Pulang Kampung

Sabtu, 17 November 2018 | 22:53 WIB
0
408
Pulang Kampung
Pulang kampung (Foto: Disway.id)

Saya pulang kampung Kamis lalu. Mampir. Ke dukuh Kebondalem. Desa Tegalarum. 16 km dari Magetan.

Tidak ada rumah kami lagi di situ. Rumah ayah sudah dibongkar pembelinya: untuk dibangun rumah sungguhan.

Tapi masih banyak keluarga: sepupu-sepupu. Atau anak-anak cucu mereka.

Saya tidak ke rumah salah satunya. Agar tidak menimbulkan kecemburuan. Saya langsung ke masjid. Begitulah kebiasaan saya. Setiap pulang kampung. Kebetulan pas adzan dhuhur.

Semua keluarga kumpul di masjid. Lalu duduk-duduk mengerumun di terasnya. Ngobrol apa saja.

Di teras masjid itulah dulu saya tidur. Kalau malam. Bertahun-tahun. Bersama beberapa remaja lainnya. Di lantai. Tanpa tikar. Tanpa alas. Berselimut sarung. Berbantal pemukul bedug.

Satu persatu keluarga saya bergabung di teras ini. Tapi kedatangan Yu Marmi menarik perhatian saya. ”Le, aku wis waras,” kata sepupu saya yang berumur 72 tahun itu. Yang selalu memanggil saya ‘Le’. Yang mengaku sudah sembuh dari sakitnya itu: gondong, gula darah dan tekanan darah tinggi.

Saat saya menjabat menteri pun Yu Mi memanggil saya ‘Le’. Singkatan dari ‘tole’ –panggilan bagi anak lelaki di desa.

Maka topik obrolan kami pun tentang sembuhnya Yu Mi. ‘Yu’ adalah singkatan ‘mbakyu’. Artinya: kak, atau kakak. Dia memang anak dari kakak ibu saya. ‘Mi’ adalah singkatan dari namanya: Sumarmi.

Begitu senang Yu Mi. merasa sembuh dari sakitnya. Bisa berjalan cepat. Tidak thimik-thimik lagi.

Yu Mi bercerita dengan antusiasnya. Tentang: terapi Choyang. Ala Korea. Yang dilakukannya tiap hari. Di kota Madiun. Di antar oleh putrinya. Sejak 3 bulan lalu.

Saya heran. Kok sekarang ini enak saja ke Madiun setiap hari. Karena sudah ada sepeda motor. Dulu, kalau saya mau ke Madiun sudah dirancang dulu setahun sebelumnya. Itu sebuah mimpi besar. Seminggu sebelumnya pun sudah heboh: Akan ke Madiun. Ke kota. Yang kalau malam ada lampunya.

Dua hari sebelumnya sudah kumpul-kumpul bahan makanan. Yang bisa dimasak: ubi, pisang, uwi. Untuk direbus. Sebagai bekal ke kota.

Di hari yang diimpikan itu, jam habis asar berangkat. Rame-rame. Beberapa orang. Jalan kaki ke Madiun. Tanpa sepatu. Tanpa sandal. Berjam-jam. Menyusuri jalan-jalan tanah yang berlumpur. Kadang terjatuh ke lumpur itu.

Kini sepupu-sepupu saya tiap hari bisa ke Madiun. Dengan motornya. Di atas aspal. Hanya 15 menit ternyata.

Sepupu lain pun ramai nimbrung. Dengan topik yang sama. Terapi Choyang. Memujinya. Membenarkannya. Sahut menyahut.

Mereka semua sangat menguasai topik ini. Semua berusaha menarik perhatian saya. Ternyata ada 28 orang. Dari kampung saya saja. Yang tertarik ikut terapi Choyang. Dengan penyakit yang berbeda-beda.

Mungkin karena saya terlihat berminat pada topik itu. Lalu ada yang lari pulang: ambil brosur. Menyerahkannya ke saya. Judulnya ‘terapi gratis Choyang’.

Ada lagi yang juga lari pulang: mengambil sebagian peralatan terapi. Agar saya mencobanya. Tapi istri saya tidak rela: dia yang ingin lebih dulu mencobanya.

Mereka pun bercerita: tiap hari ribuan orang ikut terapi Choyang. Di jalan raya Agus Salim Madiun.

”Ya sudah…. saya akan ke sana… melihat apa yang dilakukan di sana,” kata saya.

Pembicaraan topik itu diakhiri dengan kedatangan durian. Satu karung. Yang dibawa teman-teman ‘Radar Madiun’. Rupanya hanya durian yang bisa menyetop topik hit hari itu.

Sambil makan durian mereka berkisah tentang topik lain: sekolah di desa kami. Dulu ada dua SD negeri di Tegalarum. Yang satu sudah tutup. Kekurangan murid. Satunya lagi mungkin juga segera tutup. Kelas satunya tinggal 6 orang. Kelas di atasnya ada yang tinggal 5 orang. Kelas yang terbanyak tinggal 7 siswa.

Saya hampir tidak percaya. Bisa saja pembicaraan mereka berlebihan. Masak begitu drastisnya. Maka saya minta nomor HP kepala sekolah. Saya hubungi ia.

Ternyata benar begitu.

Mengapa?

”Guru kami tua-tua semua,” ujar Pak KS. ”Fasilitas di sekolah kami juga sangat minim,” tambahnya.

Sudah lama Pak KS minta apa yang seharusnya ada. Tapi tidak pernah diberi. Alasannya: muridnya hanya sedikit.

Intinya: sejak sekolah tidak boleh memungut walimurid apa pun terjadilah itu.

Tapi….

Sebenarnya ada penyebab lain: ada madrasah ibtidaiyah baru di desa kami. Yang full day school. Yang enam hari seminggu. Yang gurunya muda-muda. Yang mutunya lebih unggul. Plus pendidikan agama.

Pendirinya adalah anak muda: Tjipto. Dulu saya minder bergaul dengannya. Ia anak orang terkaya di desa kami. Yang belakangan paling rajin ke masjid.

Bahkan menyekolahkan anaknya itu ke Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Kami semua kaget.
Kami yang miskin itu, yang dulunya hanya bangga karena lebih rajin ke masjid, kian minder dengan keluarga pak Hardjo itu.

Setamat dari Gontor, sang anak mendirikan madrasah ibtidaiyah itu. Lalu tsanawiyah (SMP). Dan kini merintis Aliyah (SMA).

Tidak lama kemudian sang pendiri meninggal dunia. meninggal muda. Kini madrasah dipimpin adiknya.

Saya sempatkan mampir ke madrasah itu. Saya ingat: waktu kecil dulu sering jadi buruh di perusahaan bapaknya. Kerja melipat kertas. Saat liburan sekolah.

Saya juga ingat janji saya: mampir ke pusat terapi Choyang. Di kota Madiun. Dalam perjalanan pulang ke Surabaya.

Benar sekali. Di pinggir jalan utama kota Madiun itu mobil berjajar. Saya pun memasuki bangunan yang dulunya toko.

Udara dalam ruangan ini panas. Pengab. Tidak ada AC. Tidak ada jendela. Hanya ada kipas angin.

Manusia berjubel. Ratusan. Ada yang lagi terapi: satu sesi 38 orang sekaligus. Lainnya sedang duduk di bangku-bangku panjang: menunggu giliran.

Terapi itu berlangsung setengah jam. Pasien tidur telentang di atas alat: mirip tempat tidur lipat. 

Alas tempat tidur itu dihangatkan dengan listrik. Di dalam alasnya ditanam batu-batu: delapan jenis batu. Yang bereaksi akibat panas listrik. Ada pula benda yang bergerak: seperti memijat. Ke seluruh punggung.

Saat saya tiba, grup yang lagi terapi sudah hampir 30 menit. Hampir tiba giliran grup berikutnya: 38 orang lagi. Yang lagi menunggu itu. Yang sedang dibariskan. Mengikuti gerak senam yang dicontohkan dari atas panggung. Senam gembira. Sambil nyanyi-nyanyi. Sambil teriak-teriak.
Selesai senam itulah mereka menuju ‘tempat tidur’ terapi. Merebahkan diri. Diam. Diterapi secara otomatis.

”Satu hari bisa sampai 25 sesi,” ujar Ayu Purwaningrum, petugas di situ.

Sudah dua tahun terapi Choyang berlangSung di situ. Tidak dipungut bayaran sama sekali. Juga tidak menerima sumbangan. Tapi kalau ada yang mau terapi di rumah boleh membeli alatnya: Rp 36 juta.

Saya tidak tahu: apakah ini lembaga sosial. Atau bisnis. Saya tidak berhasil menemui Mr Kim. Yang lagi di Jakarta.

Saya juga tidak bisa menguji: apakah terapi ini manjur. Atau hanya karena sugesti.

Tapi orang-orang kampung saya gembira. Gratisnya itu.

***

Dahlan Iskan