Batas Kesadisan

Siapapun korbannya, respon normal untuk sebuah peristiwa tragis adalah berduka cita, sedih, menangis, minimal prihatin dan simpati, tidak ada manusia normal yang menyukai kekerasan.

Senin, 14 Oktober 2019 | 07:03 WIB
0
385
Batas Kesadisan
Ilustrasi sadis (Foto: Kumparan.com)

Kita boleh tidak menyukai (mengingkari) sesuatu/seseorang, karena berbagai alasan, apalagi alasan yang membawa manfaat.

Tapi jangan membenci.

Atau bolehlah membenci, tapi sekedarnya saja. Jangan sampai kebencian tersebut menguasai diri kita. Merubah pola pikir & perilaku kita.

Karena apa? Sama seperti mencinta, kebencian itu bisa menghilangkan nalar hingga ke titik minus.

Seseorang dalam keadaan normal, mungkin untuk membunuh tikus dan serangga yang mengganggu pun dia tidak tega (itu saya).

Namun dalam situasi lain... Saat marah, emosi, terhasut, terprovokasi, dalam kerumunan.. ketika ia memelihara kebencian dan situasi lain tersebut memancingnya keluar, ia tidak akan pernah tahu dan membayangkan apa yang akan mampu ia lakukan.

Semuanya akan berlangsung cepat, di luar kendali dan bahkan tidak sadar apa yang ia sedang lakukan. Seperti sebuah pembunuhan tanpa rencana.

Ia mungkin bisa saja sanggup membakar manusia hidup-hidup. Menusuk orang berkali-kali hingga mati lalu memutilasinya. Melakukan penyiksaan yang sangat sadis di luar batas kemanusiaan dan semakin korban menjerit kesakitan justru ia menikmatinya.

Bukan, ia bukan seorang psikopat. Ia tidak memiliki gangguan mental sama sekali.

Itu hanya sebuah rasa kebencian yang meluap keluar karena dipicu oleh sesuatu. Setiap orang bisa mengalaminya, dalam situasi apapun.

Misalnya, anda membenci perempuan bercadar. Lalu pada siang yang cerah saat anda makan siang di sebuah foodcourt, tertangkap oleh massa perempuan bercadar kedapatan mencuri.

Baca Juga: Soal Penusukan Wiranto, Masih Tidak Percaya Pernyataan Prabowo?

Seketika itu juga kebencian anda meluap dan sanggup menelanjangi perempuan tersebut di depan umum. Anda tidak kasihan sama sekali pada perempuan yang wajahnya menatap anda, mengiba meminta dibelaskasihani.

Nalar anda sudah hilang dan dikuasai kebencian.

Situasi semacam itu bisa terjadi pada siapa saja. Tidak perlu menjadi seorang psikopat atau bipolar.

Seorang dosen, yang keseharian dikenal baik, karena kebenciannya kepada suku tertentu, sanggup merakit banyak bom untuk diledakkan di pertokoan milik suku tersebut.

Seorang pria yang dikenal alim, rajin beribadah, punya sikap perilaku yang baik dalam pergaulan, mungkin tidak berbeda dengan keseharian anda sekalian, orang baik-baik dan tinggal di lingkungan yang baik. Karena kebenciannya kepada pemeluk agama lain, bisa merakit sebuah bom berdaya ledak tinggi dengan satu tujuan, menghancurkan orang-orang yang ia benci.

Atau dengan banyak cara lainnya sesuai kemampuannya. Menggorok dengan pisau, menikam dengan belati, menghantam dengan batu, dlsb.

Hari-hari belakangan ini, dalam skala "hilang nalar" yang lebih rendah, kita juga menyaksikan pertunjukan 'kebencian' di media sosial. Mungkin anda salah satu pelakunya.

Terjadi satu peristiwa penikaman terhadap seorang mantan Jenderal, dan menciptakan berbagai respon atas peristiwa tersebut.

Siapapun korban tersebut, respon normal untuk sebuah peristiwa tragis adalah berduka cita, sedih, menangis, minimal sekali prihatin dan simpati..karena tidak ada manusia normal yang menyukai tindak kekerasan.

Penjahat sadis sekalipun berhak mati di tiang gantungan atau di ujung senapan melalui proses pengadilan, bukan melalui tindak kekerasan main hakim sendiri, tanpa proses pembelaan diri.

Namun dengan kebencian, anda bisa merayakan kegembiraan atas sebuah tindak kekerasan terhadap orang-orang yang anda benci. Bentuk yang paling kecil adalah memberikan emoticon tertawa dan love pada sebuah postingan yang mempertontonkan tindak kekerasan.

Atau dalam bentuk lain, karena nirempati akibat kebencian, tidak menganggap tindak kekerasan sebagai sesuatu yang perlu ditentang. Anda tidak mengingkarinya.

Untuk tidak mengingkarinya anda membutuhkan alasan, seperti tindak kekerasan tsb hanyalah sebuah rekayasa. Sehingga berempati pada peristiwa tersebut bukanlah suatu hal yang diperlukan lagi.

Dengan kebencian, anda sangat mungkin untuk kehilangan nalar dan berespon di luar keumuman respon manusia normal.

Dan titik bahayanya adalah ketika anda bahkan tidak menyadari anda sedang berpikir dan berlaku di luar kenormalan.

Saya sendiri kadang juga suka membayangkan...

Jika nalar saya sudah hilang dari kepala saya, titik kesadisan sampai mana yang akan sanggup saya lakukan. Astaghfirullah.

Jangan membenci berlebihan.

***
.