Fenomena ini yang saya lihat sedang berkembang meluas, wabil khusus pada kelompok Muslim moderat, liberal dan nasionalis.
Inilah sebabnya dulu saya sempat menghimbau para netizen agar tidak membuat satire dengan cara mengedit konten-konten dari media mainstream, meski tujuannya hanya becanda atau humor.
Pertama karena tidak semua orang memiliki tingkat humor yang sama, sehingga belum tentu menangkap satire yang dimaksud, dan dapat mengecoh atau menimbulkan multitafsir bagi yang tidak menangkap pesan satire-nya.
Kedua, pengeditan konten dari media mainstream bisa menyuburkan hoax.
Adanya fabrikasi pada media mainstream yang kita anggap sebagai media yang masih menjunjung kode etik jurnalisme dan menjadi pegangan kita untuk menyelamatkan diri dari informasi hoax, dapat menurunkan tingkat kepercayaan publik pada media mainstream, karena ternyata media mainstream pun tidak selamat dari informasi hoax (padahal hanya fabrikasi).
Contohnya satu artikel dari media Kompas yang sudah diedit gambarnya, yang saya lihat kemarin diposting oleh netizen dengan narasi caption yang berpotensi menyesatkan atau mengecoh pembaca (sayang saya lupa menskrinsut caption nya).
Intinya, pada judul berita terlampir (KJRI Hamburg menyelenggarakan pagelaran seni budaya Jawa Barat) dengan menampilkan gambar wanita-wanita busana Muslim, menciptakan premis yang salah seolah-olah budaya Jawa Barat telah "di-Islam-kan" sehingga kini berpenampilan lebih syar'i, dan budaya Jawa Barat yang telah bertransformasi inilah yang ditampilkan oleh KJRI Hamburg.
Lalu umat Islam yang sedang bereuforia dengan "dakwah hijrah" (dampak dari politisasi agama juga) bersorak suka cita, merasa dimenangkan, dst.. Padahal dasar semua ini adalah HOAX!
Gambar wanita-wanita berbusana Muslim itu tidak salah, memang bagian dari acara yang diselenggarakan oleh KJRI Hamburg. Namun konteksnya adalah pameran busana muslin yang diselenggarakan oleh salah satu desainer Indonesia, dalam konteks memperkenalkan industri dan dunia usaha domestik ke pentas dunia.
Namun ketika gambar tsb disandingkan dengan judul berita tentang Seni Budaya Jawa Barat, bisa menimbulkan persepsi yang salah dari pembaca.
To be honest, saat ini saya memang sedang melawan gerakan "dakwah" semacam ini. Bukan karena saya tidak suka, bukan karena saya yang sering dicap orang "golongan munafik" bla bla bla..
Tapi karena saya menganggap gerakan dakwah semacan ini melenceng dari koridornya, menyesatkan dan menjauhkan umat dari ajaran Islam (yang sesungguhnya) itu sendiri.
Lebih lanjut, memberikan citra buruk pada Islam yang sebenarnya, dan ini berakibat bukan hanya pada pandangan umat non-Islam terhadap Islam, tapi juga umat Islam sendiri menjadi apriori terhadap agamanya sendiri.
Dan dampak yang paling negatif, yaitu melemahkan umat untuk belajar ilmu agama, karena adanya apriori dan ketakutan-ketakutan tadi (islamophobic).
Fenomena ini yang saya lihat sedang berkembang meluas, wabil khusus pada kelompok Muslim moderat, liberal dan nasionalis.
Karena cara-cara yang salah dalam dakwah, umat Islam menjadi saling curiga mencurigai antar satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Terkadang dengan dasar, lebih sering lagi tanpa dasar, hanya berdasarkan asumsi-asumsi, prejudice, stereotyping, dan termasuk hoax semacam ini.
Ini keadaan yang memiriskan, dan dalam jangka panjang bisa sangat berbahaya, baik bagi Islam itu sendiri, praktik beragama umat, maupun bagi kerukunan, ketertiban dan keutuhan NKRI.
Saya peduli. Bagaimana dengan Anda ?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews