisa paham asal-muasal alam semesta, asal dari kita sebagai manusia, bagaimana segala sesuatu bekerja di alam. Aku bilang, bahwa ilmu pengetahuan justru banyak diciptakan karena keyakinan manusia tentang ayat-ayat di kitab sucinya. Banyak ilmuwan sejak dulu dan sekarang yang membuat penemuan justru dari apa yang dia pelajari dari alam, dari keyakinan bahwa alam ini ada The Highest Being yang menciptakan."

Fatih melanjutkan, bahwa dengan menjadi seorang muslim, dia punya pegangan dan tujuan hidup yang lebih jelas. Gimana supaya bisa bermanfaat untuk orang banyak, gimana hidup yang betul supaya selamat di dunia dan akhirat.

Dia bilang, gurunya mendengarkan dengan seksama, sambil sesekali bertanya.

"Gurumu 'kan agnostik, ya? Gimana responnya waktu dengar penjelasan kamu? Kira-kira dia berpikir kamu terlalu konservatif, nggak?"

"Mungkin aja, Nda. Tapi dia respek sama aku. Seperti halnya aku respek dengan semua orang. Aku bilang, aku nggak bisa berpendapat tentang agama lain, karena aku nggak punya pengetahuan yang cukup untuk itu. Yang aku tau, sampai kapanpun Islam akan tetap relevan. Sampai sekarang aku merasa butuh untuk melaksanakan ibadah. Ibadah membuat hidupku lebih tenang. Agama menjadi rambu-rambu supaya aku nggak melanggar aturan Tuhan.

O ya, guruku juga tanya, sebagai orang Islam, apa pandanganku tentang ISIS, Al-Qaeda, dan sejenisnya. Aku jawab, bahwa aku yakin Islam di zaman sekarang tidak diperjuangkan dengan cara kekerasan, terlebih pada orang yang nggak bersalah. Perkecualian seperti di Palestina yang tanahnya direbut paksa oleh Israel. Tapi selain itu, aku lebih memilih cara dakwah yang ramah. Aku nggak akan memaksakan agamaku ke teman-teman; ini lho, Islam. Agama yang paling sempurna, sambil menjelekkan agama lain. Aku lebih memilih menyebarkan Islam lewat perilaku yang baik. Menurutku akan lebih baik kalau umat Islam bersatu, nggak ribut melulu. Kuat secara ilmu dan ekonomi. Baru kita kuasai dunia seperti zaman kejayaan Islam dulu. Aku nggak mau orang mendapatkan kesan dan pesan yang salah gara-gara segelintir muslim yang justru merusak citra agamanya sendiri."

"MasyaAllah. Bagus sekali argumenmu, Nak. Jadi, kamu nggak ada kritik untuk agama?"

"Ya, untuk Islam jelas nggak ada, Nda. Aku bilang ke guruku, bahwa sampai kapanpun aku akan tetap menggenggam Islam dalam hati. Karena bagiku Islam adalah agama yang paling sempurna.

Terus guruku tanya lagi, kalau dalam agama katanya Tuhan Mahapengasih dan Mahapenyayang, kenapa banyak bencana alam?

Ya, aku jawab: bencana itu adalah salah satu cara Tuhan menjaga keseimbangan alam. Juga cara Tuhan untuk memberi peringatan, bahwa bencana datang karena manusia yang merusak alam. Atau bisa juga, Allah mendatangkan bencana yang memakan korban jiwa, karena Dia ingin mengirim orang-orang beriman ke surga lebih cepat."

Makjleb saya mendengarnya. Seeing this boy has grown up into a fine young man with strong principles, somehow I feel that as parents, we have done something right.

Masih banyak pertanyaan lain, yang intinya memancing Fatih untuk berpikir kritis terhadap agama dan keyakinan. Termasuk isu LGBTQ yang selalu saja menjadikan Fatih seperti berdiri sendirian. Fatih malah mengkritik kaum atheis yang susah payah berusaha mematahkan eksistensi Tuhan, namun kenyataannya penganut agama malah semakin banyak. Juga kenyataan kaum murtad yang kemungkinan menemukan kesalahan pada agamanya lalu meninggalkannya. Untuk yang ini, Fatih menjawab itu adalah soal pilihan dan takdir. Perlu keimanan yang kuat untuk meyakini kedua hal tadi. 

Bagaimanapun, saya salut pada ibu guru yang bersikap objektif. Terlepas dari pandangan dan prinsip hidupnya yang banyak bertentangan dengan yang dianut Fatih, beliau bisa tetap menilai dengan jernih dan adil. Tak heran kalau Fatih justru dapat nilai tertinggi.

Di antara teman-teman sepergaulannya, Fatih memang seperti anomali. Bahkan gurunya sendiri bilang, bahwa dalam banyak hal, Fatih is on a league of his own.

Saya yang sudah umur segini, belum tentu bisa membela dan mengagungkan agama saya di hadapan orang berkeyakinan lain, tanpa bersikap defensif. Apalagi menyampaikan dengan lugas secara lisan bukan dalam bahasa ibu. Membayangkannya aja udah keringat dingin duluan. 

Ini tentu karena karunia Allah dan doa-doa kami sebagai orangtua selama ini. Dan doa-doa Fatih juga agar ia selalu dalam penjagaan Allah di jalan-Nya yang lurus.

Perjalanannya masih sangat panjang. Semoga dia bisa tetap kokoh dalam keimanan. Semoga di manapun dia hidup kelak, bisa menjadi wajah Islam yang ramah dan berkemajuan.

***