Percakapan dengan Pembaca Novel "Perempuan Penyapu Halaman"

Pokoknya orang bakal semakin jatuh hati sama Hamdani karena usahanya yang gigih. Sementara Sofiah tidak lagi mengingat Hamdani, dia berusaha "mengakhirinya dengan cara melupakannya"

Sabtu, 14 Agustus 2021 | 20:04 WIB
0
247
Percakapan dengan Pembaca Novel "Perempuan Penyapu Halaman"
Cover novel

Rembulan: Dianti itu Tionghoa kan?

Aku: Iya ibunya Tionghoa, bapaknya pengusaha berdarah tator. Semua yang kamu tulis di resensi itu mewakili pikiranku. Di novel "Hamdani & Sofiah" sebenarnya usahaku yang tak pernah selesai menangkap realitas sosial yang ada, nyata dan terjadi di depan mata, juga sedikit menjungkirbalikkan stereotipe golongan tertentu. Kalau hanya baca selintas, misalnya, terkesan sosok Koh Acong adalah "homo economicus" sejati, tetapi ia menyimpan sisi kemanusiaan, empati karena mendengar ada pemuda Malausma merawat gadis desa yang menderita gangguan jiwa, gila.

Jadi Koh Ahong berkorban bukan karena kasihan semata, tapi ada simpati di sana, meski ia tidak butuh daging celeng, toh ia membeli celeng hidup yang berhasil ditangkap Hamdani. Ini bicara simbol sebenarnya, juga bagaimana Koh Ahong yang nir-agama bisa mendakwahi para santri soal kebaikan (universal) dan aku memotret desa Malausma sebagai kampung sendiri yang semakin relijius. Semua perempuan akil balig dan bahkan anak-anak berjilbab, organisasi berbasis keagamaan berdiri sebagai "pengawal aqidah" dan semakin sewenang-wenang dalam mengadili baik-buruk amal warga, berbeda dengan tahun 1970-1980-an semasa aku bertumbuh.

Cantaka benar terdesak keharusan (nikah), ia mewakili "anak mami" alias good boy, tapi dia réaktif dan kekanak-kanakan. Dulu orangtua Sofiah, Tosari-Mirna -terutama Tosari- sangat ambisius bahkan sampai rela menjual anaknya, tapi di akhir dia justru tidak memberi izin Sofiah dinikahi Cantaka karena trauma masa lalu. Tosari malah ingin menikahkan Sofiah dengan Hamdani yang dianggapnya berjasa menyelamatkan anaknya. Masih panjang ceritanya, kawan...

Mohon izin tulisan resensimu kupasang di wall FB dan IG-ku sebagai penghormatan luar biasa menghayati "Hamdani & Sofiah" begitu dalam, melampaui aku sendiri selaku penulisnya.

Rembulan: Iya. Ga apa-apa. Aku tadinya takut kau marah/tersinggung atas kekepoanku itu.

Aku: Malah sebaliknya, sangat menyemangati.

Rembulan: Sehat selalu dan terus semangat berkarya... Aku coba tawarkan kemungkinan-kemungkinan. Bisa saja toh Didi menyukai Dianti? Bisa juga perasaan Dianti pada Hamdani bersifat sementara saja? Baru intensif kenal saat pembuatan skripsi. Sedangkan dengan Didi kan sudah dari awal perkuliahan.

Aku: Didi hanya pemeran sampiran, meski mungkin ada sedikit kejutan, tapi minor saja. Nanti konflik batin Dianti yang lebih menonjol, antara dia mau sepenuhnya melayani Tuhan (menjadi biarawati dan masuk pendidikan itu dari awal) atau berharap cinta Hamdani yang pasti bertepuk sebelah tangan, sebab cinta mati Hamdani pada Sofiah tidak bisa dibelokkan.

Dalam sekuel berikutnya lebih menonjol pencarian Hamdani kepada Sofiah yang telah kabur dari rumah dan menghilang seperti ditelan hutan rimba. Dengan naluri yang dimilikinya, Hamdani terus mencari sampai mendapatkan kepastian ketiadaannya.

Rembulan: "Happy ending" atuh. Kasian kalo tidak menyatu. Setelah apa yang dilalui mereka...

Aku: Jadi aku tuh pernah 3 tahun tugas di Makassar dan sempat mendalami budaya setempat. Ada syair lagu "Kuburu tani bungai" yang kira-kira bunyinya begini, "jika kau temukan kuburan baru tanpa taburan bunga di atasnya, mungkin di situlah tubuhku ditanam". Itulah secarik pesan Sofiah kepada Hamdani yang dia tulis di atas kertas lusuh sebelum menghilang dari desanya. Kenyataannya, Hamdani menemukan kuburan baru tanpa bunga di pusara saat pengejarannya sampai ke Makassar.

Oh ya, Sofiah nekat pergi ke Makassar setelah berhasil menghubungi seorang lelaki yang pernah menyelamatkan nyawanya saat Sofiah dilempar para lelaki hidung belang yang memakai jasanya tanpa dibayar. Sofiah menuntut haknya di dalam Jeep yang melaju dan akhirnya dilempar ke luar. Daeng Aco, pemuda Makassar ini sempat menolongnya, padahal ia sendiri baru sehari berada di Jakarta untuk mencari penghidupan. Tanpa alamat yang jelas, Sofiah menyusul Daeng Aco ke Makassar lewat Surabaya dan naik kapal dari Tanjung Perak. Alam pikirnya yang terganggu mengatakan, Daeng Aco adalah lelaki terbaik yang pernah ada, sedang terhadap Hamdani, ia sesungguhnya karena telanjur malu dan merasa bersalah yang dalam saja sehingga cenderung menghindar.

Rembulan : Oooh... based on true story tho. Lanjutkan... Aku tunggu seri berikutnya. Nuhun...

Aku: Bukaaaannn.... ini fiksi murni yang sudah ada di kepalaku sebagai penulisnya hahaha...

Rembulan: Oooh...

Aku: Bocoran aja buatmu karena kamu demikian menghayati karyaku

Rembulan: Liar juga imajinasimu ya...

Aku: Sangattt...

Rembulan: Aku membayangkan hidup di dangau itu lho... Aduh. Seperti apa rasanya. Terusir dari semua... Sedih banget.

Aku: Pokoknya orang bakal semakin jatuh hati sama Hamdani karena usahanya yang gigih. Sementara Sofiah tidak lagi mengingat Hamdani, dia berusaha "mengakhirinya dengan cara melupakannya" (elle finnirai par l'oublier) hanya perasaan malu dan bersalahnya saja yang membuatnya memilih cara menghindar jauh sampai ke Makassar. Buang diri. Dalam alam pikirannya, Makassar adalah negeri terjauh yang pernah ada. Aku harus masuk pada pikiran orang gila.

Rembulan: Hebat...

Aku: Ya, sempat kubaca Friedrich Nietzsche, meski sulit tetap coba kupahami, berusaha menangkap realitas sosial seperti ditulis Veeger.

Rembulan: Itu perjalanan batin Hamdani luar biasa ya. Padahal secara formal tidak terdidik. Benar-benar belajar dari alam. Bacaanku mah ringan-ringan aja. Aku suka sama keteguhan Hamdani.

Aku: Itu yang mau kujawab dari salah satu kritikan bahwa bahasa Hamdani dalam surat atau catatan hariannya itu terlalu tinggi, terlalu canggih. Dia sepenuhnya belajar dari alam, ngaji dan ugama belajar dari ayahnya yang selalu kalah pengaruh dari ibunya yang sangat dominan. Ia mengamati fenomena, menghayati setiap peristiwa dan terbiasa menuliskannya di kertas apa saja. Hamdani hanya lulusan SMP Islam di kampungnya, sementara Sofiah gagal melanjutkan sampai SMA karena bapaknya keburu bangkrut.

Rembulan: Iya. Betul. Ketekunan, berlatih terus menerus yang mengasah kecerdasan batinnya. Aku percaya, Pep. Karena aku juga banyak belajar dari alam dan hidup seperti di hutan juga. Tadi ada aku kirim linknya di grup ikatan alumni mahasiswa Buddhis Unpad. Ga apa-apa, ya.

Aku: Dengan senang hati...

***