Pendidikan Jarak Jauh Dihakimi Tanpa Solusi dan Peta Jalan Sistemik

Inovasi terpenting di era RI-4.0 adalah pengintegrasian teknologi siber ke dalam pembelajaran melalui rekayasa teknologi, yang dikenal sebagai “Learning.

Selasa, 18 Mei 2021 | 13:34 WIB
0
345
Pendidikan Jarak Jauh Dihakimi Tanpa Solusi dan Peta Jalan Sistemik
Pendidikan jarak jauh (Foto: cmswire.com)

Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), jelas dinyatakan bahwa pendidikan jarak jauh (PJJ) merupakan salah satu sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia, selain sistem pendidikan tatap muka (PTM) serta diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler. Dengan demikian, PJJ memiliki legal-standing yang kuat, dan “wajib” diupayakan dan dilaksanakan oleh Pemerintah khususnya, serta penyelenggara pendidikan lainnya (masyarakat).

PJJ dapat diselenggarakan pada semua jalur (formal, nonformal dan iformal), jenjang (dasar, menengah, dan tinggi), dan jenis pendidikan (umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus). Baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.

Undang-undang juga secara jelas menyatakan bahwa PJJ dapat diselenggarakan dalam berbagai bentuk dan modus. Artinya, PJJ bisa dilaksanakan dengan menggunakan berbagai ragam/bentuk sumber belajar (cetak, non-cetak, dan terkoneksi) dan modus pembelajaran (delivery system) seperti korespondensi (surat menyurat), e-learning (multi-media, tele-learning) maupun online learning (pembelajaran daring).

Dengan demikian, sejatinya keberadaan dan signifikansi PJJ dalam sisdiknas bersifat "komplementer", BUKAN “suplementer” dari pendidikan tatap muka (PTM). Karenanya, pengembangan dan penguatan PJJ selayaknya mendapatkan perhatian dan komitmen yang sama dan seimbang dengan PTM. Kedua sistem pendidikan tersebuh merupakan "anak kandung" dari sistem pendidikan nasional.

Namun demikian, Mendikbud (sekarang Mendikbud-Ristek) dalam beberapa waktu/kesempatan yang lalu mempersoalkan penyelenggaraan PJJ di era pandemi covid-19. Di awal tahun 2021, Mas Menteri menyatakan bahwa PJJ yang berkepanjangan berpotensi menciptakan learning lost/loss. Pernyataan tersebut, menurut beliau ini didukung oleh hasil survai yang dilaksanakan pihak kementerian sendiri (13 November s.d. 17 Desember 2020), sejumlah hasil penelitian serupa di Amrik (washingtonpost.com, 07/12/2020), temuan penelitian King (2020), dan simulasi skenario estimasi dampak penutupan sekolah akibat covid-19 di Indonesia yang dilakukan Bank Dunia pada perolehan rata-rata skor kemampuan membaca pada survei PISA.

Pada bulan Mei 2021, Mas Menteri kembali menyatakan bahwa efektivitas PJJ di seluruh dunia menurun. "Kita sudah mengetahui dari data seluruh dunia bahwa efektivitas pembelajaran jarak jauh ini menurun di seluruh dunia saat pandemi ini melanda. Kita tahu ini karena ada berbagai macam laporan mengenai berbagai macam kendala yang dialami," kata mas Nadiem pada acara talkshow PDI-P dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional 2021 (05/05/2021). “Efektivitas PJJ hanya 30%”, kata Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda (06/05/2021).

Lebih lanjut mas Menteri mengemukakan sejumlah alasan mengapa dalam penerapan PJJ terjadi learning lost/loss, dan penurunan efektivitas? Diantaranya adalah guru/sekolah belum terlatih dalam pengelolaan PJJ, pembelajaran masih terfokus dalam penuntasan kurikulum, orang tua/masyarakat tidak semua mau dan mampu mendampingi anak-anak belajar dengan PJJ, ada kejenuhan dan kebosanan dalam belajar, sarana-prasarana dan infrastruktur untuk keperluan konektivitas juga belum memadai, dlsb.

Sejak pernyataan mas Menteri yang memantik pro-kontra di awal tahun 2021 tersebut, dan tulisan pertama saya terkait persoalan ini, yaitu "Learning Loss dan Pendidikan Jarak Jauh" (26/02/2021), hingga saat ini tak banyak program solutif yang ditawarkan untuk mengatasi learning lost/loss dan meningkatkan efektivitas PJJ.

Selain itu, terhadap pernyataan Mas Menteri tersebut, tidak semua pihak sepakat. Pemerhati pendidikan dari Vox Populi Institute Indonesia, Indra Charismiadji misalnya, menilai bahwa PJJ sesungguhnya tidak selalu menghasilkan learning loss/lost. Alih-alih, jika PJJ dilakukan dengan benar, bisa menghasilkan dampak positif bagi perkembangan anak. Karenanya, Indra menyayangkan banyak pihak di Indonesia, termasuk pihak Kemendikbud-Ristek sudah menghakimi bahwa belajar daring itu menimbulkan learning loss," (03/05/2021)

Yang menjadi pertanyaan dan penting untuk didiskusikan adalah apa program yang ditawarkan oleh kementerian untuk meminimalisasi faktor-faktor penyebab atau korelat tersebut, sehingga learning lost/loss dan penurunan efektivitas PJJ tidak terjadi.

Apa dan bagaimana kemendikbud-Ristek menyediakan pelatihan bagi guru/sekolah dalam pengelolaan PJJ?; Bagaimana desain pembelajaran dan kurikulum PJJ?; Apa dan bagaimana pelatihan bagi orang tua/masyarakat agar bisa berperan sebagai pendamping dan/atau fasilitator bagi anak-anak mereka saat belajar dengan PJJ?; Apa dan bagaimana ikhtiar/program untuk mengatasi kejenuhan dan kebosanan dalam belajar?; Apa dan bagaimana pelatihan yang perlu diberikan kepada peserta didik untuk meningkatkan literasi digital dan pendidikan jarak jauh; serta apa dan bagaimana sarana-prasarana dan infrastruktur PJJ yang perlu disediakan dan dikembangkan untuk memperluas jaringan dan konektivitas bagi kepentingan belajar secara PJJ?

Atas berbagai pertanyaan tersebut, tidak banyak program atau kebijakan dari Kemendikbud (sekarang Kemendikbud-Ristek) yang memberikan jawaban dan solusi spesifik dan memadai terkait dengan apa, mengapa, dan bagaimana pengembangan dan penguatan PJJ ke depan (dan tidak hanya di masa pandemi covid-19) untuk semua jenjang, jenis dan satuan pendidikan penyelenggara PTM. Padahal Mas Menteri sepakat dengan Presiden, bahwa pandemi covid-19 telah membuka kotak pandora dunia pendidikan, yang selama ini belum terungkap (atau sengaja tidak diungkap), yaitu terjadinya percepatan proses digitalisasi dan literasi digital masyarakat pendidikan.

Pihak kemendikbud-Ristek justru lebih mendorong sekolah-sekolah yang berada di zonasi tertentu (kuning dan hijau) untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka (PTM) secara terbatas dan terkontrol. Hal ini dapat dirunut dari sejumlah Kebijakan Pembelajaran, Keputusan Mendikbud, dan Keputusan Bersama Empat Menteri yang dikeluarkan dalam kurun waktu hanya 3—4 hari di bulan Agustus 2020.

Bila dirunut, sejak awal pandemi hingga medio pertama 2021 ini, program kementerian yang secara langsung berkaitan dengan solusi PJJ hanyalah program “penyediaan infrastruktur dan teknologi sekolah” atau dalam istilah mas Nadiem “digitalisasi sekolah.” Program ini ditanyakan oleh Presiden kepada mas Nadiem saat Podcast Hardiknas 2021 bersama Presiden Jokowi yang disiarkan secara live oleh Sekretariat Presiden yang hingga saat ini telah ditonton oleh 531.965 viewer.

Menurut mas Nadiem, program digitalisasi sekolah yang sedang direncanakan (1—2 tahun ke depan) adalah pertama, perluasan jaringan dan konektivitas sekolah (program prioritas) bekerja sama dan berkoordinasi dengan Menkominfo; dan kedua, distribusi paket laptop, LCD-Projector dan wifi router ke sekolah-sekolah di Indonesia. Program ini beliau klaim sebagai program distribusi terbesar dalam sejarah pendidikan di Indonesia.

Kedua program digitalisasi sekolah tersebut merupakan implementasi dari kebijakan kemendikbud-Ristek untuk memacu terjadinya proses percepatan adaptasi sekolah dengan sistem digital dalam rangka fasilitasi PJJ. Kebijakan ini merupakan program insiatif dari kemendikbud-Ristek untuk membangun platform pendidikan nasional berbasis teknologi, sebagaimana tercantum di dalam dokumen (draft) Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035.

Namun demikian, kedua program tersebut masih sangat jauh dari memadai, dan belum memenuhi syarat minimal layanan PJJ. Digitalisasi sekolah juga bukan panacea atas kompleksitas persoalan PJJ yang dihadapi oleh dunia dan masyarakat pendidikan Indonesia, sebagaimana disyaratkan di dalam penyelenggaraan pendidikan jarak jauh (Permendikbud no.7/2020).

Saat ini Kemendikbud-Ristek baru memiliki Kebijakan PJJ khusus untuk jenjang pendidikan tinggi (Pannen, 2016), belum mencakup jenjang pendidikan pendidikan dasar dan menengah. Kita berharap kepada Pemerintah, khususnya Kemendikbud-Ristek memiliki Peta Jalan Pendidikan Jarak Jauh yang utuh dan lengkap, dan secara bertahap dan berkelanjutan mulai fokus pada program-program pengembangan dan penguatan PJJ pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Hal ini penting dan krusial, bukan dalam konteks peningkatan APK pada jenjang menengah dan tinggi. Tetapi juga karena tidak semua masyarakat Indonesia bisa mengakses pendidikan melalui tatap muka (PTM), baik karena keterbatasan secara ekonomi, geografis, dan sosial-budaya, serta terjadinya Revolusi Industri 4.0 yang juga mewabah di dunia.

Penulis juga berharap, tidak ada “miskonsepsi” di kalangan masyarakat (khususnya masyarakat pendidikan) yang menganggap bahwa PJJ hanyalah “sebuah solusi praktis-temporal di era Pandemi”. Karena sejatinya, penyelenggaraan PJJ tidak hanya terbatas pada masa pandemi saja. PJJ merupakan sebuah keniscayaan di era Revolusi Industri 4.0. (RI-4.0) yang dicirikan oleh interkonektivitas, inovasi, otomasi, dan transfer informasi melalui teknologi informasi dan komunikasi Internet (Internet of Thing atau IoT).

Inovasi terpenting di era RI-4.0 adalah pengintegrasian teknologi siber ke dalam pembelajaran melalui rekayasa teknologi, yang dikenal sebagai “Learning Management System (LMS). Sebuah sistem pengelolaan pembelajaran online/digital berbasis Internet yang memungkinkan guru dan peserta didik dapat melakukan interaksi, komunikasi, transaksi, dan kolaborasi pembelajaran dengan sumber dan media pembelajaran yang tersedia secara terbuka dan gratis (Open Educational Resources/OER).

Akhirnya, semoga pula PJJ tidak hanya menjadi nomenklatur pendidikan yang hanya ada di dalam dokumen hukum Lembaran Negara, di tengah hiruk-pikuk kumandang “Revolusi Industri 4.0” oleh para akademisi, profesional dan pejabat publik.

Salam Pendidikan.

***.