Professor Makar

Dari penjelasan Prof Andi itu, terbuka mata saya betapa sewenang-wenangnya tuduhan makar yang ditudingkan pada para oposan saat ini.

Kamis, 20 Juni 2019 | 06:42 WIB
0
689
Professor Makar
Saya dan Andi Hamzah (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Enaknya pekerjaan saya adalah, saya digaji untuk melakukan diskusi-diskusi. Topiknya bisa apa saja: ekonomi, politik, sosial, budaya dan sebagainya.

Dalam rangkaian diskusi itulah saya bertemu dgn banyak pejabat dan pakar. Hari ini misalnya, karena lembaga saya sedang membahas soal penegakan hukum, saya bertemu dengan Menkumham Yasonna Laoly. Tapi bukan beliau yg saya ingin ceritakan kali ini.

Saya mau cerita tentang sosok Prof Andi Hamzah. Tentu teman-teman mengenal sosok beliau, pakar hukum pidana senior yang beberapa kali tampil memukau di ILC TV One. Beliau diundang karena merupakan salah seorg perancang revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita yang sampai ekarang masih adopsi dari hukum era Belanda.

Saya baru tahu bahwa beliau ternyata orangnya suka bercanda. Humoris, jauh dari kesan angker di wajahnya. Lihat posisi beliau berdiri di foto ini. Sikap sempurna. Karena sesaat sebelum difoto, beliau bilang, "Siaaap grak!" Hehehee. Saya jadinya menahan tawa.

Saat diskusipun, suasana meriah. Misalnya, saat mengkritik rancangan KUHP, contoh yg beliau ambil membuat tertawa. Dia mengambil contoh soal "kumpul kebo" (cohabitation) dan bersetubuh satu kali bujang dengan bujang (fornification).

Menurut Prof Andi, ancaman pidana kedua tindakan itu secara teknis keliru. Untuk satu kali bersetubuh antara bujang dengan bujang, ancaman pidananya empat tahun. Sedangkan kumpul kebo dipidana penjara hanya satu tahun.

"Masak yang bersetubuh di luar nikah berkali-kali hanya dihukum 1 tahun sedangkan yang hanya bersetubuh satu kali diancam pidana empat tahun. Ini 'kan tidak adil," katanya disambut tawa hadirin.

Namun yang paling menarik perhatian saya adalah saat beliau menjelaskan bahwa hukum saat ini kacau karena banyak penegak hukum kurang menguasai hukum atau undang-undang.

Beliau mengambil contoh kasus "makar" yang dalam bahasa aslinya disebut "aanslag". Menurut dia, pengertian makar itu sama sekali tidak dimengerti penegak hukum.

Dia lantas menjelaskan, konteks lahirnya ketentuan soal makar dalam KUHP Belanda. Hal itu dipicu oleh peristiwa jatuhnya kekaisaran Rusia (Tsar) dalam revolusi komunis di Rusia Tahun 1918.

Kejatuhan Tsar Rusia, memicu gelombang kekhawatiran akan jatuhnya kerajaan-kerajaan di Eropa sehingga Eropa menderita "demam revolusi". Kerajaan Eropa yang paling takut akan menularnya pembantaian keluarga Tsar di Rusia itu adalah Belanda.

Karena itulah mereka membuat UU Anti Revolusi (Anti Revolutie Wet) pada 28 Juli 1920, hanya berselang 2 tahun dari Revolusi Rusia. Isinya adalah, untuk delik mencoba membunuh raja, menggulingkan pemerintah dan memberontak kepada Negara, tidak berlaku Pasal 45 Ned. WvS ( = Pasal 53 KUHP) tentang "Percobaan".

Yang berlaku adalah Aanslag yang berarti: (1) ada NIAT, (2) ada permulaan pelaksanaan tapi (3) tidak selesai baik karena gagal atau pelakunya mundur. Jadi, kata beliau, makar itu tidak cukup hanya "niat" saja tapi sudah ada "permulaan pelaksanaan" aksi.

Di Indonesia (Hindia Belanda), ketentuan soal itu baru masuk tahun 1930 dalam WvS voor Ned. Indie (KUHP kita saat ini). Itupun dipicu oleh adanya Pemberontakan PKI/Muso tahun 1926 di Semarang. Dari konteks itu, aanslag/Makar, harus ada permulaan pelaksanaan seperti halnya pemberontakan PKI Muso itu.

Dari penjelasan Prof Andi itu, terbuka mata saya betapa sewenang-wenangnya tuduhan makar yang ditudingkan pada para oposan saat ini. Hanya karena menuding Pemilu atau Jokowi curang saja, orang sudah bisa ditangkap karena tuduhan makar?

Oh yaa... Hadir juga dalam diskusi Menkumham Yasonna Laoly dan pakar hukum yang juga senior, Prof Mardjono Reksodiputro. Tapi saya kadung terpesona oleh paparan Prof Andi Hamzah, Sang "Prof Makar".

Sehat terus Prof! Terus bersuara keras dan objektif dengan keilmuan Prof.

Tabik!

***