Cegah Penyebaran Radikalisme di Kalangan Milenial

Bisa jadi pendekatan secara psikis bisa menjadi upaya agar bibit-bibit generasi bangsa ini memahami bahwa tindakan maupun paham radikal adalah salah.

Minggu, 15 Desember 2019 | 21:24 WIB
0
290
Cegah Penyebaran Radikalisme di Kalangan Milenial
Ilustrasi milenial (Foto: okezone.com)

Generasi muda atau milenial merupakan kelompok yang rentan terpapar radikalisme. Kerentanan tersebut muncul seiring kedekatan generasi milenial dengan internet maupun media sosial. Pemerintah dan masyarakat perlu meningkatkan sinergitas dan terobosan guna mencegah penyebaran paham anti Pancasila tersebut. 

Penyebaran radikalisme yang cenderung senyap ini dinilai sejumlah pihak malah meresahkan. Alih-alih berkurang, perkembangannya justru makin meningkat dan mengkhawatirkan. Apalagi seiring melesatnya dunia digitalisasi yang makin membuat orang mudah untuk mengakses apapun melalui dunia maya.

Radikalisme ini juga menjadi salah satu masalah yang sangat krusial dan perlu diwaspadai di Indonesia. Penganut paham ini, biasanya secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi menentang Pancasila sebagai ideologi negara. Serta menganggap Indonesia sebagai negara thagut, negara liberal dan sekuler yang mana telah mengikuti ideologi negara kafir. Sehingga bermunculan wacana jika ideologi negara perlu diganti menjadi ajaran Islam melalui sistem khilafah.

Pancasila merupakan ideologi yang final bagi bangsa Indonesia, serta NKRI adalah harga mati. Hal tersebut adalah bagian dari kesepakatan para pendiri negara ini. Oleh karenanya, sudah tidak ada tawar menawar lagi dalam hal ideologi dan bentuk negara Indonesia yang terkenal dengan kemajemukannya ini.

Radikalisme tampaknya tumbuh subur di sektor pendidikan. Penyebarannya dinilai begitu mudah di lini pelajar karena masa-masa ini mereka masih dalam keadaan labil serta mudah di indoktrinasi. Sikapnya yang cenderung masih ikut sana ikut sini membuat pelaku radikalisme mengambil kesempatan, dengan upaya memasukkan paham-paham radikal yang menyimpang.

Bagi pelajar sendiri tentunya tak akan sadar, apalagi secara nurani keberadaan mereka (pelajar) ingin diakui. Esksitensi yang ingin didapatkan para pelajar di masanya ini disambut gembira oleh pelaku radikalisme. Mereka akan terus-menerus dijejali oleh informasi-informasi yang salah dan menyimpang hingga menentang kepemerintahan. Termasuk memunculkan sikap intoleransi kepada orang lain, menganggap diri paling benar hingga berperilaku ekstrim dan khas dengan Islam.

Padahal, sebenarnya paham radikal tidak selalu identik dengan kelompok Islam tertentu yang mempunyai pola pikir yang radikal, sehingga mengakibatkan citra Islam menjadi jelek. Namun, gerakan-gerakan semacamnya yang mengindikasikan ke-ekstriman pemahaman akan hal tertentu bisa termasuk ke dalam pengertian radikal.

Hanya saja publik sudah kenyang dengan berbagai peristiwa yang berhubungan dengan umat Islam. Seperti insiden Bom Bunuh diri yang kian merajalela, yang pelakunya adalah beragama Islam. Hal ini tentunya makin memposisikan umat Islam seolah memang Terorisme. Padahal, bukan agamanya (Islam) yang salah!  Justru, orang-orangnyalah yang tak mampu mengerti ajaran Islam dengan baik dan benar.

Pelaku ini cenderung ingin menciptakan suatu terobosan karena pemerintahan seolah tak berjalan sesuai apa yang dipahaminya. Mirisnya, pelaku radikalisme ini ngajak-ngajak pelajar untuk melaksanakan kepentingannya. Mereka melihat potensi yang begitu besar dari kelabilan emosi pelajar yang akan mudah tersulut saat diberi doktrin-doktrin membangun, namun sebenarnya menyimpang.

Radikalisme yang menyebar di lingkungan sekolah memang belum terlihat secara kentara. Indikasi-indikasi sekolah yang terpapat radikalisme ini juga dinilai minim, namun bukan berarti tidak ada sama sekali. Salah satu indikator sekolah yang menganut sistem anti Pancasila ialah; tak mau menghormat pada bendera merah putih, tidak menyanyikan lagu Indonesia Raya, hingga tidak memasang foto presiden dan wakil presiden termasuk lambang Pancasila dan Burung Garuda.

Yang lebih bahaya ialah penghapusan mata pelajaran yang mendidik tentang nasionalisme. Kalau ini terjadi, bagaimana tunas-tunas muda akan mencintai negerinya sendiri jika tak memiliki sikap nasionalisme ini?

Maka dari itu, negara jangan sampai kecolongan. Aparat ataupun pengawas dari Dinas Pendidikan harus secara intensif berkunjung ke sekolah yang disinyalir berpotensi menjadi tempat penyebaran paham radikal. Antara lain dengan mengamati lingkungan sekolahnya, proses belajarnya, termasuk kegiatan ekstrakurikulernya.

Selain itu, Pihak sekolah pun harus pro aktif mengantisipasi penyebaran paham radikal. Upaya yang bisa dilakukan ialah dengan cara; menanamkan nilai-nilai Pancasila dengan memberikan pemahaman kepada para peserta didik saat upacara bendera, maupun acara lainnya yang dapat menyingkirkan pemahaman yang salah atas ideologi negara ini.

Sementara, bagi para guru atau tenaga pendidik diperlukan adanya suatu pembinaan agar dapat menyaring segala informasi terkait radikalisme ini dengan teliti. Sehingga pendidik tidak ikut terjerumus menyebarkan paham radikal di kalangan anak didiknya. Sebab, guru adalah pemersatu bangsa.

Melawan Radikalisme di kalangan milenial memang memiliki tantangan tersendiri. Dibalik kelabilan emosi, keluguan akan suatu pengalaman, dia tetaplah manusia yang memiliki sisi sensitif. Kita tak bisa serta merta memberikan larangan secara keras atas pergaulan yang mereka pilih. Atau kegiatan yang masih berbau pendidikan yang mereka pelajari.

Bisa jadi pendekatan secara psikis bisa menjadi upaya agar bibit-bibit generasi bangsa ini memahami bahwa tindakan maupun paham radikal adalah salah. Dan semua upaya ini bisa berawal dari keluarga.

***