Sejatining Jati [2] Jati dan Laku Prihatin

Mereka yang memahi bahwa sejatining ngelmu kelakone kanthi laku. Sejatinya ilmu itu akan berguna jika ia dijalankan dengan baik.

Selasa, 11 Mei 2021 | 16:12 WIB
0
392
Sejatining Jati [2]  Jati dan Laku Prihatin
Kartini dan Sosrokartono (Foto: dok. Pribadi)

Apa predikat yang paling lekat dengan jati, ketika ia masih menjadi tanaman? Meranggas! Semua pohon kayu, secara alamiah ketika tiba musim kemarau panjang akan menggugurkan daunnya. Tapi kenapa, hanya jati yang disebut meranggas.

Ranggas adalah kosa kata untuk menunjukkan bahwa sebuah pohon gundul dan tidak berdaun lagi. 

Beda dengan, kawasan sub-tropis dimana nyaris semua pohon berkayu, maupun tidak menggugurkan daunnya. Saya tidak tahu, apakah itu secara anatomis mau menggugurkan daunnya. Atau justru karena mulai menghilangnya sinar matahari yang diiringi dengan makin kencangnya angin pada musim itu yang menyebabkannya.

Sesuatu yang berbeda sekali dengan tanaman jati. Jati memang memiliki "rasa dan karsa" secara genetik dan spesifik, untuk menyambut atau menandai datangnya musim kemarau. 

Jati memiliki karakter ajaib, secara sengaja meranggaskan daunnya. Di sini jelas maknanya ia merontokkan daunnya. Untuk apa? Secara situasional, tentu saja tujuannya untuk menghemat air. Adanya daun, butuh serapan air yang cukup. Dengan merontokkan daunnya, berarti ia berhemat air di satu sisi.

Namun di sisi lain, ia sedang menguatkan batang tubuhnya. Ini menjelaskan kenapa, kayu jati memiliki kualitas kayu yang sangat baik. Semakin tandus, tanah tempat ia hidup. Semakin bagus kualitas kayu yang dihasilkannya. 

Realitasnya adalah daun jati yang gugur itu juga memberikan banyak guna. Bagi masyarakat di sekitarnya, ia bisa dimanfaatkan untuk banyak kepentingan. Makanan ternak, alat pembungkus, atau dijual sebagai tambahan penghasilan. Bagi tanah itu sendiri, ia akan menjadi humus yang baik saat musim hujan tiba. Ia akan menjadi tempat tumbuh bersama, tatkala daun jati bersemi kembali. Di bawahnya berbagai tanaman palawija, atau jagung bisa tumbuh secara bersama. Sebuah harmoni alam yang sangat menawan. 

Musim kemarau adalah masa berpuasa bagi pohon jati. Menjelaskan bahwa puasa adalah salah salah satu metode terbaik bagi makhluk hidup, tidak sekedar menyehatkan fisiknya tetapi terutama menguatkan mentalnya.

Sebuah argumentasi kenapa puasa, siam, vasting itu merupakan satu-satunnya benang merah jenis ibadah yang ada pada semua agama. Puasa tidak hanya mengiringi perjalanan pencapaian sebuah tujuan spiritual setiap manusia, tetapi sekaligus cara sederhana sebagai panasea (baca: obat ampuh) bagi keseimbangan fisik tubuh kita. 

Puasa pada agama Buddha disebut uposatha. Titik bedanya mereka masih diperbolehkan untuk minum, namun tidak boleh makan.

Berdasar uposatha-sila yang mengaturnya, selama berpuasa ia tidak boleh sama sekali membunuh, mencuri, melakukan kegiatan seksual, berbohong, makan pada siang hari hingga dini hari, dan tidak menonton hiburan atau memakai kosmetik, parfum, dan perhiasan. Menjauhi segala hal yang sifatnya keduniawian. 

Dalam ajaran Kristiani, khususnya Katolik, masa puasa pra-Paskah berlangsung selama 40 hari, dihitung dari hari Rabu Abu hingga Jumat Agung. Dikenal istilah berpantang dan berpuasa.

Berpuasa wajib bagi mereka yang sudah berusia 18 tahun. Saat berpuasa, mereka hanya diizinkan untuk makan kenyang sekali saja dalam sehari. Sementara berpantang wajib untuk mereka yang berusia 14 tahun ke atas yang dilakukan dengan cara menghindari diri dari melakukan hal-hal yang disukainya, misal makan daging, garam, atau merokok.

Sedang puasa dalam agama Hindu disebut dengan Upawasa, dimana ada yang wajib ada juga yang tidak. Upawasa yang wajib misalnya adalah Upawasa Siwa Ratri, umat Hindu tidak boleh makan dan minum dari matahari terbit hingga terbenam. Lalu puasa Nyepi, yang dilakukan dengan cara tidak makan dan minum sejak fajar hingga fajar keesokan harinya.

Puasa lain yang dianggap wajib adalah puasa untuk menembus dosa yang dilakukan selama tiga hari, puasa tilem, dan purnama.

Puasa atau Ta'anit dalam agama Yahudi dibagi menjadi dua, yaitu pada hari besar, Yom Kippur dan Tisha B’Av, juga pada hari kecil, misalnya puasa Esther dan puasa Gedhalia. Pada saat puasa, mereka tidak diperkenankan untuk makan dan minum, berhubungan seks, mengenakan sepatu kulit, dan khusus pada hari Yom Kippur, umat Yahudi tidak diperkenankan untuk menggosok gigi. 

Puasa dalam kepercayaan Konghucu juga merupakan cara untuk mensucikan diri dan melatih diri. Puasa Konghucu ada dua jenis: puasa rohani dan jasmani. Puasa rohani dilakukan dengan menjaga diri dari hal-hal yang dianggap asusila. Sementara puasa jasmani dilakukan pada bulan Imlek.

Puasa dilakukan dengan cara berpantang makan daging secara bertahap, ada yang hanya sehari, dua hari, dan seterusnya hingga berpantang permanen. Pada tanggal 8 bulan pertama Imlek, dilakukan puasa penuh dari pukul 05.30 hingga 22.00. Puasa diawali dengan mandi keramas dan berakhir setelah sembahyang.

Jadi kalau, ada satu agama yang sedemikian "nggaya dan arogan", untuk memaksakan diri menghormati satu bulan tertentu, hanya karena mereka sedang tidak makan minum. Mungkin mereka tidak tahu, di saat mereka tidak berpuasa. Banyak umat beragama lain sedang menjalankannya, tanpa berteriak-teriak ingin dihormati.

Menjelaskan betapa nilai tenggang rasa dan toleransi itu nilainya abadi diperlukannya dalam kehidupan yang beradab itu!

Belajar dari watak kayu jati inilah, lagi-lagi saya harus mengkaitkan dengan kultur budaya Jawa terkait puasa itu. Saya tidak tahu, apakah ada masyarakat yang mengenal sedemikian banyak jenis puasa di luar orang Jawa secara kultural. Cata kultural, bukan ritual!  

Setidaknya saya mencatat, ada 18 jenis Tirakat puasa Kejawen, yaitu mulai yang sederhana puasa mutih, ngeruh, ngebleng, pati geni, ngelowong, ngrowot, nganyep, ngidang, ngepel, ngasrep, senen kemis, wungon, dan weton. Hingga yang absurd dan rumit seperti tapa jejeg, lelana, tapa kungkum, ngalong, dan ngeluwang.

Tentu, bukan tempatnya menjelaskan satu persatu untuk artikel ini. Namun intinya, di masa lalu orang Jawa sangat terobsesi oleh laku-prihatin. 

Laku-prihatin itu sendiri sesungguhnyalah merupakan ciri dasar seorang untuk dianggap priyayi. Asal-muasal priyayi sendiri adalah prih, atau panjangnya prihatin, lelaku. Yayi atau seseorang yang disayang. Seorang priyayi menyiratkan seorang dengan watak yang halus tutur katanya, mulia budi pekertinya, dan tinggi ilmu pengetahuannya.

Ini menghapus stigma ngawur bahwa priyayi adalah sekedar "kelas berada" sebagai antitesis "wong cilik", dalam terori perjuangan kelas ala Marxisme. 

Dalam hal ini, saya termasuk, yang setuju betapa teori tipologi sosial Clifford Geetz yang membagi masyaraat Jawa sebagai abangan, satri, dan priyayi itu tidak sepenuhnya benar. Karena, sering pemahaman priyayi menjadi terlalu kuat bertumpu pada feodalisme, mereka yang menguasai tanah, kaum bermodal, dan memiliki kekayaan berlebih. Teori ini menafikan, kontek priyayi dalam arti positif dan lebih hakiki. 

Lalu adakah contoh perilaku atau figur priyayi yang terlahir dan besar karena memiliki tradisi laku-prihatin ini? Jelas ada, banyak! Misalnya....

Ndilalah, contoh terbaik dari pribadi yang meneladani karakter kejatian ini berasal dari tlatah yang sangat kuat dengan kultur tanaman jati. Lebih kebetulan lagi mereka adalah kakak-beradik, yang berasal dari Jepara sebagai kawasan sebagai pintu pelabuhan keluar tanaman ini menjangkau ke seluruh dunia. 

Keduanya adalah R.M Sosrokartono dan R.A. Kartini. 

Sosrokartono adalah laki-laki jenius yang paling pantas dicatat dalam sejarah tanah Jawa. Ketika ia bersekolah di luar negeri dan itu adalah bidang teknik yang barangkali sampai kapan-pun akan dianggap "orang tua", sebagai sekolah favorit bagi anaknya. Tiba-tiba, ia merasa bosan dan tak menemukan apa-apa. Lalu beralih pada Sastra Timur, yang memungkinkannya dirinya menguasai lebih dari 24 bahasa asing dan 10 bahasa Nusantara.

Ia adalah seorang pria Jawa terganteng yang pernah dilahirkan di tanah Jawa, sehingga para perempuan bule menjulukinya De Mooie Sos. 

Kemasyuran kakaknya itulah, yang menimbulkan kecemburuan adiknya. Kartini menjadi gelisah, kenapa jika kakaknya yang laki-laki itu bisa sekolah sampai ke Belanda. Sedang dirinya, hanya terbatas dan berkahir menjadi selir seorang Bupati. Daripadanya, ia kemudian sering berkirim surat menuangkan yang membuatnya menjadi seorang pemikir perempuan paling original pada masanya. Ia memperjuangkan emansipasi perempuan, dengan mendirikan sebuah sekolah bagi anak-anak perempuan di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. 

Keduanya akan dikenang panjang, sebagai seorang multikulturalis. Seorang kosmopolitan yang terbuka dan bergaul dalam masyarakat terbuka kelas dunia. Karena itu semestinya mereka menjadi teladan bagi orang Jawa, selama mereka masih ada dan tidak kehilangan ke-Jawa-annya. Pantas dicatat sebagaian bagian dari sejarah baik. Apalah artinya kebaikan, tapi catatan dan ingatan. 

Keduanya adalah priyayi dalam arti sesungguhnya: kaya, cerdas, peduli dan dicatat.  

Lalu apa yang tak pernah dicatat pada keduanya? Dalam keluarga besar mereka, selalu diajarkan untuk laku prihatin. Kita bisa berdebat apakah itu Kejawen atau bukan. Tapi kalau melihat karakternya, demikianlah adanya. Meneladani karakter pohon jati yang ada di sekitar lingkungan tempat mereka dilahirkan. 

Mereka yang memahi bahwa sejatining ngelmu kelakone kanthi laku. Sejatinya ilmu itu akan berguna jika ia dijalankan dengan baik. 

(Bersambung)

***

NB: Boto jati yang merangggas adalah karya saya sendiri, saat menyusun Ensiklopedia Blora (c.2010). Tumpangsari adalah metode terbaik agar masyarakat, bersedia merawat jati yang "bukan miliknya". Ora duwe ning melu handarbeni. Tidak memiliki, namun bersedia tulus ikut merawat.