Keluar dari Perdebatan-perdebatan Hampa

Kita mengalami apa yang disebut Martin Heidegger, pemikir Jerman, sebagai ketidakberpikiran (Gedankenlosigkeit). Kita mengikuti kecenderungan lingkungan sosial kita, tanpa bertanya.

Rabu, 10 November 2021 | 08:02 WIB
0
195
Keluar dari Perdebatan-perdebatan Hampa
Ilustrasi (Foto: Dok. pribadi)

Hampir 20 tahun, saya mendalami filsafat secara sistematik. Dalam kaitannya dengan teologi dan agama, ada perdebatan-perdebatan abadi yang muncul dalam wacana filsafat. Saya berpendapat, bahwa perdebatan-perdebatan itu hampa. Semua itu muncul dari kesalahpahaman yang berakar pada agama-agama Timur Tengah.

Ada enam isu yang terus muncul. Pertama adalah isu tentang kaitan antara agama dan ilmu pengetahuan, juga antara iman dan ilmu. Agama dianggap berpijak pada kepercayaan murni. Sementara, ilmu berpijak pada akal budi murni. Hubungan keduanya rumit, seringkali penuh kekerasan, dan tak akan bisa terdamaikan sepenuhnya.

Yang kedua adalah soal Tuhan dan penderitaan. Jika Tuhan itu maha penguasa dan penuh kasih, mengapa manusia terus hidup dalam bencana? Mengapa orang-orang tak berdosa harus hidup dalam penderitaan? Sampai kapanpun, hal-hal ini tak akan terjawab secara memuaskan.

Yang ketiga adalah soal penciptaan. Agama melihat proses penciptaan dalam hitungan hari. Sementara, ilmu pengetahuan melihat proses penciptaan dari kaca mata evolusi, yakni proses miliaran tahun yang melahirkan kehidupan dengan segala keragamannya. Sampai detik ini, beberapa kelompok agama terus ngotot dengan kepercayaannya, dan kaum ilmuwan menertawakan itu sebagai lelucon konyol.

Yang keempat adalah soal pertentangan antara kebebasan dan takdir Tuhan. Jika semua sudah digariskan oleh Tuhan, lalu apakah kita bebas? Ada macam-macam teori untuk menjawab ini. Semuanya tak akan pernah memuaskan.

Yang kelima adalah soal LGBTQ (lesbian, gay, biseksual, transgender dan queer). Agama-agama Timur Tengah selalu keras dan bingung dalam menanggapi soal ini. Akibatnya adalah kekerasan dan ketidakadilan yang berkepanjangan terhadap beberapa kelompok masyarakat.

Persoalan LGBTQ pun sering menjadi cara untuk membuat keadaan panas, dan memecah belah masyarakat, terutama menjelang pemilihan umum politik.

Yang keenam adalah surga dan neraka. Menurut agama-agama Timur Tengah, orang baik masuk surga, setelah ia mati. Orang jahat masuk neraka, juga setelah ia mati. Masalahnya, tidak ada satupun bukti nyata tentang keberadaan surga dan neraka. Para ilmuwan juga melihat ini sebagai lelucon konyol. Soal surga dan neraka setelah kematian ini juga tak akan ada jawaban yang memuaskan.

Akar dari Kehampaan

Ada tiga alasan, mengapa saya melihat kelima hal di atas sebagai perdebatan hampa. Pertama, seluruh kebingungan di atas muncul, karena kita memahami Tuhan sebagai raja yang maha kuasa dan maha pengasih yang terpisah dari diri kita sendiri. Tuhan berada di luar diri manusia, dan menentukan sepenuhnya hidup manusia. Pandangan ini tidak tepat.

Dua, semua ajaran agama Timur Tengah dianggap turun dari Tuhan langsung. Maka, ia bersifat mutlak. Ia tidak boleh ditanggapi secara kritis. Ini membuat banyak orang tidak lagi menggunakan akal sehat, nurani dan sikap kritisnya, ketika beragama. Ini juga tidak tepat.

Tiga, dua hal sebelumnya menciptakan dualisme amat kuat di dalam agama-agama Timur Tengah. Baik buruk, benar salah, dosa suci, surga neraka dan sebagainya. Dunia dibagi dua dengan keras dan sembarangan. Akibatnya, orang terus hidup dalam tegangan, baik di dalam dirinya maupun di dalam hidup bersama. Tegangan ini yang melahirkan banyak kemunafikan, seperti mengaku damai, tapi menciptakan konflik terus menerus.

Keluar dari Perdebatan-perdebatan Hampa

Semua kebingungan dan ketegangan di atas tidak terjadi di dalam filsafat Asia. Filsafat Asia berpijak pada Dharma, yakni hukum-hukum alam sebagaimana adanya. Filsafat Asia adalah tradisi leluhur kita di Indonesia. Dengan berjalannya waktu, kita melepaskan hubungan kita dengan leluhur, dan memeluk agama asing dari tanah asing.

Ada lima hal yang penting untuk diperhatikan. Pertama, di dalam filsafat Asia, iman tidak datang dari kepercayaan buta, tetapi dari eksperimen yang berkepanjangan, seperti meditasi, Yoga, Zen, Samadhi, dan sebagainya. Tidak ada perbedaan antara agama dan ilmu. Semuanya adalah jalan untuk sampai pada pencerahan dan pembebasan.

Dua, di dalam filsafat Asia, penderitaan tidak datang dari Tuhan. Penderitaan adalah hasil dari kesalahan cara berpikir. Ini berakar pada ego manusia yang kuat dan tak terkendali. Ego menciptakan keinginan liar yang tak sejalan dengan kenyataan. Inilah akar penderitaan. Tidak ada hubungannya dengan Tuhan.

Tiga, di dalam filsafat Asia, pencipta segalanya adalah kesadaran. Kesadaran ini ada di dalam diri manusia, dan terhubung dengan seluruh semesta. Seluruh alam semesta adalah kesadaran/Tuhan yang hidup, termasuk diri kita. Maka, keberadaan alam semesta itu abadi, walaupun bentuknya terus mengalami perubahan.

Empat, manusia bebas di sini dan saat ini. Ada stuktur sosial dan sejarah yang mempengaruhinya. Namun, jika ia melatih batinnya dengan tepat, ia sepenuhnya bebas disini dan saat ini. Ia bisa memilih jalan hidupnya dengan kesadaran yang ada.

Lima, tubuh manusia, baik gender maupun kecenderungan seksualnya, hanyalah bagian kecil dari kehidupan. Filsafat Asia tak pusing soal ini. Silahkan setiap orang menjalankan pilihan hidupnya masing-masing, sejauh tak mengancam kebebasan dan hak orang lain. Filsafat Asia lebih melihat pentingnya pembebasan dan pencerahan yang melampaui tubuh manusia.

Enam, surga dan neraka adalah keadaan batin. Orang yang penuh kebencian akan menderita batinnya, seperti hidup di neraka. Orang yang melatih batinnya, dan bisa menemukan kedamaian di dalam dirinya, akan bahagia. Inilah surga. Surga dan neraka tidak terjadi setelah kematian, melainkan di sini dan saat ini.

Filsafat Asia memberikan jawaban yang logis, jernih, sederhana dan masuk akal tentang kehidupan. Ia tidak membuat kita pusing dengan perdebatan-perdebatan hampa. Pun jika ada diskusi, itu adalah diskusi yang produktif. Kita jadi punya tenaga dan waktu untuk mulai melatih diri. Dengan ini, kita bisa mencapai pencerahan dan pembebasan dari semua derita kehidupan.

Mengapa Kita Terjebak pada Kehampaan?

Kita tetap terjebak pada perdebatan-perdebatan hampa, karena tiga hal. Pertama, kita melekat pada tradisi lama. Kita mengira, tradisi lama dari tanah asing sebagai kebenaran mutlak. Akhirnya, akal sehat, nurani dan sikap kritis kita terbelenggu.

Dua, kita mengalami apa yang disebut Martin Heidegger, pemikir Jerman, sebagai ketidakberpikiran (Gedankenlosigkeit). Kita mengikuti kecenderungan lingkungan sosial kita, tanpa bertanya. Kita tunduk pada tekanan sosial. Akibatnya, kita terjebak pada lingkaran kebodohan yang sama, dan menjadi manusia-manusia palsu (das Man).

Tiga, agama-agama Timur Tengah masih menguasai sumber daya politik dan ekonomi di Indonesia. Banyak orang merasa diuntungkan dari kekayaan politik dan ekonomi tersebut. Akibatnya, filsafat Asia, tradisi Dharma leluhur, akal sehat, sikap kritis dan kejernihan nurani tak laku di pasaran. Selama hubungan-hubungan kekuasaannya masih seperti ini, perubahan ke arah kebaikan akan sulit terjadi.

Saya ingin mengajak kita keluar dari perdebatan-perdebatan hampa. Saya ingin mengajak kita kembali melihat kebijaksanaan leluhur kita di Indonesia. Inilah renaisans yang sesungguhnya di Indonesia. Hanya dengan kembali menengok ajaran-ajaran luhur nenek moyang kita dengan sikap ilmiah modern, kita bisa keluar dari abad kegelapan, dan memasuki abad pencerahan. Tunggu apa lagi?

***