Mualaf Itu Jadi Gelandangan

Tentu saja saya berprasangka baik atas kisahnya. Apalagi dia lantas menunjukan surat bermeterai, yang menunjukan telah mengucap syahadat.

Jumat, 1 November 2019 | 05:33 WIB
0
893
Mualaf Itu Jadi Gelandangan
Saya dan Pak Sady (Foto: Dok. pribadi)

Sudah lama sekali saya tak menulis orang-orang yang tidur di pinggir jalan. Di emperan toko yang berdebu dan bising. Saya sengaja tak mau menulis, dengan pelbagai pertimbangan. Tapi malam ini saya "melanggar" aturan yang saya buat. Saya tak kuasa tak menuliskan kisah Pak Sady. Sekadar untuk menjadi ibrah...

Malam ini, seperti malam-malam Jum'at sebelumnya, saya mendatangi saudara-saudara yang [mungkin] kurang beruntung. Mereka tiap malam tidur di emperan toko di kawasan Proyek, Jalan Ahmad Yani, Bekasi. Tak jauh dari stasiun kereta api. Saya datang agak terlambat. Sekitar jam 11 malam. Banyak yang sudah tidur nyenyak.

Ada ratusan gelandangan yang tiap malam tinggal di kawasan itu. Tua, muda, lelaki, perempuan dan juga balita. Tubuh mereka kotor, dan banyak juga yang baunya menyengat.

Tapi saya biasakan bergaul dengan mereka. Juga makan bersama mereka nasi bungkus yang disiapkan dari rumah oleh istri dan para ART.

Malam ini saya ingin berbagi cerita tentang Pak Sady. Lelaki tua ini menggelandang, mencoba bertahan hidup. Dia mengaku berasal dari Desa Kemenyan, Purbalingga Kidul, Purbalingga. "Saya diusir istri dan anak karena pindah agama. Saya kini seorang mualaf," ujar Pak Sady, yang kini berganti nama menjadi 'Muhamad Sholihin'.

Tentu saja saya berprasangka baik atas kisahnya. Apalagi dia lantas menunjukan surat bermeterai, yang menunjukan telah mengucap syahadat.

Saya terhenyak. Tapi saya tak ingin menyalahkan siapa pun. Barangkali sayalah yang paling patut dipersalahkan, sebab tak mampu berbuat banyak untuk orang seperti Pak Sady, eh, Pak Sholihin.

Saya cuma berdoa, semoga Allah mengampuni saya yang masih abai terhadap saudara-saudara yang membutuhkan uluran tangan.

Bekasi yang muram,
1 November 2019

***