Ruang Publik Harus Tetap Kritis

Sikap kritis ini perlu dikembangkan di berbagai jenjang pendidikan, baik di dalam keluarga, maupun di dalam berbagai tingkat institusi pendidikan.

Jumat, 26 Juni 2020 | 04:40 WIB
0
387
Ruang Publik Harus Tetap Kritis
Ilustrasi: ruang publik dan sikap kritis

Belakangan ini, diskusi politik di Indonesia begitu biadab. Perbedaan suku, ras dan agama dijadikan bahan untuk saling memecah-belah bangsa. Orang-orang yang dulunya dianggap cerdas kini berbalik menjadi beringas. Berbagai kelompok kepentingan yang pikirannya primitif dibiarkan merajalela di ruang publik, dan menciptakan keresahan sosial.

Melihat hal itu, kita lantas bertanya-tanya, mengapa mutu diskusi politik di Indonesia menjadi begitu rendah dan membosankan?

Menurut saya, ada tiga penyebab yang membuat ruang publik kita menjadi tidak waras. 

Pertama, agama telah menjadi begitu dominan di ruang publik, sehingga merobohkan nalar kritis yang merupakan unsur penting di dalam demokrasi. Agama memang sudah menjadi bagian dari hidup manusia. Namun, ketika ia digunakan untuk membenarkan kepentingan-kepentingan politik yang tidak jujur, ia justru menciptakan petaka. Akhirnya, kita menjadi bangsa yang berlebihan doa, namun kekurangan nalar.

Agama akhirnya menjadi alat politik untuk menyebarkan kebohongan, kebencian, dan perpecahan. Para tokoh agama pun seakan melupakan tugasnya untuk menyebarkan kedamian dan kebijaksanaan.

Kedua, ekonomi merangsek ke dalam ruang publik, dan memaksakan cara berpikirnya ke berbagai bidang kehidupan. 

Apa yang dulunya hanya sebuah pengandaian di dalam ilmu ekonomi, kini dipaksakan menjadi kenyataan yang meliputi keseluruhan hidup manusia. Bidang-bidang lain yang bermakna bagi kehidupan manusia kini terpinggirkan, dan menjadi seolah tak punya nilai.

Akhirnya kehidupan bersama dijajah oleh kepentingan ekonomi yang mengedepankan akal budi instrumental. Akal budi yang agung kini seakan pasrah pada kepentingan-kepentingan ekonomi jangka pendek yang mengeksploitasi alam dan manusia.

Ketiga, dunia pendidikan menjadi tempat menempa orang menjadi manusia munafik. Guru selalu mengajar tentang kejujuran, sementara ia sendiri menyebarkan contekan saat Ujian Nasional.

Berbagai ujian dibuat, namun tidak menguji apa yang sungguh penting. Kompetisi digalakkan, tetapi hanya berperan sebagai simbol tak berarti yang tak menandakan apapun. Gelar diberikan dan dipampang panjang-panjang, tetapi hanya simbol yang sia-sia belaka.

Di dalam dunia pendidikan kita , kemunafikan seperti ini menjadi paradigma yang ditolak, namun diterapkan secara sistematis.  Tak heran para koruptor adalah orang-orang terpandang dan berpendidikan tinggi.  

Mereka adalah hasil dari sistem pendidikan dan paradigma mengajar yang hanya memaksa siswa-siswi untuk menghafal, dan memuntahkan kembali melalui ujian. Dalam paradigma mengajar seperti itu, orang yang berpikir kritis seringkali menjadi musuh bersama. 

Ketika ruang publik dan dunia politik dijajah oleh agama, ekonomi  dan pendidikan yang salah arah, maka nalar pun lenyap. Diskusi dan perdebatan menjadi rendah dan miskin wawasan. 

Ini kiranya yang terjadi dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Jika hal ini terus dibiarkan, maka hanya akan menghasilkan pemimpin-pemimpin bermutu rendah yang akan merugikan rakyat banyak.

Sikap kritis

Apakah politik Indonesia masih bisa diselamatkan dari kebiadaban yang ia buat sendiri? Harapan selalu ada. Namun, politik itu adalah tata kelola harapan. Kita maju satu langkah untuk mundur setengah langkah. Ada satu hal mendasar yang kiranya bisa dilakukan.

Hal tersebut adalah kita perlu terus bersikap kritis pada penjajahan ruang publik yang dilakukan oleh agama dan ekonomi. 

Bersikap kritis berarti kita tidak mudah percaya. Kita akan terus mempertanyakan sesuatu sampai kita menemukan dasar yang kokoh untuk percaya.

Dengan berpikir kritis, kita tidak mudah terombang ambing oleh kabar burung dan berita hoaks yang tak jelas sumbernya.

Selanjutnya, hal yang perlu kita jaga adalah ruang publik kita. Ruang publik demokratis adalah ruang publik untuk semua pihak, baik kalangan yang beragama, ataupun tidak. Ia adalah ruang terbuka, tempat berbagai pembicaraan tentang masalah hidup bersama dilakukan, tanpa rasa takut.

Sikap kritis ini perlu dikembangkan di berbagai jenjang pendidikan, baik di dalam keluarga, maupun di dalam berbagai tingkat institusi pendidikan.

Selama sikap kritis terawat, maka sikap beradab masih dalam jangkauan harapan. Hal itu juga berarti, demokrasi, keadilan sosial, dan  perdamaian masih bisa terwujud.

***