Murka yang Bermakna

Maka, murka menjadi kreatif. Ia memiliki daya cipta dari kerusakan yang ada. Inilah murka yang menghidupkan, karena ia lahir dari kepentingan yang lebih besar.

Senin, 13 Desember 2021 | 07:10 WIB
0
170
Murka yang Bermakna
Ilustrasi kemarahan (Foto: rumahfilsafat.com)

Bolehkah orang murka atau marah? Bolehkan orang bersikap keras dalam keadaan-keadaan tertentu? Bolehkah makian keras dilontarkan antar manusia? Apakah murka itu sepenuhnya salah?

Murka itu terasa di dada. Napas sesak, dan jantung berdetak keras. Tekanan darah meninggi, dan menghasilkan dorongan keras ke kepala. Kata dan makian keras pun keluar dari mulut, dan kerap merusak telinga.

Murka membuat lelah. Tubuh lunglai, setelah murka meledak. Emosi juga seperti tercabik. Murka bagaikan racun untuk batin dan tubuh manusia.

Murka yang Terlupa

Di masa kita hidup, menurut Peter Sloterdijk di dalam bukunya Zorn und Zeit: politisch-psychologischer Versuch, murka ditekan oleh tradisi. Murka dianggap hal yang jelek. Maka, ia harus dihindari. Ketika murka dipendam, ia merusak perkembangan peradaban. Manusia pun terjebak di dalam kehidupan bermutu rendah.

Murka adalah energi hidup yang mesti dilepas. Jika ia ditekan, akan ada keanehan timbul. Masyarakat akan diisi dengan budaya pembiaran, sehingga kekacauan hidup bersama tak terhindarkan. Murka harus menemukan saluran yang tepat.

Murka yang dipendam akan menjadi bom waktu. Hal kecil yang merusak, namun didiamkan, akan menjadi bom nuklir sosial di masa depan. Tak heran, Indonesia menyumbangkan kata amok bagi kosa kata dunia. Ini adalah murka massal yang merusak segala, tanpa arah.

Murka yang Bermakna

Sloterdijk juga menegaskan, bahwa kita hidup di masa yang melupakan murka (Zornvergessenheit). Kelupaan ini menciptakan manusia-manusia sakit jiwa yang menekan hasrat hidupnya sendiri. Murka, sebagai bagian dari energi hidup, adalah dorongan untuk tindakan yang bermakna. Ketika murka disangkal, kehidupan pun justru tenggelam dalam kemuraman.

Maka, murka jelas diperbolehkan. Murka menjadi bermakna, ketika ia didorong oleh alasan yang tepat. Murka bukan lagi untuk kepentingan diri yang sempit, tetapi untuk kehidupan yang lebih luas. Murka semacam ini berasal dari rasa ketidakadilan, dan juga berjuang untuk mewujudkan keadilan.

Kita harus murka di hadapan penindasan. Kita harus murka di hadapan ketidakadilan. Kita harus murka di hadapan kemiskinan dan kebodohan. Kita juga harus murka pada selubung suci yang menutupi kemunafikan.

Maka, murka menjadi kreatif. Ia memiliki daya cipta dari kerusakan yang ada. Inilah murka yang menghidupkan, karena ia lahir dari kepentingan yang lebih besar. Di Indonesia, kita terus dijajah oleh ketidakadilan berselubung kesucian yang munafik. Kapan kita sungguh murka, dan mulai mengubah segala yang ada?

***