Waktu jadi wartawan baru, ada obrolan yang kerap muncul di antara kita pekerja media pers: kalau ada kecelakaan pilih mana: ikut bantu korban atau mengabadikan kejadian?
Tugas utama wartawan tentu saja merekam kejadian lewat pengamatan dan sebisa mungkin mengabadikannya dengan kamera untuk dibagikan ke publik. Kecuali kalau di TKP tidak ada orang lain, maka membantu korban jelas jadi bagian kemanusiaan yang tak bisa dikalahkan untuk alasan apapun.
Lalu tibalah era digital saat setiap orang punya media sendiri dan alat mengabadikan peristiwa sudah sedemikian murah.
Ironisnya, saat ada pemuda usia 21 tahun mau loncat dari atas gedung swalayan, para pengguna media sosial itu justru berlomba-lomba mengabadikannya. Mereka berakting layaknya wartawan dan membunuh rasa kemanusiaan yang ada dalam dirinya.
Membaca berita bunuh diri di Lampung, saya benar-benar sedih dan marah. Apalagi setelah menyimak penuturan seorang saksi mata di TKP berikut:
"Bahkan saya melihat dari atas itu juga ada laki-laki yang berpakaian hitam, saya pikir dia bernegosisasi (dengan korban) supaya tidak bunuh diri tetapi malah ikutan mengambil gambar," kata Heni kepada Kompas.com, Jumat (22/2/2019).
Akhirnya, pemuda itu tewas bunuh diri. Dan orang-orang di sekelilingnya terlihat bergembira ria karena berhasil mengabadikannya lalu menyebarkan foto dan videonya di media sosial.
Fenomena di atas tak ubahnya aksi selfie beberapa warga di lokasi musibah tsunami Tanjung Lesung, Banten. Mereka senang bisa narsis di atas penderitaan dan musibah yang mematikan orang lain.
Mudah-mudahan kita bisa mengambil pelajaran dari mereka yang sibuk memegang ponsel, merekam aksi orang lain yang sedang menjemput nyawa.
Kita manusia. Tetaplah jadi manusia sekalipun godaan untuk eksis dan narsis sedemikian menggoda.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews