Timor Leste, Kejarlah Ilmu (Menulis) Sampai Ke Negeri "Saudara Tua"

Sabtu, 17 November 2018 | 22:28 WIB
0
537
Timor Leste, Kejarlah Ilmu (Menulis) Sampai Ke Negeri  "Saudara Tua"
Saya sedang mengajari pejabat Timor Leste menulis (Foto: Istimewa)

Bacalah nama-nama ini; Agostinho Castro, Joao Maria do Rosario Lima, Aleon Paulo da Silva, Graciela Fatima Soares Ataide, Geovanio Mileno Ribeiro Hei Henriques, dan Daria Modesta Lobo Caleres.

Anda mengira itulah nama-nama Brasilia atau Portugal yang berbahasa portugis. Tidak terlalu salah. Tetapi keenam nama itu nama-nama orang Timor Leste. Empat pria, dua perempuan.

Mereka adalah peserta pelatihan dari Kementrian Keuangan Timor Leste. Dalam bahasa Porto disebut Ministerio das Financas dan dalam bahasa Inggris negera berpenduduk 1,3 juta jiwa ini bernama Democratic Republic of Timor Leste.

Penyelenggara kegiatan PT Target Digital Solusindo bekerja sama dengan Lines Integrated Communication. Saya sendiri hadir sebagai pemberi materi independen mengenai "Release News Writing for Public Relations" dan "Creating Content for Digital Media".

Sekadar mengingatkan, Timor Leste sebelum tahun 1999 masih menjadi provinsi ke-27 Indonesia alias masih menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Plebisit atau penentuan pendepat membuat negara itu mengatakan "Sayonara" kepada Indonesia.

Dan, keenam warga Timor ini merupakan pejabat teras di negaranya. Secara kognitif, jujur harus saya katakan, pengetahuan mereka masih perlu diperbaharui dan dipercanggih, khususnya mengenai menfaat media sosial dan kemampuan menulis yang harus dimiliki oleh mereka terkait dengan terbukanya media digtal (Internet) sebagai strategi komunikasi negara mereka.

Untuk itulah mereka jauh-jauh datang ke negeri saudara tua mereka, Indonesia dan salah satunya beraudiensi dengan saya.

Bagaimana saya "menyihir" mereka di awal saya berdiri di muka kelas menghadapi wajah-wajah beku yang nyaris tanpa senyum? Saya buka rahasianya: NARASI.

Saya memulai dengan narasi. Mendongeng. Bercerita. Cara sederhana ini memungkinkan saya mencuri perhatian mereka dengan memusatkan pikiran mereka kepada cerita saya. Saya yakin, semua manusia dewasa dan bahkan anak-anak memenuhi gedung-gedung bioskop atau pertunjukan drama dengan tujuan untuk mendengar/menonton cerita, bukan?

Maka "menyihir" dengan narasi "proximity" ini betul-betul membuat mereka berkonsentrasi di awal workshop. "Proximity" atau kedekatan di sini adalah Timor Leste itu sendiri, negara mereka.

Dan, saya bercerita mengenai pengalaman saya berada di Timor Timur selama dua minggu di tahun 1996. "Saya telusuri jalanan dari VIQUEQUE sampai ERMERA, dan saya terkesan karena kopi Ermera, bukit yang paling subur di Timor Timur."

"Bulan apa Bapak ke sana?" tanya seorang peserta yang paling senior. Terpancing dia. Juni, jawab saya. Kemudian dia melanjutkan, "benar, sebab setelah itu bulan-bulan berikutnya Ermera menjadi kecoklatan."

Setelah mencuri perhatian dan "menyihir" mereka dengan narasi yang saya buat sendiri, saya baru masuk ke dua materi yang saya sampaikan kurang lebih 3 jam. Rahasia lainnya, materi yang biasanya saya sampaikan dalam bentuk gambar (foto) itu dengan mengambil contoh mutakhir yang ada kaitannya dengan Timor Leste. Ini rahasia "Proximity".

Contoh untuk membuat rilis berita, misalnya, saya tidak megambil contoh kegiatan Presiden Jokowi, tetapi mencontohkan kegiatan Presiden Timor Leste Francisco "Lu Olo" Guterres.

Mencontohkan presiden yang kurang mereka kenal akan sia-sia dan membuat mereka terkantuk-kantuk, tetapi mencontohkan Presiden Guterres sampai upayanya membubarkan parlemen di awal tahun 2018, itulah yang membuat mereka merasa dekat dengan kehidupan keseharian mereka.

Jadi, strategi komunikasi itu ada pada pematerinya sendiri dan apa yang saya ajarkan selama tiga jam itu tidak lain bagaimana menyusun strategi komunikasi pemerintah Timor Leste kepada publik dan kepada dunia luar.

Kadang saya harus larut dalam jargon yang mereka kenal. Contoh, mereka tidak mengenal istilah "Semangat 45" ketika saya bertanya di dua jam pertama pemaparan apakah mereka masih semangat. Salah seorang peserta menjawab, "Ya, kami masih punya 'Semagat 75', bukan 'Semangat 45'."

Oke deh, Kaka... Saya langsung paham, bahwa "Semangat 75" maksudnya saat Indonesia menganeksasi Timor Timur menjadi provinsi ke-27 dan dari kacamata Soeharto, aneksasi dimaknakan sebagai "integrasi". Mereka punya "Semangat 75" karena saat itu narasi seperti itulah yang dikembangan, semangat berintegrasi, di saat provinsi jauh ini seperti anak ayam kehilangan induknya akibat turbulensi politik di Portugal.

Mengenai bagaimana saya mengajarkan dua materi tentang strategi komunikasi di media digital, itu sepenuhnya rahasia perusahaan pribadi saya hahaha....