Jika anak tetap disekolahkan terlalu dini, potensi blast (Bored, Lonely, Afraid/ Angry, Stress, Tired) malah berkembang. Hal tersebut tentu tidak baik bagi perkembangannya kelak.
Ada yang beranggapan bahwa anak-anak yang disekolahkan formal sejak dini mempermudah mereka dalam menyerap setiap ilmu yang telah diajarkan di sekolah.
Anggapan itu pun tak sepenuhnya salah, tetapi juga tak sepenuhnya bisa dikatakan benar.
Anggapan tersebut mungkin dapat dikatakan benar karena memang usia perkembangan anak khususnya usia dini adalah masa keemasannya dalam bertumbuh kembang. Pada fase tersebut, anak memiliki kemampuan berkembang yang sangat pesat dibandingkan dengan fase usia pertumbuhan lain. Anak akan sangat sensitif dalam menerima segala informasi lingkungan sekitar dan pengaruh dari luar.
Perkembangan tersebut berkaitan dengan perkembangan dari sisi berpikir, emosi, dan kecerdasan serta perkembangan motorik, maupun sosialnya.
Namun, di sisi lain, kemampuan anak secara mental belumlah matang secara sempurna. Hal tersebut berpotensi mengakibatkan anak akhirnya cepat jenuh dalam mengikuti proses belajar mengajar.
Mereka (orang tua) yang tak peka terhadap kondisi anak juga rentan membuat anak mengalami kondisi tertekan. Kondisi tertekan tersebut disebabkan oleh proses belajar mengajar berbasis pendidikan formal yang cenderung menjemukan. Anak yang seharusnya bahagia dengan dunia bermainnya harus dihadapkan dengan pelajaran-pelajaran yang tak semuanya sesuai dengan umur perkembangannya.
Problem lain pun hadir dari rekan-rekannnya yang secara umur lebih dewasa dari usianya. Masalah tersebut dapat berupa kemampuan berinteraksi dengan dunia seusia rekannya, yang notabenenya berusia lebih dewasa dari dirinya. Jika anak tak mampu untuk mengikuti dunia dan pola pikir anak yang lebih dewasa, ditakutkan sang anak berpotensi mengalami pengucilan atau bulliying dalam peer groupnya.
Dalam psikologi, pengaruh dari peer group seorang anak akan lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh lingkungannya. Terlebih lagi jika hubungan orang tua dan anak memiliki kerenggangan.
Oleh karena itulah, orang tua perlu meninjau kembali keinginan menyekolahkan anak secepat mungkin dalam pendidikan formal. Pada usia dini, pendidikan terbaik adalah didikan orang tua.
Apabila dicitrakan dengan sebuah ketenaran seorang artis, anak yang disekolahkan terlalu cepat sebelum usianya mirip dengan seorang artis karbitan dari ajang pencarian bakat atau artis musiaman yang fenomenal akibat sosial media. Ia akan cepat untuk melejit, tetapi cepat pula turun, jatuh, terperosok dan akhirnya hilang.
Diperlukan kesabaran bagi orang tua untuk mendidiknya di lingkungan keluarga. Ajarkan ia terlebih dahulu tentang nilai-nilai moral, sopan santun, dan akhlak yang baik dari keluarga. Jadilah orang tua yang menjadi role model utama bagi anak. Karena basis utama dari pendidikan terbaik adalah menanamkannya sebuah karakter yang bermartabat.
Terkadang kita lupa memperhatikan akhlak, nilai moral, dan sopan santun. Sebagian besar orang tua hanya terfokus pada pencapaian prestasi-prestasi yang bersifat keduniawian. Anak dituntut secara paksa mengikuti pola-pola pendidikan era kolonial yang harus pakem dengan pencapaian yang baku.
Akhirnya, kreativitas dan potensi anak yang dimiliki pun teredam dengan bentuk standar yang sudah dibakukan. Bahkan terkesan haram dilakukan pembaharuan oleh anak didik. Maka jangan heran jika banyak generasi bangsa saat ini yang menjadi intelektual, tetapi sepi dengan kreativitas yang membangun.
Selain itu, kesadaran orang tua mengenai apa yang paling tepat bagi anak terkadang luput untuk dilakukan. Perhatian orang tua hanya melihat dari pencapaian nilai di atas kertas. Tak sedikit yang menyunat waktu bermain anak dengan memberikan les ini dan itu yang justru bikin bosan bukan main kepalang bagi anak.
Pagi-pagi berangkat sekolah, pulang sekolah les bahasa, malam les matematika, sepulang les mengerjakan tugas sekolah begitu seterusnya setiap hari. Yang terpenting bagi anak usia dini hanyalah mereka bisa bahagia dengan bermain. Titik...
Sekolah seharusnya menjadi urusan nanti ketika anak memang sudah siap. Takut jika anak tertinggal? Apakah benar anak merasakan hal yang sama? Yuk mari renungkan kembali pertanyaan tersebut.Ketakutan tersebut alangkah lebih baiknya diinvestasikan dengan berusaha keras mencintainya dengan kasih sayang yang sebenar-benarnya. Tanpa ada embel-embel gengsi dan harapan pada pencapaiann selembar kertas.
Anak umur 5 tahun, bahkan kurang dari itu, merupakan masa-masa anak belum begitu memahami cara bersosialisasi dengan baik. Jika memaksanya bersekolah, ia tentu kesulitan mengikuti aturan-aturan yang diterapkan oleh pihak sekolah. Hal itu bisa membuat anak merasa tertekan dan tidak nyaman di lingkungan sekolahnya.
Jika anak tetap disekolahkan terlalu dini, potensi blast (Bored, Lonely, Afraid/ Angry, Stress, Tired) malah berkembang. Hal tersebut tentu tidak baik bagi perkembangannya kelak.
Membuat anak menjadi cemerlang tak mesti harus dimasukkan ke dalam pendidikan formal sedini mungkin. Anak bukanlah miniature atau benda mati yang dengan sesuka hati dapat kita perlakukan tanpa persetujuan sang anak. Ingatlah bahwa ia merupakan buah hati yang sudah sepatutnya untuk didengarkan pendapatnya pula.
Karena kasih sayang adalah kasih yang tak mengekang dan menekan. Karena kasih adalah saling pengertian dan pemberian rasa aman dan nyaman yang di landasi cinta tulus ikhlas. Ingat, masa kecil yang sedemikian indahnya itu hanya bisa dinikmati sekali seumur hidup. Jangan rampas hak anak demi gengsi orang tuanya.
Semangat pagi....
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews