Anatomi Jiwa Seniman

Kembali menjadi seniman, apapun isi hidup kita sehari-hari, itulah tugas kita sesungguhnya. Hanya dengan begitu, kita bisa menari, menyanyi gembira di tengah hidup yang semakin tak masuk akal.

Selasa, 1 Desember 2020 | 09:48 WIB
0
230
Anatomi Jiwa Seniman
Pablo Picasso dan lukisannya (Foto: law-justice.co)

Picasso kiranya tepat. Ia pernah berkata, “Seni adalah kebohongan yang mengungkapkan kebenaran.”

Warna, suara dan rasa boleh tak nyata. Namun, pengalaman yang ditimbulkannya senyata kehidupan itu sendiri. Tak ada uang yang mampu membayarnya.

Memang, orang butuh uang dan benda untuk hidup. Namun, tanpa seni di hidupnya, maka ia akan merasa hampa. Bunuh diri terasa lebih baik.

Begitulah keyakinan saya selama ini. Seni, dalam segala bentuknya, membuat hidup, yang selalu tak masuk akal, menjadi indah, dan berwarna untuk dijalani.

Seni adalah buah tangan para seniman. Mereka tersebar di berbagai bidang kehidupan, mulai dari pelukis, pematung, penyanyi sampai dengan programmer software.

Merekalah manusia yang paling saya sukai di dunia. Di tangan jiwa mereka yang berwarna, beragam karya menakjubkan tertuang di dalam sejarah.

Karya mereka lahir dari kegelisahan. Seniman adalah jiwa-jiwa gelisah yang gatal untuk mencipta, dan memperindah kehidupan kita semua.

Mereka penuh dengan pertanyaan. Jawabannya tidak dengan rumusan konseptual, tetapi dengan membangkitkan rasa dan pengalaman yang nyata.

Mereka tak segan bertentangan dengan pola pikir lama. Di mata mereka, tradisi adalah sesuatu yang mesti diubah, bukan disembah secara buta.

Karena keberanian dan kecerdasannya tersebut, para seniman kerap salah dipahami. Mereka dianggap pembuat onar, sehingga ditakuti, dimusuhi bahkan dibunuh.

Namun, mereka tak menyerah. Dari kegelisahan dan tekanan sosial yang kerap dialami, mereka terus mencipta untuk memperindah kehidupan.

Dari pikiran mereka lahirnya ide-ide baru yang tak terpikirkan sebelumnya. Tata kelola masyarakat, sampai dengan jalan hidup untuk pembebasan, kiranya lahir dari buah tangan mereka.

Di tengah keadaan masyarakat yang penuh konflik, para seniman menawarkan kelegaan dan keindahan. Batin mereka adalah batin yang melintasi semua batas-batas agama, ras dan budaya. Dengan karya-karya yang menggetarkan dada, merekalah para pencipta perdamaian yang sesungguhnya.

Jauh di dasar hati kita, kita semua adalah seniman. Anak-anak adalah seniman sejati.

Mereka bisa menari dan menyanyi secara bebas. Semangat seni lenyap, karena pendidikan masyarakat yang membunuh kreativitas. Yang tersisa adalah seonggok mayat hidup yang hanya patuh dan miskin warna.

Kembali menjadi seniman, apapun isi hidup kita sehari-hari, itulah tugas kita sesungguhnya. Hanya dengan begitu, kita bisa menari dan menyanyi gembira di tengah hidup yang semakin tak masuk akal.

***