Buzzer Gantikan Media Mainstream?

Media mainstream harus jadi pilar demokrasi. Bukan para buzzer atau postingan para pegiat medsos yang rawan dibayar atau menjadi bagian dari penggalangan opini para cukong.

Senin, 7 Oktober 2019 | 11:28 WIB
0
565
Buzzer Gantikan Media Mainstream?
Ilustrasi buzzer (Foto: wiwikwae.com)

Persoalan media mainstream yang online sekarang adalah sekedar corong berita. Karena ini yang paling mudah, laku dan murah. Wartawannya pun dibayar murah. Sementara media mainstream tidak menggratiskan rubrik opini yang bernas dari para pakar. Semuanya berbayar.

Publik akhirnya tidak mendapat akses cerdas kecuali serpihan berita yang dalam banyak hal mutunya sampah. Tidak penting diberitakan. Dicari-cari sensasinya supaya dapat like dan iklan yang menghidupi wartawannya.

Cari Opini 

Akibatnya masyarakat mencari analisa dan opini tentang peristiwa terkini lewat media sosial melalui postingan pegiat medsos. Opini mereka kadang benar, tepat dan akurat, kadang juga ngawur. Kadang berdasarkan fakta kadang juga khayalan semata.

Namun netizen yang haus opini tidak perduli. Mereka menganggap apapun yang diposting para pegiat medsos itu adalah kebenaran semata. Ketika pujaannya dihujat atau dikritisi, netizen ramai-ramai menghajar siapapun yang berbeda pendapat dengan mereka dan para pujaannya.

Netizen Journalism

Saya membedakan postingan pegiat medsos dengan netizen journalism. Netizen journalism ditulis berdasarkan fakta hingga bisa membuat gerakan massal yang bisa mempengaruhi opini publik.

Misalnya saja, postingan soal seorang yang kelaparan kemudian diviralkan hingga orang tadi tertolong hidupnya karena banyak orang yang simpati. Salah satu contoh netizen journalism adalah info cegatan yogya, kuliner berbagi, dan sebagainya.

Opini Medsos Bukan Netizen Journalism

Ini beda dengan postingan analisa dan komentar pegiat medsos. Analisa jenis ini tidak termasuk pakar yang memposting gagasannya. Pengiat medsos tanpa kredensial kepakaran sukar diraba kesahihannya. Daya tariknya lebih teknik penulisannya begitu menyentuh alam bawah sadar netizen. Tapi tanpa data. Hanya bilang menurut informasi A1 dari nganu atau berdasarkan kata" orang dalam". Yang sukar dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Hingga analisa hanya berhenti pada spekulasi yang membangkitkan harapan, keprihatinan, kebencian, ketakutan dan juga kemarahan. Apalagi jika pegiat sosial itu satu aliran perjuangan dan yang punya idola yang sama.

Kepercayaan buta akan analisa pengiat medsos disebabkan karena secara nature, media sosial adalah media emosional ketimbang rasional. Dia tidak mempunyai rubrik seperti media mainstream.

Media sosial menampung apapun. Mulai dari acara kawinan, curhatan yang mengharu biru, serta analisa politik, sosial dan budaya. Postingan ini berlangsung cepat di lini masa. Silih berganti. Hingga netizen tidak ada waktu yang mengunyah dan menelaah. Mana yang benar, hoax, setengah hoax atau 100 persen palsu.

Emosional bercampur ( mix emotional) inilah yang menjadi ajang subur penyebaran hoax dan disinformasi para buzzer. Lewat postingan yang menghipnotis sampai meme dan poster yang menggedor rasa iba, sedih, marah dan viral. Publik maya akhirnya tidak bisa mengenali lagi mana yang persuasi dan mana propaganda.

Ruang Vakum Orang Bayaran

Ruang vakum ini menjadikan para bohir lengkap dengan para jagoan media content menyuntikkan isu dan postingan lewat mereka yang dianggap sebagai pengiat medsos yang berpengaruh. Untuk kepentingan apapun.

Indikasi pemanfaatan pengiat medsos oleh para bohir dengan sangat mudah dikenali. Yakni semburan isu kontroversial secara terstruktur, sistematis dan masif.

Para pegiat medsos itu mengguyur lini masa dengan isu yang sama. Serentak, tiba-tiba dan menghentak kemudian diikuti oleh gerombolan akun palsu. Tidak ada angin dan tidak ada hujan. Gerakan ini tidak disadari oleh netizen karena merasa postingan itu benar adanya.

Yang Viral yang Benar

Keterkejutan mereka yang seketika membenarkan isu yang dilempar tadi kemudian viral ke mana-mana. Bukan karena isu itu benar, tapi keyakinan bulat mereka bahwa pengiat medsos itu benar opininya.

Kecenderungan ini menjadi pemicu bergulirnya isu-isu turunan lainnya yang berasal dari isu awal yang diviralkan. Yang membenarkan dan menopang isu awal tadi.

Akhirnya muncul apa yang disebut post truth. Semburan kebohongan. Disinformasi. Delusi informasi. Lewat banyak saluran. Netizen kebingungan, tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah.

Mereka akhirnya digiring kepada informasi mana yang paling viral dan itulah yang mereka percaya sebagai kebenaran.

Ini tujuan para bohir dalam menciptakan opini publik di dunia maya. Gempuran disinformasi itu diletakkan para rel ketakutan masyarakat hingga seolah-olah benar.

Dan manakala netizen sibuk beradu kata dan membunuh opini yang berbeda, para bohir berhasil menyelinap melakukan tindakan kontroversial tanpa kelihatan oleh publik.

Salahnya Media Mainstream

Media mainstream tidak berdaya menghadapi fenomena ini. Karena kepentingan rakyat banyak dikalahkan oleh kepentingan bisnis yang menjadikan klik dan share sebanyak-banyaknya menjadi ideologi mereka.

Ini kesalahan telak media mainstream yang sangat pelit menayangkan gratis opini bernas dari para pakar yang punya kredensial tinggi. Padahal opini di konten berbayar itu sangat penting untuk menyeimbangkan postingan para pengiat medsos yang kadang benar kadang juga ngawur.

Harusnya rubrik analisa dan editorial mereka digratiskan saja aksesnya. Hinga masyarakat bisa memperoleh informasi yang seimbang.


Cover the Economist (Foto: economist.com)

Selain itu, media mainstream dalam mewartakan kejadian di masyarakat harus juga memakai cara-cara yang disukai oleh netizen. Yakni spontan dan instan dalam menurunkan opini. Tapi akurat dan kredibel.

Mereka harus punya tim pemantau opini di media sosial. Dan menurunkan berita yang memuat opini para pakar yang kredentialnya jauh lebih tinggi dari para penggiat medsos.

Pilar Demokrasi "Kakak Pembina"

Teknik ini akan mengurangi bias opini di media sosial dan mencegah terciptanya masyarakat yang tidak percaya berita apapun. Kecuali berita yang mereka yakini itu betul dan yang lainnya ngibul.

Ini sangat berbahaya karena nantinya kebijakan publik bakal juga diatur oleh opini publik yang tidak jujur dan dimanipulasi oleh para pihak yang berkepentingan.

Indonesia akan segera menjadi bangsa yang rapuh karena gempuran post truth yang disemburkan para buzzer dan agen propaganda bayaran.

Ini bakalan terjadi jika media mainstream tidak berbenah. Media mainstream harus memenangkan opini publik. Opini yang kredibel dan berasal dari sumber yang punya kredensial tinggi.

Media mainstream harus jadi pilar demokrasi.

Bukan para buzzer atau postingan para pegiat medsos yang rawan dibayar atau menjadi bagian dari penggalangan opini para cukong. .

Singkatnya, media mainstream harus jadi kakak pembina..

Bukan mereka.

***