Lasem

Ngobrol dengan Gus Zaim adalah kenikmatan tersendiri. Rumahnya di kawasan pecinan Karang Turi adalah dulu milik seorang Tionghoa yang ia beli

Minggu, 26 Desember 2021 | 07:34 WIB
0
232
Lasem
Saya bersama Gus Qoyum (Foto: Dok. pribadi)

Di benak saya, Lasem adalah kota yang penuh dengan gambaran-gambaran yang "magis". Jika bagi para pelancong Jakarta, kota ini identik dengan batik, arsitektur Tionghoa, dan wisata kuliner (Lontong Tuyuhan), maka bagi saya, Lasem identik dengan hal-hal lain yang "sakral".

Waktu masih kecil, saya hanya mendengar kisah-kisah kiai hebat dari Lasem: Kiai Ma'shum, Kiai Baidlawi, dan Syech Mashduqi. Tetapi saya tidak pernah berkesempatan bertemu dengan mereka. Pada saat mereka wafat, saya masih kanak-kanak. Saat Kiai Ma'shum wafat pada 1972, misalnya, saya baru berumur 5 tahun. Belum "ndolor" (bernalar). Padahal jarak antara desa saya di Pati dan Lasem, hanya sekitar 30an km. Tidak jauh.

Memori mengenai Kiai Ma'shum hanya saya peroleh melalui fotonya yang menghiasi kalender yang biasa digantung di tembok ruang tamu para keluarga santri di daerah saya. Selebihnya, saya hanya mendengar kisah-kisah "keramat" Mbah Ma'shum yang dituturkan secara lisan oleh guru-guru saya di madrasah.

Tentang Syech Mashduqi, saya baru mendengar kisah-kisahnya belakangan, melalui Gus Mus. Kata Gus Mus: hanya ada satu "hadlratus syaikh" di Indonesia; yaitu Mbah Haysim Asy'ari, kakek Gus Dur. Dan hanya ada dua "syekh" di Jawa, yaitu Syekh Mas'ud Kawonganten, Cilacap, dan Syekh Mashduqi Lasem. Gus Dur pernah menulis kolom khusus di majalah Tempo tentang Syekh Mas'ud Kawonganten.

Kemaren, saya "sowan" ke Gus Qoyyum dan Gus Zaim di Lasem. Gus Qoyyum adalah putera Kiai Mansur bin Kiai Kholil Lasem (salah satu pendiru NU). Dia adalah keponakan dari Kiai Sahal Mahfudz, Kajen. Sementara Gus Zaim adalah cucu dari Kiai Ma'shum Lasem, dan keponakan dari kiai besar Kiai Ali Ma'sum Krapyak, Yogyakarta, yang pernah menjabat sebagai Rois Aam PBNU.

Dengan Gus Zaim, saya ngobrol banyak dan "gayeng" tentang Lasem sebagai kota "convivia", kota di mana berlangsung kehidupan damai-berdampingan antara berbagai masyarakat, terutama Jawa dan Tionghoa. Gus Zaim bisa kita sebut sebagai "Gus Dur"-nya kota Lasem. Dialah yang menjadi tokoh pluralisme di kota ini; menjadi jembatan antara berbagai golongan. Ngobrol dengan Gus Zaim adalah kenikmatan tersendiri. Rumahnya di kawasan pecinan Karang Turi adalah dulu milik seorang Tionghoa yang ia beli

Sementara Gus Qoyyum memperlihatkan koleksi kitab dan bukunya yang amat amat impresif, mengesankan: menempati empat rumah penuh. Gus Qoyyum menunjukkan kepada saya manuskrip kitab Manhaj Dzawi al-Nadzar karya Syaikh Mahfudz al-Turmusi (guru dari para ulama nusantara yang belajar di Mekah pada awal Abad ke-20). Manuskrip ini ditulis pada zaman ketika Kiai Mahfudz masih "sugeng", hidup. (Foto manuskrip ini saya sertakan di bawah).

Saya menikmati benar pisowanan kali ini di Lasem. Perjalanan ke Lasem kali ini dimungkinkan berkat "goro-goro" yang digagas oleh Hamzah Sahal dan Susi Ivvaty.

***