Imajinasi tentang Tuhan

Kartini cenderung mengonstruksi Tuhan dengan sifat maskulin ketimbang sifat femininnya. Ia lebih banyak menyebut Tuhan sebagai Bapak, maha kuasa, maha menentukan, dan maha menakdirkan.

Selasa, 24 Maret 2020 | 12:24 WIB
0
372
Imajinasi tentang Tuhan
RA Kartini (Foto: tribunnews.com)

Setiap manusia atau kelompok manusia mungkin punya bayangan tersendiri tentang Tuhan. Imajinasi tentang Tuhan tentu saja tergantung pada pengetahuan dan pengalaman.

Saya ketika kecil membayangkan Tuhan sebagai lelaki tinggi besar, berjas, bersarung, dan bersepatu pantopel serupa sosok Tuan. Tuan ialah tukang kredit keturunan Arab yang biasa datang ke rumah ibu saya menawarkan kain-kain kreditan dalam kopernya dengan mengenakan jas, sarung, dan sepatu pantopel. Ibu saya memanggilnya Tuan. Usman kecil rupanya tidak bisa membedakan Tuhan dan Tuan.

Orang Indian, penduduk asli Amerika yang berkulit kemerah-merahan, membayangkan Tuhan itu merah, seperti tertulis dalam buku berjudul "God is Red" karangan Vine Deloria JR. Saya membeli buku ini di National Museum of American Indian di Washington, AS pada 2016.

Baca Juga: Egoisme dalam Beragama

Suku-suku pedalaman Australia menggambarkan Tuhan sebagai abadi, naik ke langit setelah hidup di dunia, mengatur benda-benda langit, dan seterusnya. Emile Durkheim menulis konstruksi Tuhan dalam alam pikiran suku-suku primitif di benua kanguru itu di buku "The Elementary Forms of Religious Life". Buku ini saya beli di London, Inggris pada 2003.

Membayangkan atau mengimajinasikan dalam bahasa ilmiah biasa disebut mengontruksi. Rujukan utama perkara konstruksi-mengontruksi apalagi kalau bukan buku "The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge" karangan Peter Berger dan Thomas Luchman.

Saya punya buku ini baik edisi Inggris maupun edisi Indonesia, meski dua-duanya berupa foto kopi. Saya juga mengambil mata kuliah konstruksi sosial yang merupakan mata kuliah pilihan di S3 Komunikasi Universitas Indonesia.

Bagi saya menarik mengetahui bagaimana orang, apalagi orang terkenal, mengonstruksi Tuhan. Oleh karena itu, ketika mendapat tugas akhir mata kuliah konstruksi sosial tersebut saya menulis paper berjudul "Konstruksi Tuhan dalam Alam Pikiran Kartini."

Saya menelusuri apakah Kartini yang dikenal sebagai pejuang hak-hak perempuan pada masanya itu mengonstruksi Tuhan lebih dengan sifat maskulin (the Father of God) atau dengan sifat femininnya (the Mother of God). Istilah the Father of God dan the Mother of God saya temukan di artikel berjudul "Deradikalisasi Ajaran Agama" yang ditulis Nasarudin Umar di Media Indonesia edisi 18 November 2016.

Sifat maskulin Tuhan antara lain maha menentukan, maha kuasa, maha pembalas. Sifat feminin Tuhan antara lain maha pengasih, maha penyayang.

Terus terang, yang menginspirasi saya menulis konstruksi Tuhan dalam alam pikiran Kartini ialah buku "Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini" yang ditulis Th Sumartana. Saya membeli buku ini di Medan pada 1992. Saya menggunakan buku ini untuk mencari tahu latar belakang kehidupan agama Kartini.

Dari sisi latar belakang kehidupan Kartini, ada tiga hal yang perlu ditekankan. Pertama, Kartini ialah penganut Islam yang serba sedikit mempelajari Islam; ajaran Islam yang dipelajarinya kemungkinan yang konservatif. Kedua, ia menyinkretiskan pengetahuannya tentang Islam dengan keyakinan lain, yakni kebatinan Jawa, Buddhisme, Hinduisme, dan Kristianitas. Ketiga, Kartini menghadapi persoalan dalam kehidupannya sehari-hari terutama terkait dengan hak-hak perempuan. Ketiga persoalan ini secara teoretis mempengaruhi konstruksi Kartini tentang Tuhan.

Untuk mengetahui konstruksi Kartini terhadap Tuhan saya menelusuri surat-suratnya kepada Abendanon yang dirangkum Armijn Pane dalam buku "Habis Gelap Terbitlah Terang." Saya menemukan dan membeli buku ini di pasar buku Blok M, Jakarta.

Singkat cerita, Kartini cenderung mengonstruksi Tuhan dengan sifat maskulin ketimbang sifat femininnya. Kartini lebih banyak menyebut Tuhan sebagai Bapak, maha kuasa, maha menentukan, maha menakdirkan daripada maha pengasih atau maha penyayang.

Dosen saya "terharu" dengan paper yang saya presentasikan di hadapannya dan di hadapan mahasiswa lain. Dia memuji paper saya dan mendorong saya mengembangkannya menjadi buku. Ibu dosen memberi saya nilai A untuk mata kuliah konstruksi sosial.

***