Tentang Mualaf [1] Deddy Corbuzier

Ketika Deddy Corbuzier pindah agama, saya rasa, dia hanya sedang mengubah tata cara mendekati tuhan. Sejatinya ia tetap meyakini sesuatu yang di luar dirinya.

Senin, 24 Juni 2019 | 12:09 WIB
0
863
Tentang Mualaf [1] Deddy Corbuzier
Deddy Corbuzier (Foto: Indopos.com)

Saya punya banyak teman yang berpindah agama. Ada teman Kristen, jadi mualaf. Ada teman muslim kini jadi jemaat gereja yang taat. Ada teman Buddha, pindah ke Katolik. Ada teman Hindu yang sekarang muslim.

Bahkan gak sedikit teman saya yang sekarang ngaku agnostik. Ada juga yang mulai meyakini atheis. Ada teman saya yang kini mulai memghidupkan kembali ajaran Kejawen. "Kita kembali ke kearifan lokal," ujarnya terkekeh.

Semuanya asyik-asyik aja. Saya gak ada urusan sama kepindahan agamanya. Gak ada persoalan dengan cara mereka mendekati Tuhan. Itu urusan pribadi mereka.

Kebanyakan teman yang pindah agama, disebabkan karena pasangannya. Mereka mengikuti agama istri atau suaminya, biar ketika menjadi suami istri bisa klop. Bisa ke gereja bareng. Atau bisa tarawihan bersama.

Jarang ada pasangan berbeda agama yang tetap mempertahankan agamanya masing-masing. Sebab, dalam setiap agama, ada satu kekhasan yang tidak mungkin bisa dipahami orang yang menganut agama lain. Jadi dibutuhkan tingkat toleransi maksimal jika orang berani menjalankan hidup dengan pasangan berbeda agama.

Saya jarang menemukan orang yang berpindah agama karena, kuckuk-kucluk, dia tetiba menemukan Tuhan dengan caranya sendiri. Atau mencapai sebuah pencerahan. Dalam bahasa PKS-nya, karena mendapat hidayah. Maksudnya mendapat hidayah beneran. Bukan hidayah nurwahid.

Mungkin ada yang benar-benar dapat hidayah seperti itu. Tapi gak banyak.

Lingkungan adalah faktor paling utama seseorang pindah agama.

Intinya begini. Kebanyakan orang pindah agama karena dia mendapat pasangan. Bukan karena dapat hidayah.

Menurut saya, orang pindah agama, yang paling berat itu bukan karena dia mengganti imannya kepada Tuhan. Toh, agama apapun, tetap meyakini Tuhan yang ghaib. Yang tidak terjangkau manusia. Sesuatu yang di luar dirinya dan alam semesta.

Soal apa definisi tentang tuhan, memang masing-masing keyakinan punya pengertian berbeda. Tapi pada dasarnya semuanya mengacu pada dzat yang berada jauh di luar dirinya. Yang menguasai seluruh semesta.

Mana ada agama yang mengakui tuhannya gak punya power mengatur seluruh dunia ini. Semua orang beragama pasti berprasangka tuhan yang mereka pahami begitu hebat dan super. Dia bisa mengatur rezeki, nasib, perputaran dunia. Bahkan menentukan akhir kehidupan. Dia mengelola alam semesta. Mengetahui yang tampak dan sembunyi.

Makanya ketika manusia menyadari dirinya 'nothing' dan tidak berdaya, dia menyandarkan pada kekuatan yang maha hebat itu. Mereka berdoa.

Masalahnya alam semesta ini ya, cuma satu. Alam semesta orang kristen, orang Hindu, muslim atau Tionghoa, sama saja. Tapi entah kenapa, manusia meyakini dzat yang mengelolanya berbeda. Mungkinkah yang dikelola satu, tapi pengelolanya begitu banyak?

Pertanyaanya, apakah tuhan kristen hanya mengatur dunia buat orang kristen. Apakah tuhan Hindu hanya mengatur perputaran bumi khusus umat Hindu?

Wong alam semestanya cuma satu.

Jadi ketika Deddy Corbuzier pindah agama, saya rasa, dia hanya sedang mengubah tata cara mendekati tuhan. Sejatinya ia tetap meyakini sesuatu yang di luar dirinya. Dia tetap meyakini sesuatu Dzat yang begitu perkasa yang mengatur seluruh kehidupannya.

Saya pernah bertanya pada teman yang berpindah agama : apa isi permintaan dalam doamu sekarang berbeda? Ternyata sama. Ketika dulu ia kristen, ia sering berdoa meminta berkah untuk kehidupanya. Saat jadi muslim, yang diminta sama juga. Hanya jenis mengucapannya saja yang berbeda.

Bukan hanya pindah beda agama saja yang membuat manusia berbeda cara mendekati tuhan. Bahkan dalam satu agama, berpindah mazhab juga ikut mengubah tata cara mendekati Tuhan.

Teman saya yang dibesarkan dari tradisi Suni, ketika mengubah keyakinan jadi Syiah, tata cara beragamanya juga berubah. Ia misalnya, kalau sholat tanganya lurus. Gak bersedekap.

Teman saya yang tetiba jadi wahabi beda lagi. Dulu ia sering berziarah ke makam orang tuanya. Kini gak lagi. Dulu ia sering ikut acara sholawatan. Sekarang malah membidah-bidahkan.

Dulu teman perempuan saya hanya memakai jilbab biasa. Model pendek. Sekarang ia memakai baju gedombrangan warna hitam. Teman lelaki kini meyakani lelaki harus berjenggot, mengikuti sunnah Nabi. Meski karena ia orang Indonesia asli, jenggotnya cuma ada empat lembar.

Begitupun penganut kristen. Mereka yang mengikuti mazhab kharismatik berbeda tata cara ibadahnya dengan pengikut mazhab lainnya. Cara nyanyinya di gereja juga berbeda. Kalau Anda penganut kristen terbiasa ibadah di gereja Advent misalnya, pasti akan kaget juga jika ikut jemaah kharismatik.

Ada jemaah gereja yang meyakini seorang gembalanya bisa turun naik ke surga, bolak-balik. Ada juga jemaah gereja lain yang menertawakan doktrin itu. Padahal sama-sama kristen.

Umat Hindu India dengan umat Hindu Bali, gak sama ibadahnya. Di India tidak dikenal hari raya Nyepi.

Ada orang yang pindah agama. Ada orang yang hanya pindah mazhab atau aliran, tapi tetap seagama. Intinya sama. Mereka sama-sama mengganti cara ibadahnya untuk berdekatan dengan tuhan.

Kehidupan tidak akan terganggu cuma karena seseorang pindah agama. Itu urusan dia pribadi.

Kehidupan akan terganggu apabila ada yang pindah agama, lalu menjelek-jelekkan agama sebelumnya. Sebab itu menyakiti banyak orang.

Kehidupan juga akan terganggu apabila orang pindah mazhab, lalu hobbi membidahkan dan mengkafirkan orang yang berbeda aliran dengannya.

Di Bumi yang sama hidup orang dengan berbagai agama dan keyakinan. Apakah sesungguhnya Tuhan yang pengelola alam raya dan kehidupan manusia jadi berbeda, hanya karena manusia berbeda agama?

"Di Indonesia ini, masuk Islam, masuk kristen, masuk Buddha gak dilarang mas. Yang gak boleh kalau kita masuk HTI," ujar Abu Kumkum.

Eko Kuntadhi

***