Manusia, Makanan, dan Potret Peradaban yang Timpang

Semestinya, sampah organik bisa diolah menjadi kompos dan menghasilkan biogas, sedangkan sampah inorganik bisa didaur ulang.

Selasa, 26 Maret 2019 | 21:00 WIB
0
466
Manusia, Makanan, dan Potret Peradaban yang Timpang
Ilustrasi manusia dan kekeringan (Foto: Facebook/Yus Husni Thamrin)

Semesta menyajikan disparitas peradaban kehidupan manusia yang sangat panjang. Di satu belahan dunia, sekelompok manusia hidup seolah hanya sekadar menanti kematian, menahan rasa lapar dan sakit. Sesekali diselingi sedikit senyuman untuk memulai bercinta agar keturunan mereka tidak terputus. Di belahan lain, sekelompok manusia sudah menjelajahi ruang angkasa, bahkan menjajaki untuk memulai kehidupan di planet lain.

DI beberapa negara Afrika, orang-orang ditakdirkan lahir dan tinggal di lahan-lahan gersang, nyaris tanpa sumber air bersih. Mereka hidup seperti pada era awal peradaban manusia. Bangunan ‘rumah’ hanya cukup untuk berteduh dan terlindungi dari serangan binatang buas pada malam hari. Bahkan, tidak sedikit yang masih tinggal di gua-gua. Mereka bertahan hidup dari apa yang masih bisa tumbuh di tanah gersang dan hewan ternak. Mereka hidup benar-benar mengandalkan gravitasi. Di sana, peradaban seperti berhenti, tidak beranjak. 

Di belahan dunia lain, di beberapa negara Asia dan Amerika Latin, sekelompok manusia hidup dalam kemiskinan yang tidak bisa lebih miskin lagi dari itu. Mereka kalah bersaing untuk mendapatkan wilayah yang subur, sumber air bersih, dan sumber-sumber ekonomi lainnya. Sekali saja terjadi kemarau panjang atau bencana alam lainnya, maka tambahan penderitaan yang harus ditanggung bisa sampai puluhan tahun. Kehidupan mereka sangat rentan. 

Pada tahun 2016 World Health Organization (WHO) merilis, saat ini tidak kurang dari 795 juta manusia di dunia mengalami kelaparan yang parah. Dari jumlah itu, rata-rata setiap hari 25.000 orang mati karena tidak mendapat makanan dan air minum. Artinya, ketika seorang pesohor di negara makmur meninggal diberitakan ribuan media dan menjadi perhatian dunia. Pada waktu yang sama, nun jauh di pedalaman Afrika yang gersang, setiap hari 25.000 orang mati kelaparan dalam sunyi. Kematian massal datang sesering matahari terbit di ufuk timur. 

Sejak berpuluh-puluh tahun lalu berbagai upaya telah dilakukan. Miliaran dollar Amerika Serikat bantuan disalurkan melalui berbagai lembaga internasional, berupa pasok bahan pangan, asistensi pertanian, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Namun entah mengapa, kondisi mereka tak kunjung membaik. Bahkan jumlah manusia yang kelaparan semakin banyak. 

Sementara di negara-negara maju di Eropa dan Amerika Utara, seperti diberitakan kantor berita Perancis AFP, setiap tahun sedikitnya 1,3 miliar ton makanan dan bahan makanan dibuang begitu saja. Jika dikumpulkan, makanan dan bahan makanan yang dibuang itu, volumenya mencapai 250 kilometer persegi. 

Catatan lain menyebutkan, di Singapura, pada tahun 2010 saja, makanan sebanyak 640.500 ton dibuang ke tempat sampah. Sementara di Australia, rata-rata jumlah makanan yang dibuang mencapai empat juta ton per tahun. 

David Common dari CBC Marketplace melaporkan, di Kanada makanan dan bahan makanan senilai US$31 miliar per tahun dibuang oleh supermarket. Di halaman belakang setiap supermarket di Kanada selalu ada deretan tempat sampah berisi makanan dan bahan makanan yang dibuang.

Salah seorang manajer Wallmart Supermarket Centre di negara bagian Alberta mengaku, ia dan para staf hanya melaksanakan kebijakan perusahaan. Ia juga tahu bahwa sebagian besar makanan dan bahan makanan yang dibuang, masih layak untuk dikonsumsi. Tapi karena tidak laku terjual, dan pasokan baru sudah masuk, maka yang terpajang di etalase meskipun belum kadaluarsa, terpaksa harus dibuang. 

Di Kanada, setiap tahun masyarakat mengeluarkan uang untuk belanja makanan dan bahan makanan rata-rata US$14 miliar. Namun sekitar 20% sampai 25% makanan yang mereka beli dan disimpan di lemari pendingin, dibuang karena mendekati masa kadaluarsa. Artinya, total nilai makanan yang dibuang di Kanada mencapai US$34 miliar per tahun. 

Ketika dimintai keterangan mengenai banyaknya bahan makanan yang dibuang oleh supermarket maupun masyarakat Kanada, Menteri Pertanian dan Pangan, Lawrence MacAulay mengatakan, tentu hal itu merupakan informasi buruk bagi pemerintah. Tapi pemerintah hanya bisa mengimbau agar hal itu tidak dilakukan. Pemerintah Kanada hanya berkewajiban menjamin ketersediaan benih, pupuk dan peralatan pertanian bagi petani, menjamin akses terhadap pasar, serta menjamin kecukupan pasok pangan yang sehat bagi masyarakat secara berkelanjutan. 

“Bahwa banyak supermarket yang membuang makanan yang layak konsumsi, itu kebijakan perusahaan masing-masing. Kami tidak bisa intervensi,” kata MacAulay. 

Jika Kanada yang jumlah penduduknya ‘hanya’ 35,36 juta jiwa pada tahun 2017 membuang makanan senilai US$34 miliar per tahun, maka nilai makanan yang dibuang di Amerika Serikat yang jumlah penduduknya 323 juta jiwa, diperkirakan sepuluh kali lipat, atau US$340 miliar, setara Rp4.490 triliun. Bandingkan dengan APBN 2018 Indonesia yang hanya Rp2.220 triliun. 

Seorang aktivis pangan di Orlando, Florida, Rob Greenfield mengatakan, setiap tahun jumlah makanan dan bahan makanan yang dibuang di Amerika Serikat mencapai 70 miliar pond atau 35 juta ton. Menurut Greenfield, di Amerika yang membuang bahan bukan hanya supermarket, tapi juga petani, restoran, dan rumah tangga. 

“Sebagian besar makanan yang dibuang adalah yang masih layak dikonsumsi. Ironisnya, di Amerika Serikat sendiri masih banyak orang yang membutuhkan makanan tapi tidak mampu beli karena tidak punya uang,” katan Greenfield.

Makanan dan bahan makanan yang masih baik dan layak makan, di negara-negara maju banyak yang di buang begitu saja. Di negara-negara berkembang, makanan-makanan yang dibuang itu pasti akan tersimpan dalam lemari pendingin di rumah orang-orang kaya atau pejabat tinggi. 

Salah satu pemicu kebiasaan masyarakat Amerika Serikat membuang makanan, antara lain karena harga bahan makanan di negara Paman Trump tersebut relatif ‘murah’ bagi warga Amerika yang rata-rata pendapatan per kapitanya US$53 ribu per tahun. Murahnya harga bahan pangan di Amerika Serikat tidak terlepas dari kebijakan pemerintah mensubsidi sektor pertanian yang tiap tahunnya mencapai US$150 miliar.

Efek Rumah Kaca

Dibuangnya makanan sebagai sampah, bukan hanya persoalan rendahnya empati antar umat manusia, tapi juga memperparah persoalan lingkungan hidup global. Harap dicatat, makanan yang dibuang dan membusuk akan menghasilkan gas Methana dan Karbon Dioksida. Gas Metahana yang dihasilkan dari fermentasi makanan yang membusuk, jumlahnya mencapai 10% dari gas methana yang ada di udara.

Jumlah tambahan CFC tersebut kurang lebih sama dengan volume emisi gas buang kendaraan bermotor. Bahkan, emisi gas methana dan karbon dioksida dari pembusukan makanan yang dibuang sudah mencapai 6,7%, lebih besar dari total emisi gas buang yang dihasilkan India yang hanya 6,4%. Peningkatan emisi gas buang tentu saja membawa dampak negatif bagi kehidupan mahluk hidup, khususnya manusia. 

Tambahan gas methana dan karbon dioksidaitu yang termasuk gas rumah kaca atau chlorofluor carbon (CFC) akan mempercepat peningkatan suhu udara (global warming). Peningkatan suhu udara, akan menstimulus tumbuhnya berbagai jenis bakteri dan virus, sehingga meningkatkan ancaman berbagai jenis penyakit terhadap kesehatan mahluk hidup.

Selain itu, dalam jangka waktu lama mempercepat perusakan lapisan Ozon. Jadi, tindakan tidak terpuji membuang makanan oleh sebagian masyarakat di negara-negara maju, akibat ekologisnya dialami oleh seluruh umat manusia. 

Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sampah belum ditangani sebagaimana mestinya. Di Indonesia misalnya, persoalan sampah sangat kompleks. Mulai dari sikap dan perlakuan masyarakat terhadap sampah yang masih jauh dari budaya maju, hingga tidak adanya sistem pengelolaan dan pengolahan sampah yang memadai. Lebih buruk lagi, perlakuan yang lumrah dilakukan oleh masyarakat adalah membakarnya dan membuangnya ke sungai.

Hanya sebagian kecil saja sampah yang dikubur atau dibuang ke tempat sampah, untuk kemudian diangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA). Padahal, pengelolaan dan pemanfaatan sampah dengan benar, adalah salah satu pintu gerbang perbaikan kesejahteraan masyarakat, karena dampak positifnya sangat banyak. 

Jakarta, setiap hari menghasilkan rata-rata 7000 ton sampah organik dan inorganik dalam keadaan tercampur. Ini menunjukkan belum adanya kesadaran masyarakat untuk memilah dan memisahkan sampah organik dan inorganik. Kalaupun di Jakarta sudah ada instalasi pengolahan sampah dengan kapasitas yang memadai, akan sulit dan tidak ekonomis untuk dikelola, jika sampah sudah tercampur. Apalagi jika sampah organik sudah membusuk di tempat-tempat pembuangan sampah, sebelum diangkut truk ke TPA.

Semestinya, sampah organik bisa diolah menjadi kompos dan menghasilkan biogas, sedangkan sampah inorganik bisa didaur ulang. Karena sampah sudah bercampur, dan tidak ada instalasi untuk mengolahnya, maka sebagian besar sampah dibuang ke TPA. Di Indonesia, TPA di kota manapun adalah gunung sampah yang kian tinggi dan besar.

Beberapa ekskavator yang dioperasikan hanya untuk menggeser-geser timbunan sampah, agar gas methana yang dihasilkan dari pembusukan sampah organik tidak terakumulasi dan meledak seperti yang terjadi di TPA Leuwi Gajah, Bandung 21 Februari 2005 hingga menimbulkan korban jiwa.

Artinya, penambahan emisi gas buang berupa gas methana dan karbon dioksida juga terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia, meskipun bukan dari makanan yang dibuang dan membusuk, tapi dari sampah organik yang tidak dikelola dengan baik.

***