Sudah lama sekali saya tak menulis orang-orang yang tidur di pinggir jalan. Di emperan toko yang berdebu dan bising. Saya sengaja tak mau menulis, dengan pelbagai pertimbangan. Tapi malam ini saya "melanggar" aturan yang saya buat. Saya tak kuasa tak menuliskan kisah Pak Sady. Sekadar untuk menjadi ibrah...
Malam ini, seperti malam-malam Jum'at sebelumnya, saya mendatangi saudara-saudara yang [mungkin] kurang beruntung. Mereka tiap malam tidur di emperan toko di kawasan Proyek, Jalan Ahmad Yani, Bekasi. Tak jauh dari stasiun kereta api. Saya datang agak terlambat. Sekitar jam 11 malam. Banyak yang sudah tidur nyenyak.
Ada ratusan gelandangan yang tiap malam tinggal di kawasan itu. Tua, muda, lelaki, perempuan dan juga balita. Tubuh mereka kotor, dan banyak juga yang baunya menyengat.
Tapi saya biasakan bergaul dengan mereka. Juga makan bersama mereka nasi bungkus yang disiapkan dari rumah oleh istri dan para ART.
Malam ini saya ingin berbagi cerita tentang Pak Sady. Lelaki tua ini menggelandang, mencoba bertahan hidup. Dia mengaku berasal dari Desa Kemenyan, Purbalingga Kidul, Purbalingga. "Saya diusir istri dan anak karena pindah agama. Saya kini seorang mualaf," ujar Pak Sady, yang kini berganti nama menjadi 'Muhamad Sholihin'.
Tentu saja saya berprasangka baik atas kisahnya. Apalagi dia lantas menunjukan surat bermeterai, yang menunjukan telah mengucap syahadat.
Saya terhenyak. Tapi saya tak ingin menyalahkan siapa pun. Barangkali sayalah yang paling patut dipersalahkan, sebab tak mampu berbuat banyak untuk orang seperti Pak Sady, eh, Pak Sholihin.Saya cuma berdoa, semoga Allah mengampuni saya yang masih abai terhadap saudara-saudara yang membutuhkan uluran tangan.
Bekasi yang muram,
1 November 2019
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews