Kemana Si Bapak Pergi?

Singer, salah satu brand yang sejak pertama menggunakan prinsip humanis dalam tata pemasaran "think globally, act locally". Walau produk kelas dunia, ia menghargai konsumen-konsumen lokal.

Sabtu, 26 Oktober 2019 | 07:29 WIB
0
475
Kemana Si Bapak Pergi?
Kartupos koleksi Indonesian Early Visual Documentary (IEVD) c1920 (Foto: Facebook/Andi Setiono Mangoenprasodjo)

Saya sering berpikir, cukup banyak karya advertising masa lalu, yang sialnya bertahan hingga hari ini. Di mana sangat ditonjolkan suasana riang sebuah keluarga, namun sayangnya si bapak tidak hadir di dalamnya. Kaleng Khong Guan adalah salah satu yang legendaris.

Banyak yang tidak tahu, bahwa gambar yang dipakai di kaleng biskuit itu sesungguhnya bukan gambar asli. Ia sejenis "gambar ulang" yang dilakukan oleh seorang pelukis amatir bernama Bernardus Prasodjo. Ia tukang gambar yang biasa diberi pesanan untuk membuat gambar ulang, mencontoh gambar lama yang sudah ada yang entah diperoleh dari mana saja.

Mangkanya, ketika ditanya kenapa, kok gambarnya seperti itu, "tak ada figur si bapak". Ya jawab si tukang gambar simple: contoh gambarnya ya cuma seperti itu!

Jika gambar ulang itu dibuat awal 1970-an, berarti "kaleng biskuit Khong Guan" itu nyaris berumur 50 tahun. Dan hingga hari ini tak ada kreasi desain baru di dalamnya.

Agak aneh memang mereknya Khong Guan, yang diciptakan kakak beradik perantauan dari China daratan di Singapura. Tapi modelnya sebuah keluarga Barat kelas menengah, dan konsumennya orang pribumi dengan penghasilan menengah ke bawah. Sebuah ironi, karena produk ini menggambarkan tipologi kelas masyarakat warisan masa kolonial.

Hari ini, sambil menunggui dan mencermati pelantikan Jokowi untuk kedua kalinya. Saya menemukan sebuah postcard lama dari era tahun 1920-an. Sebuah kartu pos advertising yang dikeluarkan mesin jahit Singer!

Pada masa itu, jamak setiap produsen "barang yang dianggap mewah", menyediakan kartu pos sebagai hadiah pembelian atau gimmick untuk promosi. Singer adalah produsen mesin jahit legendaris dari Amerika, hasil kreasi seorang penemu bernama Isaac Merritt Singer.

Ia sesungguhnya bukanlah seorang penjahit pakaian, ia awalnya adalah seorang pembuat mesin untuk ukiran kayu dan logam. Ia mulai menekuni mesin jahit, ketika suatu saat ada seorang yang menserviskan mesin jahitnya yang rusak. Ia lah yang kemudian menemukan teknik mesin yang lebih praktis, efisien, dan murah. Konon ia bisa memangkas waktu menjahit 900 jahitan per menit, jauh lebih baik daripada 40 jahitan yang dihasilkan mesin yang lebih kuno.

Dari daratan Timur Amerika, mesin ini dikembangkan ke Eropa, dan akhirnya menyebar ke seluruh dunia tak terkecuali ke Hindia Belanda.

Singer, saya pikir salah satu brand yang sejak pertama menggunakan prinsip modern dan humanis dalam tata pemasarannya "think globally, act locally". Walau produk kelas dunia, ia sangat menghargai konsumen-konsumen lokal. Di mana saat dipasarkan, ia selalu menggunakan model iklan orang-iklan lokal, tak terkecuali di Jawa, Sumatra, atau dimana pun ia dipasarkan....

Kebetulan, saya mengkoleksi banyak postcard yang dihasilkannya. Sebagian berdasarkan hasil drawing, namun tak jarang menggunakan karya foto yang diwarnai. Jamak pada saat itu, karena karya foto umumnya masih hitam putih, jadi bila ada yang berwarna maka itu karya yang disebut coloring. Salah satu yang paling indah, yang kebetulan menurut saya juga sangat berorientasi keluarga adalah kartu pos di atas.

Sebuah keluarga kelas menengah, tentu saja keluarga priyayi. Terlihat dari dekor rumahnya, sebuah lemari kecil yang di atas meja, yang biasanya digunakan menyimpan baju dan kain pilihan. Sayang saya lupa nama spesifiknya (ada yang bisa bantu?). Juga slintru dua pintu, pembatas antar ruang. Slintru yang murah biasanya hanya terbuat dari kayu jati, namun yang mahal biasanya berkelir kain import bermotif -gambar-gambar Tiongkok atau Jepang.

Gambar di atas menunjukkan sebuah keluarga besar dari tiga generasi, seorang kakek-nenek yang duduk di kejauhan, dengan seorang ibu dan sepasang anaknya. Laki-laki dan perempuan, yang saya pikir sedang mengagumi "kecanggihan" dari mesin jahit yang baru dibelinya. Lalu di mana bapaknya saat itu?

Penting ya? Gak penting-penting amat sih. Itu hanya olok-olok bahwa (mungkin) bapaknya nakal, sehingga gak pantas ditampilkan. Yang penting, mulai hari ini Indonesia resmi punya Bapak Negara lagi untuk lima tahun ke depan. Bapak yang juga "nakal sekali", saking nakalnya suka dihujat kanan kiri. Bapak yang setiap hari selalu diancam, dihina, direndahkan dan dianggap hanya boneka.

Bukti nakalnya, ia malah pidato tanpa teks ndilalah kok ya yahud sekali. Pidato yang saya yakin membuat bangga para pendukungnya, tapi di sisi lain akan menambah daftar panjang musuh-musuhnya yang akan kehilangan ke-eselon-annya....

Pakde, pakde senangane kok nambah mungsuh!

***