Mengapa Siswa Kita Tidak Diwajibkan Membaca Karya Sastra? [1]

Kalau mereka mewajibkan siswa untuk membaca karya sastra maka itu artinya mereka harus menyediakan karya sastra itu di sekolah-sekolah.

Senin, 29 Juli 2019 | 10:36 WIB
0
798
Mengapa Siswa Kita Tidak Diwajibkan Membaca Karya Sastra? [1]
Taufiq Ismail (Foto: Satuharapan.com)

Tanpa buku Tuhan diam, keadilan terbenam, sains alam macet, sastra bisu, dan seluruhnya dirundung kegelapan.

[Thomas V. Bartholin, 1672]

Pada tahun 1997 Mendiknas saat itu Prof Dr. Wardiman Djojonegoro memerintahkan Taufik Ismail untuk mengadakan penelitian tentang kewajiban membaca karya sastra pada sekolah-sekolah di 13 negara.

Taufik Ismail melakukan penelitian tentang ini di SMA di 13 negara. Ia melakukan serangkaian wawancara dengan tamatan SMA 13 negara dan bertanya tentang;
1) kewajiban membaca buku,
2) tersedianya buku wajib di perpustakaan sekolah,
3) bimbingan menulis dan
4) pengajaran sastra di tempat mereka.

Ternyata hasil penelitiannya sungguh mengejutkan!

Siswa SMA Indonesia TIDAK WAJIB MEMBACA BUKU SASTRA SAMA SEKALI (atau nol buku) sehingga dianggap sebagai siswa yang BERSEKOLAH TANPA KEWAJIBAN MEMBACA. 

Angka NOL BUKU untuk SMA Indonesia sudah berlaku sejak kita merdeka, dengan perkecualian luar biasa sedikit pada beberapa SMA swasta elit saja. Taufik Ismail kemudian mengajak kita berefleksi sebagai berikut :

“… Sebagai tamatan SMA Indonesia, mari kita ingat-ingat berapa buku sastra yang wajib kita baca selama 3 tahun di sekolah kita dulu (yang disediakan di perpustakaan, dibaca tamat, kita menulis mengenainya dan lalu diujikan)? NOL BUKU

Penelitian Taufik Ismail ini sudah dilakukan 20 tahun yang lalu dan kita semua merasa prihatin dengannya tapi mengapa SAMPAI SAAT INI belum juga ada perubahan? Mengapa Kemendikbud atau Disdik Propinsi/Kota/Kabupaten belum juga MEWAJIBKAN sekolah-sekolah mereka untuk menetapkan KEWAJIBAN MEMBACA KARYA SASTRA meski hanya satu atau dua buah buku saja? Apa gunanya taufik Ismail mengingatkan kita tentang tragedi yang menyesakkan dada ini…?!

Mengapa…?! 

Mengapa…?! 

Terus terang saya terus bertanya mengapa kita tidak mengambil tindakan sama sekali meski kita sudah tahu masalahnya. Menurut asumsi saya jika masalahnya sudah diketahui maka solusinya akan segera kita temukan. Tapi tampaknya tidak demikian di Indonesia… 

Saya menduga-duga bahwa hal ini kita biarkan karena kita (maksud saya para Menteri Pendidikan dan semua dirjen dan kepala lembaganya yang hebat-hebat itu) TIDAK PAHAM betapa pentingnya kemampuan membaca bagi siswa dan apa relevansinya dengan membaca karya sastra. 

Tapi itu jelas tidak mungkin lha wong mereka itu semua adalah orang-orang yang memiliki gelar pendidikan tertinggi, DR dan PhD, dan bahkan sebagian besar mendapatkan pendidikan di luar negeri. Tentunya di luar negeri mereka melihat sendiri betapa seriusnya pendidikan di sana dalam mengajarkan kemampuan membaca bagi siswanya dan tahu bahwa membaca karya sastra adalah sebuah kewajiban bagi siswa sekolah menengah.

Jadi di mana sebenarnya masalahnya…?! 

Akhirnya saya berkesimpulang bahwa mereka semua memang TIDAK MAU REPOT. 

Tahu nggak sih kalian betapa repotnya jika kita mewajibkan siswa SMA kita untuk membaca karya sastra? Tentu saja kalian tidak tahu karena kalian tidak punya gelar DR atau PhD. 

Begini lho, Le, repotnya…

Pertama, kita harus menetapkan karya atau buku apa yang kita kategorikan sebagai KARYA SASTRA. Jangan sampai buku “The Spring Time of Literacy” tulisan Satria Dharma dimasukkan sebagai karya sastra. Itu bahkan bukan sebuah novel. Kalau "Laskar Pelangi" bolehlah disebut sebagai sebuah karya sastra. Jadi harus ada kriteria buku apa yang bisa dimasukkan sebagai karya sastra.

Kedua, kita juga harus tahu tentang periodisasi sastra, yaitu pembagian waktu atau zaman-zaman perkembangan sastra berdasarkan standar tertentu. Nah, karya sastra zaman apa yang harus diwajibkan bagi siswa? Apakah sastra Indonesia lama? Angkatan Balai Pustaka? Pujangga Baru? Angkatan 66? Angkatan 2000?

Ketiga, selain karya sastra Indonesia siswa juga perlu mengenal karya sastra dunia. Ini agar siswa kita tidak katrok dan hanya berskala lokal. Bayangkan betapa repotnya jika kita harus mengikutkan atau mewajibkan siswa membaca karya sastrawan dunia yang begitu banyak selama ini. Ada begitu banyak nobelis sastra dengan karya-karya mereka lalu yang mana yang harus diwajibkan atau dianjurkan?

Tapi bukankah hal semacam itu dengan mudah kita diskusikan dan kita tanyakan pada para ahli di bidang bahasa dan sastra? Mereka akan bisa berdiskusi dan saling adu argumen tentang kriteria karya sastra. Paling-paling setelah baku hantam dan babak belur saling adu argumentasi selama seminggu maka mereka pasti akan menghasilkan kesepakatan. Mereka tentu akan bisa menghasilkan kesepakatan mana karya yang bisa disebut sebagai karya sastra dan mana yang direkomendasikan untuk menjadi KARYA SASTRA WAJIB BACA bagi siswa sekolah menengah kita.

Tapi, Le, ada masalah lain yang mungkin membuat para petinggi di Kemendikbud tidak mau masuk untuk menyelesaikan masalah ini…

Masalahnya adalah…

Kalau mereka mewajibkan siswa untuk membaca karya sastra maka itu artinya mereka HARUS MENYEDIAKAN karya sastra itu di sekolah-sekolah. Artinya buku-buku atau karya sastra yang diwajibkan itu ya harus ada di sekolah. Artinya kementrian atau dinas pendidikan atau sekolah ya harus menyediakan buku-buku tersebut di perpustakaan sekolah dalam jumlah yang memadai.

Nah, itu yang repot…! Daripada repot kan sebaiknya kita tutup mata saja toh…! 

Lagipula toh tidak ada yang protes selama ini. Lha wong gak baca karya sastra aja lho…!

Selama ini juga belum pernah ada siswa yang mati karena tidak baca karya sastra. Mending kita mengerahkan sumber daya kita untuk membuat siswa kita bisa ujian dengan berbasis komputer. Kan lebih keren (meski hanya digunakan setahun sekali)...! 

(Bersambung)

Surabaya, 25 Juli 2019

Satria Dharma

***