Intuisi dan Ketenangan Don Allegri

Allegri adalah sosok dengan intuisi, kematangan, dan profesionalisme. Sebagaimana seorang Don, Allegri tidak gegabah, kalem, dan berintuisi tajam. Ia membidik musuh dari jauh, dan melumat habis ketika momen itu tiba.

Selasa, 19 Juli 2022 | 13:54 WIB
0
230
Intuisi dan Ketenangan Don Allegri
Foto: Sindonews

Massimiliano Allegri hidup melewati banyak persimpangan jalan dengan intuisinya. Dari satu kemelut ke kemelut lainnya, ia cenderung menggunakan intuisi untuk memutuskan sesuatu yang bersifat krusial. ”Ia terbiasa bertindak dengan instingnya.” Ujar ayahnya.

Tiga puluh tahun lampau, ia pernah mengandaskan pernikahannya secara sepihak. Mereka yang menjadi orang-orang terdekat Allegri, kala itu sempat terkejut mendengar keputusannya. Tetapi ia terlanjur bulat. Ia punya alasan yang tidak bisa digugat ulang oleh siapapun.

Dua hari menjelang momen sakral itu, ia memutuskan lari, meski bunga-bunga pernikahan telah dirangkai, dan semua persiapan nyaris usai. Keluarga mantan tunangannya tidak terima. Tetapi Allegri bersikukuh. Ia telah melewati pergulatan pikiran berbulan-bulan lamanya, sehingga ia yakin jalan terbaik bagi dirinya adalah dengan membatalkan pernikahan, kendati untuk sebagian pihak itu menyakitkan.

Ditanya mengapa, ia menjawab semuanya karena sepakbola. Sepakbola menjadi alasan ia membatalkan pernikahannya. Ia ingin mempertaruhkan hidupnya untuk sepakbola. Firasatnya bertutur kala itu, bahwa masa depannya ada di sepakbola yang menurutnya, ”permainan bodoh tapi diperagakan orang-orang cerdas.”

Setelah itu, yang terjadi adalah serangkaian pertaruhan yang dilakukannya di atas lapangan hijau. Ia tidak perlu lagi bertaruh demi melewati fase kemelut hidup. Yang ia lakukan hanya bertaruh mengenai apa yang akan diperagakan sebelas anak didiknya untuk meraih kemenangan.

Mentalitas dan Intuisi

Kemudian, pertaruhan hidupnya terbukti tepat. Kini ia menjelma allenatore yang namanya cukup harum di sepakbola Italia. Satu Scudetto bersama AC Milan, disambung dengan lima Scudetto beruntun, dan empat trofi Coppa Italia bersama Juventus cukup untuk membuktikan keabsahan Allegri sebagai sosok besar di Serie-A.

Scudetto pertamanya di jagad Serie-A ia peroleh bersama AC Milan. Di sana, ia didatangkan Adriano Gaillani -sosok nomor dua di AC Milan- dari tempat yang oleh tifosi Milan disebut sebagai antah-berantah, Cagliari. Torehan trofinya di sana baru sebatas memenangkan Serie-B dan itu bukan suatu hal yang bisa menenteramkan hati para tifosi yang sudah lama mendamba trofi.

Tetapi pembuktian tak datang lebih lama dari penantian. Allegri mempersembahkan Scudetto di tahun pertama membesut Milan. Dengan skuad berlabel nama-nama wahid di masa itu, Allegri berhasil memberi bukti, bahwa ia adalah orang yang tepat untuk tim yang dihuni pemain-pemain kelas dunia. Meski pengalamannya sempat diragukan, ia peduli setan dengan semua cibiran. Dahaga Milan akan gelar selama enam musim akhirnya tuntas bersama Allegri.

Pergi dari Milan, ia dipanggil oleh Agnelli -Penguasa Juventus- ke Turin. Hanya saja reputasinya bekerja bersama Milan, dianggap angin lalu oleh fans Juventus. Ia dinilai bukan tandingan Conte, pelatih mereka sebelumnya. Para fans beranggapan, tongkat estafet kepemimpinan Conte mesti diteruskan oleh sosok yang punya aura heroisme dan akrab dengan kemenangan. 

Barang sebentar, Turin pun menjadi tempat penahbisan kejayaan Allegri. Fans pun bungkam oleh sederet trofi yang dihadirkan Allegri. Mereka mulai mengakui keberadaannya. Penilaian awal mereka pun sirna seiring kesuksesan Allegri mempertahankan jiwa pemenang Juventus. Terlebih ia juga berhasil mendudukkan Juventus ke kancah persaingan lebih tinggi di kompeitisi elit benua biru.

Kesuksesannya di Serie-A bagi Allegri sebenarnya sederhana. Menurut pria kelahiran Livorno lima puluh enam tahun silam itu, kemenangan sepakbola cukup diramu dari seni, stamina, dan kecerdasan. Ketiga hal itu, menurut Allegri tak perlu diejawantahkan dengan konsep-konsep rumit.

Pada suatu kesempatan ia mengatakan lebih suka kemenangan ketimbang proses permainan. Sebuah kemenangan bisa digapai lewat cara apapun tanpa harus mengandalkan rumusan permainan yang betele-tele. Sikap itu membuatnya lebih suka mengandalkan intuisi ketimbang kalkulasi taktik dan analisis.

Karena terbiasa bekerja dengan intuisi, ia membuat Juventus menjadi tim yang lekat dengan citraan pragmatis. Ia tidak akan memaksa Juventus bermain dalam suatu pakem tetap dan mencari celah kemenangan dari pakem itu. Maka, Juventus pun menjadi tim yang tidak terlalu menghibur, tetapi mampu menghadirkan banyak kemenangan.

Sampai hari ini, Allegri mencatatkan rasio kemenangan tertinggi dari semua pelatih yang pernah menukangi Juventus. Persentase kemenangannya menyentuh angka, 70,6 %. Bahkan itu juga menjadi catatan tertinggi dari semua pelatih sepakbola di lima besar liga-liga Eropa.   

Karena taktiknya banyak berdasar pada intuisi dan pengalaman, ia juga banyak bertindak sebagai psikolog tim. Ia menilai pemainnya berdasar pengamatan, lantas mengolah itu ke sisi lain perasaannya, dan menjadikannya pedoman memutuskan suatu hal bagi timnya.

”Seorang pelatih bekerja dengan persepsi dan sensasi. Di luar itu, jika terlalu metodis, sepakbola akan kehilangan arwahnya sebagai sebuah permainan.” katanya.

Maka, bisa dibilang ia adalah seorang perasa di sebuah profesi yang sarat akan rasionalitas dan menuntut kecanggihan analisis. Allegri hanya mengatur permainan anak buahnya dari sebuah kesederhanaan: memotivasi para pemainnnya, memberi panduan taktik secukupnya, dan memerintahkan para pemainnya bertugas sesuai posisi mereka masing-masing. Sesederhana itu.

Ketenangan

Massimiliano Allegri mempunyai kepiawaian mengelola ruang ganti. Sebab, menjaga atmosfer ruang ganti adalah salah satu siasat untuk menjaga psikologi tim. Dengan mengendalikan ruang ganti, pemain akan lebih fokus dan berkonsentrasi pada dirinya sebagai pusat ide dan instruksi permainan.

Maathijs De Light dalam suatu kesempatan pernah mengatakan, ”ia punya kharisma di ruang ganti. Membuat para pemain segan kepadanya.”

Ketenangan dan ketegasan di ruang ganti membuat Allegri tak perlu banyak berteriak di pinggir lapangan. Ia bukan jenis pelatih yang heboh sendiri melancarkan perang urat syaraf di pinggir lapangan, sembari memaki-maki mereka yang berseberangan dengannya.

Allegri bukan allenatore dengan furbizia yang menjengkelkan seperti Mourinho, atau Diego Simeone. Di pinggir lapangan, ia cenderung tampak kalem memasukkan kedua tangannya di saku celana, berdiri di depan bench mengamati pertandingan, dan sesekali berteriak, ”Dai, dai, dai.” 

Gianluigi Buffon, salah satu legenda Juventus itu pernah memuji Allegri sebagai seorang jenius. Menurut Buffon, Allegri  mampu memadupadankan sikap kerja sama, rendah hati, dan rasa haus akan kemenangan sebagai sebuah nilai yang harus diresapi para penggawa Juventus.

”Juventus di bawah Allegri adalah tim dengan kepribadian yang berbeda, dari tim-tim yang pernah saya bela sebelumnya, karena ia mendesain ulang tim.”

Para pemain pun menaruh respek tinggi terhadap Allegri. Setumpuk perangainya di luar lapangan, yang dikenal sebagai seorang hedonis, tak membuat kharismanya surut. Ia tetap berpendar sebagaimana pemimpin yang tahu bagaimana membawa kawanannya keluar menjadi seorang pemenang.

Sebagai bukti, nyaris tak ada isu miring beredar tentang konflik internal tim. Karena di antara ia dan para pemain, terjalin profesionalisme yang diringkus secara kekeluargaan dengan Allegri sebagai sang patriark. Kalau terjadi konflik di tengah mereka, itu bisa dikelola tanpa memecah fokus dan tujuan bersama sebagai sebuah tim.

Juventus, sebagaimana yang publik bola mengerti, adalah tim dengan ambisi, elegansi, dan tuntutan besar. Mengemban semangat Juventus membutuhkan suatu mentalitas khusus dan kepercayaan diri yang cukup. Maka, menjadi bagian dari mereka, membutuhkan kesepadanan nilai yang ada antara punggawa dengan kultur klub.

Allegri adalah sosok dengan intuisi, kematangan, dan profesionalisme. Sebagaimana seorang Don, Allegri tidak gegabah, kalem, dan berintuisi tajam. Ia membidik musuh dari jauh, dan melumat habis ketika momen itu tiba. Itu semua dilakukannya dengan sebuah ketenangan, dan juga kejeniusan. Ia dan Juventus, adalah keserasian yang sering disangkal, tetapi sebenarnya saling membutuhkan.

***