Tak hapal Pancasila tapi bisa lolos, semua orang jadi tahu ajang pemilihan Puteri Indonesia tahun ini bukan suatu kegiatan yang dipersiapkan secara serius dengan tingkat standard kualitas yang tinggi.
Satu finalis Puteri Indonesia 2020 bukan saja tidak hafal Pancasila tapi secara ngawur mencampurkan kata-kata yang tidak ada dalam sila-sila Pancasila.
Provinsi asal finalis itu memang sudah lama diketahui sebagai pusat penyebaran pengajian liqo kader-kader partai politik berbasis agama yang mendukung Indonesia jadi negara satu agama tertentu saja yang anti Pancasila.
Tapi lebih daripada itu bahwa di kalangan generasi muda saat ini Pancasila bukan lagi sesuatu yang “sakral” dan menjadi roh kehidupan kita sehari-hari. Pancasila juga bukan lagi sebuah ideologi negara yang harus dijaga keberlangsungannya.
Tugas BPIP semakin berat. Karena Pancasila sudah kehilangan “kesaktian”-nya. Sosialisasi Pancasila, dengan jargon kampanye “Salam Pancasila”, yang menyasar ke kalangan Generasi Milenial dan Generasi Z rupanya masih jauh panggang dari api.
Singkat kata kampanye sosialisasi “Salam Pancasila” jauh kalah sexy dibanding dengan kampanye sosialisasi pengibaran benderà Khilafah HTI di sekolah-sekolah dan kampus-kampus di seluruh Indonesia.
Yang jadi pertanyaan: kenapa ada finalis Puteri Indonesia 2020 yang tak hafal Pancasila bisa lolos?
Sistem penjuriannya harus diaudit sebab bisa jadi ada permainan kong kalikong selama proses seleksi sehingga peserta yang tak hapal Pancasila itu bisa melaju sampai babak final.
Dan dari peristiwa ini, satu finalis tak hapal Pancasila tapi bisa lolos, semua orang jadi tahu bahwa ajang pemilihan Puteri Indonesia tahun ini bukanlah suatu kegiatan yang dipersiapkan secara serius dengan tingkat standard kualitas yang tinggi.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews