Ulama Hebat dari Robot dan Pengalaman Haji Dunia Metaverse

Pro dan kontra akan terjadi akibat liarnya teknologi canggih dan para kreatornya. Tapi di era kebebasan, siapa yang bisa melarang?

Senin, 14 Februari 2022 | 08:14 WIB
0
288
Ulama Hebat dari Robot dan Pengalaman Haji Dunia Metaverse
Oculus untuk Metaverse (Foto: terkini.id)

Pengalaman beragama dan persepsi kita soal agama akan berubah radikal. Perubahan ini datang justru bukan dari fatwa ulama, tapi dari sentuhan teknologi canggih.

Baiklah kita mulai dari apa yang sudah ada. Lalu kita beranjak pada apa yang akan terjadi sebagai konsekwensinya.

Itu berita dari dunia Arab sendiri. Tepatnya berita dari media The New Arab, 21 Desember 2021. Judul beritanya cukup mencolok mata: “Can’t Go to Mecca? Saudi Arabia Bring Hajj to the Metaverse With ‘VR Black Stone’ Experience.

Dalam berita itu, tampak foto seorang berpakaian Arab dengan kacamata simulasi 3 dimensi. 

Berita itu menyatakan, dari rumah kita masing masing, kita bisa tak tak hanya melihat batu hitam yang suci (Hajar Aswad di pojok Ka’bah, di Mekkah). Tapi kita juga bisa seolah olah menyentuh batu suci itu, menciumnya, dan merasakan aromanya.

Program "Inisiatif Batu Hitam Virtual" memungkinkan umat Islam untuk "mengalami” Hajar Aswad secara virtual sebelum ziarah ke Mekah. Ini menurut akun Facebook resmi Haramain.

 Haramain - diterjemahkan sebagai "dua tempat suci" - mengacu pada Mekah dan Madinah dan khususnya dua masjid suci di sana.

Wow! Bukan main. Lama saya terdiam merenungkan peristiwa ini.

Jauh hari sebelumnya, juga terjadi sejenis revolusi di kuil Buddha Jepang.

Ini berasal dari berita CNN tahun 2019. Judulnya juga mencolok mata: The Android Priest That Revolutionizing Buddhism.

Diberitakan sebuah kuil Budha di Kyoto, di Koidaji Temple. Penganut Budha di sana diam tafakur mendengatkan kotbah pendeta.

Begitu fasih dan mendalam pendeta itu menyampaikan ajaran inti Budha dalam durasi 25 menit. Gerak tangan, tatapan mata dan suaranya memberikan keheningan dan kedalaman.

Yang istimewa, pendeta itu ternyata robot. Ia dibuat dengan ukuran manusia dewasa. Walau badannya dari alumunim, namun tubuh yang terlihat dan wajahnya terasa seperti kulit manusia biasa.

Biksu Budha kuil itu, Tensho Goto, menceritakan kuil ini sudah berusia 400 tahun lebih. Hanya beberapa tahun belakangan, mereka terpikir menampilkan pendeta yang sangat hebat dalam bentuk robot.

Pendeta robot ini diberi nama Mindar. Dana dihabiskan sekitar 1 juta USD, atau 15 milyar rupiah untuk menciptakan robot ini. Mereka bekerja sama dengan ahli robot: Professor Hiroshi Ishiguro dari Osaka University.

Robot ini dibuat menyerupai citra Kannon Boddhissatva, The Buddhist Goddess of Mercy.

Ujar Tensho Goto, pendeta robot ini akan semakin hebat. Ia akan terus dimasukkan input informasi aneka ceramah terbaik dan inti ajaran Buddhism yang paling menyentuh. Semakin lama pendeta robot itu akan tambah pintar.

Tak ada pendeta biasa yang akan mengalahkan pendeta robot. Pendeta biasa akan mati. Sementara pendeta robot akan terus hidup dengan artificial inteligence yang semakin canggih.

Maka, hanya masalah waktu saja. Jika tidak di negara Arab, atau di Dubai, atau di Indonesia, maka pertama kali itu akan terjadi di Cina, atau Eropa atau Amerika Serikat.

Akan hadir ulama yang hebat sekali. Ulama ini sangat menyentuh memberikan dakwah agama. Sesekali ia mengutip dan melantunkan ayat suci Quran dengan suara yang sangat merdu.

Berbeda dengan ulama biasa, ulama hebat ini tak sakit dan tak mati, karena Ia robot. Ia dilengkapi pula dengan artificial inteligence.

Makkah dan Madinah di dunia virtual juga akan terlepas dari kontrol pemerintahan Arab Saudi. Pihak swasta akan mengembangkan umroh virtual dan haji virtual yang dapat dialami siapapun dari rumah masing masing.

Umroh dan haji yang asli hanya bisa dialami penganut Muslim. Tapi umroh dan haji virtual melalui simulasi tiga dimensi dapat dialami siapa saja, kapan saja, dimana saja.

Akan terjadi ketegangan yang lazim, antara apa yang mampu diciptakan oleh teknologi, dan apa yang dilarang oleh etika dan hukum agama.

Tapi siapa yang bisa mengontrol kreativitas ilmuwan dan entrepreneur? Mereka bisa beroperasi dimana saja. Mereka tak tunduk pada aturan nasional negara lain.

Maka segera lahir simulasi susulan yang meniru aneka pengalaman dari berbagai agama. Misalnya pengalaman 3 dimensi ikut eksodus Nabi Musa lengkap dengan kisah laut dibelah tujuh.

Kita dapat seolah menjadi salah satu pengikut Nabi Musa dalam eksodus itu. Kita alami semua yang diceritakan kitab suci. Bahkan video games ini dapat lebih mendramatisasinya.

Atau pengalaman 3 dimensi ikut hadir ketika Yesus (Nabi Isa) diadili dan bejalan membawa salib. Kita seolah hadir di sana. Kita melihat bunda Maria yang bersedih hati. Juga nampak Maria Magdalena yang terpana.

Kita pun merasakan suasana batin murid Yesus yang galau dan tak berdaya. Video games juga dapat menampilkan tambahan adegan dramatik lainnya.

Atau pengalaman 3 dimensi mendampingi Budha ketika ia memutuskan merenung di hutan untuk mendapatkan pencerahan. Kita mendengar langsung petuah Buddha ketika ia keluar istana, sampai ia mendapatkan pencerahan.

Semua kemungkinan teknologi di atas memberikan berbagai efek sekaligus. Ia bisa mendangkalkan pengalaman agama menjadi sekedar seperti permainan video games. 

Atau bisa juga sebaliknya. Di tangan seorang pencari yang serius, simulasi 3 dimensi pengalaman agama itu justru memberi keheningan religius tersendiri, yang lebih mendalam dan personal.

Pro dan kontra akan terjadi akibat liarnya teknologi canggih dan para kreatornya. Tapi di era kebebasan, siapa yang bisa melarang? 

Simulasi teknologi tinggi 3 dimensi yang menawarkan aneka pengalaman beragama secara virtual akan meluas dan memiliki komunitasnya sendiri.

Denny JA

***

13 Feb 2022

CATATAN

1. Berita soal pengalaman virtual batu hitam Hajar Aswad

2. Pendeta Buddha di Jepang itu ternyata robot