"Ihya Ulumuddin" dan Larangan Tarwih Bersama

Kawan ini kemudian mengingatkan saya pada Ghazali yg memilih menepi dari keriuhan dunia dengan mendirikan madrasah di samping rumahnya serta asrama untuk orang-orang shufi.

Minggu, 26 April 2020 | 12:52 WIB
0
330
"Ihya Ulumuddin" dan Larangan Tarwih Bersama
Kitab Ilya Ulumuddin karya Al Ghazali (Foto: NU Online))

Dalam Ihya Ulumuddin, al-Ghazali masih melibatkan logika. Tapi ketika mengubur filsafat dalam Thahafut al- falasifah, ia membelakangi ilmu pengetahuan dan sebab itu banyak sarjana muslim menuduhnya penyebab kejumudan dalam islam.

Al-Ghazali punya andil besar terhadap bekunya ijtihad dalam pemikiran islam yang imbasnya masih terasa hingga sekarang, begitu sering kita dengar. Di usianya yang senja ia berbalik menekuni jalan sufistik, berharap bisa menyatu dengan Tuhan. Dalam Thahafut at-Thahafut, Ibnu Rusyd mengeritik habis-habisan sesat nalar Ghazali yang menolak filsafat.

Adalah Muhammad Iqbal memilih jalan berbeda. Penyair, politisi dan filsuf besar abad ke-20 kelahiran Sialkot, Punjab, India, di masa mudanya menekuni sufistik namun kemudian terlibat intens dengan filsafat. Iqbal tak memilih jalan penyatuan dengan Tuhan seperti Ghazali. Sebaliknya ia memilih kenikmatan mencari, Iqbal memilih tetap berjarak dengan Tuhan.

Saya membaca Ihya Ulumuddin versi terjemahan, itupun tidak tuntas, hanya beberapa jilid dari 9 jilid secara keseluruhan kalau tidak salah. Beda dengan santri di Jawa yang mendalami Ihya versi arab gundul dengan metode bandongan, mirip-mirip pengajian online di medsos membahas Ihya yang diselenggarakan Kyai Ulil Abshar Abdalla.

Hanya saja saya merasa perspektif Ulil terlalu dominan membuat Ihya terkesan liberal. Di tangan Ulil, Ihya Ulumuddin lebih bertenaga dan kontekstual.

Barusan ditelepon kawan lama tak henti-hentinya mengingatkan kalau pandemi seharusnya membuat kita lebih dekat pada Tuhan, bukan sebaliknya makin menjauh. Kawan ini keberatan terhadap larangan shalat tarwih di masjid karena alasan menghindari penyebaran COVID-19.

Kawan ini kemudian mengingatkan saya pada Ghazali yg memilih menepi dari keriuhan dunia dengan mendirikan madrasah di samping rumahnya serta asrama untuk orang-orang shufi dan menghabiskan sisa usianya dengan mengkhatamkan kitab suci, berkumpul dengan ahli ibadah agar imannya terjaga.

Saat saya tanya, lagi dimana? Rupanya beliau sedang belanja di sebuah pusat grosir persiapan menghadapi ramadhan, "untuk jaga-jaga," katanya.

***