Hiruk-Pikuk Nalar Redup dan Rindu Ditipu

Sabtu, 2 Maret 2019 | 19:59 WIB
3
1012
Hiruk-Pikuk Nalar Redup dan Rindu Ditipu
Para pembicara dalam diskusi (Foto: Istimewa)

Hiruk-pikuk politik Indonesia menjelang Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden 2019 kali ini tidak hanya membuat kegelisahan masyarakat pemilih secara umum, akan tetapi juga kalangan para pemikir.

“Masyarakat kita belakangan ini sangat mudah terpesona akan hal-hal yang tidak substansial, dan terjadi kedangkalan wacana...,” ungkap ahli filsafat Reza AA Wattimena, dalam sebuah diskusi hangat di D’Consulate Cafe Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Jumat (1/3/2019).

Apa yang diungkapkan Reza Wattimena ini berkaitan dengan ramainya perdebatan publik menjelang Pilpres 2019, yang membelah masyarakat Indonesia dalam sebuah jurang tegas antara kubu Capres 01, Joko Widodo dan Capres 02, Prabowo Subianto.

Seringkali, perdebatan antara dua kubu ini di media sosial berkembang menjadi perdebatan akan hal-hal yang tak penting berkepanjangan. Terjadi kedangkalan wacana, menurut istilah dosen filsafat Universitas Indonesia ini.

Reza mensinyalir, meluasnya kedangkalan wacana ini akibat terjadinya kegagalan pendidikan secara sistemik, pendidikan yang melahirkan kepatuhan-kepatuhan semu, dan melahirkan masyarakat yang “nalarnya redup dan rindu ditipu...,” kata pemikir lulusan Hochschule fur Philosophie, Muenchen, Jerman di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijksanaan Timur ini pula.

Bermunculan demagog-demagog, mereka yang sibuk menyebarkan kebohongan, membangkitkan kebencian entah berlatar belakang tokoh politik panutan mereka, ataupun kebencian antar agama di tengah masyarakat. Hanya untuk kepentingan sesaat, memenangkan Capres-capresnya. Hiruk-pikuk untuk hal-hal tidak penting.

Reza Wattimena mengungkapkan hal ini ketika tampil sebagai pembicara di forum diskusi yang diberi tajuk oleh pemrakarsanya, Faizal Assegaf, sebagai diskusi “Sodomi” Akal Sehat Rocky Gerung di D’Consulate Cafe Jalan Wahid Hasyim Jumat sore itu.

Faizal Assegaf sendiri, Ketua Progres 98, mengaku menggelar serial diskusi mengetengahkan berbagai nara sumber pemikir dan tokoh-tokoh, untuk menghadapi gejala meluas di tengah masyarakat, yang gampang mengatakan orang lain “dungu” dan bodoh, gara-gara Rocky Gerung.

“Bayangkan jika Rocky Gerung mengatakan semua pendukung Joko Widodo itu dungu dan bodoh, maka banyak ulama, politisi, menteri, purnawirawan militer di belakang Joko Widodo itu semua dungu dan bodoh...,” kata Faizal Assegaf.

Faizal bahkan menuding, Rocky Gerung yang selalu berbicara keras seolah memakai akal waras itu sebenarnya berpihak pada Capres tertentu, dan sengaja digerakkan oleh seorang pengusaha pemilik televisi – untuk menutupi si pengusaha akan penyimpangan kegiatan pertambangannya di Kalimantan dan bahkan juga Lapindo di Jawa Timur agar tidak disoroti.

Diskusi hangat serial “Faizal Assegaf Bicara” selepas sholat Jumat itu mengetengahkan pembicara utama pengajar S2 Filsafat UI Reza Wattimena dan Pemimpin Redaksi Kompas.com Wisnu Nugroho dengan moderator diskusi Pepih Nugraha dari PepNews.com.

Wisnu yang sarjana filsafat lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara dan juga S2 Ilmu Komunikasi UI itu mengetengahkan sikap menarik yang diambil dari sikap media besar Kompas menghadapi hiruk-pikuk politik seperti ini.

Bahwa Kompas menghadapi situasi seperti ini selalu bersikap “skeptis”. Tidak mudah percaya begitu saja akan apa yang diungkapkan di lapangan, akan tetapi harus melakukan verifikasi pada setiap apa yang terucapkan.

Hal itu tidak hanya dilakukan terhadap apa yang dilakukan oleh Rocky Gerung dengan aksi mendungu-dungukan orang, akan tetapi juga tudingan “sodomi akal sehat” seperti yang dilakukan Faizal Assegaf terhadap Rocky Gerung kali ini.

Ketika menjawab tudingan “jurnalisme kepiting” yang dilakukan Kompas (diartikan si penanya sebagai sikap maju mundur cari aman), Wisnu Nugroho pun mengatakan hal itu memang dengan sadar dilakukan oleh media besar ini, karena media tersebut hidup di zaman-zaman dimana para penguasa begitu dominan.

Dan Kompas bisa bertahan hingga saat ini, meski sempat dibreidel pada masa Orde Baru pada tahun 1978. Kompas hidup lagi, dengan beberapa komitmen, di antaranya “dilarang mengritik dwi fungsi ABRI, mengritik keluarga Cendana,”

Dan ternyata Kompas terus eksis hingga kini, kata Wisnu, dengan berprinsip “cover both sides” bahkan kalau perlu “cover all sides” (meliput dari dua pihak bahkan segala pihak) dan tidak terjebak pada pertentangan sepihak.

Wisnu juga menyitir kata pemimpin Kompas, Jakob Oetama dalam sebuah bukunya, bahwa “Mayat itu tidak bisa berjuang,” artinya, jika Kompas mati (dan tidak mau berkomitmen agar terbit kembali setelah 1978), maka Kompas tidak bisa meneruskan perjuangannya.

Wisnu Nugroho, yang merupakan salah satu sosok pemimpin millenial di dunia media massa itu mengatakan, sikap skeptis Kompas itu digambarkan melalui contoh sebuah tas bermerek Luis Vuitton dari seorang ibu Menteri di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono – ketika Wisnu menjadi wartawan Istana Negara, suatu ketika.

Suatu ketika, tutur Wisnu, SBY mengatakan dalam sebuah situasi krisis, “Marilah kita memakai produk-produk dalam negeri...,” Ibu Menteri itu menjatuhkan tas di kakinya, dan ditutupi selendang. Dan tas itu kemudian dibawa oleh ajudannya, tak dibawa si ibu Menteri ketika keluar ruangan.

Karena penasaran akan tas Luis Vuitton itu, Wisnu kemudian tergerak untuk mengecek (melakukan verifikasi, sebagai jurnalis), sampai seberapa mahal sih, tas ibu menteri itu sampai tidak berani ia kenakan, setelah anjuran SBY itu?

Sepulang liputan dari Istana, berbekal sikap skeptis itu Wisnu singgah di sebuah mall mewah di Grand Indonesia. Kebetulan ada gerai Luis Vuitton yang baru buka. Ia memberanikan diri berlagak membutuhkan tas Luis Vuitton dengan logo warna-warni di sekujur tas. Ia tidak begitu percaya begitu saja, dengan harga di internet, yang mengatakan harga tas tersebut sekian ribu. Karena nyatanya di situs resmi Luis Vuitton, tas itu tidak diterakan harganya.

Ternyata di gerai Luis Vuitton di Grand Indonesia, tas dengan motif seperti itu “memang tidak ada harganya,” kata Wisnu Nugroho, “Silakan ke kasir saja...,” Dan benar, ia beranikan menuju kasir dan mendapat jawaban bahwa tas tersebut berharga luar biasa mahal (ratusan juta, Red).

“Sikap skeptis dilakukan Kompas, untuk selalu melakukan verifikasi terhadap apa yang terungkap di lapangan,” kata Wisnu. Dan skeptis seperti itulah yang membuat Kompas bisa bertahan sampai saat ini, katanya. Tidak terombang-ambing dalam pertentangan memihak.

Diskusi “Kontra Rocky Gerung” yang disuarakan oleh Faizal Assegaf ini tidak hanya satu kali itu saja dilakukan. Sebelum ini, dalam kesempatan lain Faizal Assegaf juga menggelar diskusi kontra Rocky Gerung mengetengahkan pembicara-pembicara lain seperti Pemerhati Politik Mochtar Pabottinggi, sastrawan Goenawan Mohamad, alumnus STF Drijarkara Akhmad Sahal, serta dosen filsafat UI Donny Gahral Adian yang juga asisten Rocky Gerung.

“Sengaja saya pilih kata 'Sodomi', untuk mengingatkan akan peristiwa di masa lalu, bahwa (kota) Sodom dan Gomorah pernah hancur karena perbuatan yang terkutuk,” kata Faizal Assegaf. Apa yang dilakukan Rocky Gerung itu, kata Faizal Assegaf, disebutnya sebagai sebuah “sodomi terhadap akal sehat”.

Apa reaksi Rocky Gerung terhadap aksi-aksi Faizal Assegaf ini? Rocky dalam komen twitter nya menjuluki orang-orang itu (Faisal Assegaf) dan yang lain-lain itu sebagai Sosis! Sofisme Istana.

Sofisme adalah semacam mazhab pemikir di masa Yunani, untuk menggambarkan suatu kelompok cendekiawan yang hanya mahir berpidato tetapi tidak ada isinya apa-apa.... Nah.

***

Jimmy S Harianto, wartawan senior tinggal di Jakarta.