Kekuasaan dan Spiritualitas

Jika penguasa tak punya spiritualitas, sehingga korup dan memecah belah, sebaiknya ia turun. Sebelum rakyat menurunkannya dengan paksa.

Kamis, 2 Juli 2020 | 07:04 WIB
0
291
Kekuasaan dan Spiritualitas
Ilustrasi kekuasaan (Foto: spn.or.id)

Ah, betapa menggodanya kekuasaan itu. Dengan kekuasaan, kita dihormati di manapun.

Datang dan pergi dengan kendaraan mewah, beserta ajudan yang siap melayani. Undangan makan dan jumpa dengan orang-orang penting banjir berdatangan.

Gaji besar, walaupun kerap tak dibarengi kinerja yang sepadan. Peluang korupsi besar, selama mengajak orang-orang berkuasa lainnya ikutan.

Namun, juga dengan kekuasaan, orang bisa mengubah keadaan. Kebaikan besar bisa terwujud, jika kekuasaan digunakan untuk kepentingan semua, tanpa kecuali.

Kekuasaan

Tak heran, para pemikir besar dunia berbicara tentang kekuasaan dengan hati mendua. Ada yang mencerca, namun tak sedikit yang berharap.

Rutger Bregman, pemikir asal Belanda, mengungkap rayuan korup dari kekuasaan. Orang-orang berhati tulus menjadi keji dan rakus, ketika memegang kekuasaan.

Lord Acton juga terkenal dengan ungkapannya. Kekuasaan cenderung membuat manusia korup (power tends to corrupt), dan kekuasaan absolut membuat manusia menjadi korup secara absolut (absolute power corrupts absolutely).

Friedrich Nietzsche, pemikir Jerman, juga melihat daya dorong kekuasaan di dalam batin manusia. Bahkan, ia menyebut dorongan manusia itu sebagai kehendak untuk berkuasa (Der Wille zur Macht).

Tak ada yang kiranya mampu merasakan dilema kekuasaan, selain Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat yang membawa AS keluar dari era gelap perbudakan. Ia pernah berkata, jika kamu ingin melihat karakter asli seseorang, berilah ia kekuasaan.

Kekuasaan yang sesungguhnya terletak pada pengetahuan (knowledge is power). Itulah kiranya yang ditekankan oleh Francis Bacon, salah seorang pemikir Pencerahan Eropa. Dengan kutipan itu, Eropa memasuki era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dasyat.

Oscar Wilde, penyair Irlandia, punya pendapat menarik soal kekuasan. Segala di dunia, katanya, adalah soal seks, kecuali seks itu sendiri. Seks adalah soal kekuasaan.

Rangkaian refleksi para pemikir dunia tentang kekuasaan kiranya tak lengkap, jika tak ditutup dengan pemahaman Mahatma Gandhi tentang kekuasaan. Hari ketika kekuatan cinta (the power of love) lebih besar dari pada kecintaan manusia pada kekuasaan (love of power), demikian kata Gandhi, maka dunia akan mengenal kedamaian.

Sarung Kekuasaan

Pada dirinya sendiri, kekuasaan itu netral. Ia tidak baik, ataupun tidak buruk.

Kekuasaan itu bagaikan pedang. Ia tajam, namun perlu memiliki sarung yang pas. Jika tidak, ia akan melukai orang-orang yang tak bersalah, termasuk pemiliknya.

Apa sarung yang tepat untuk kekuasaan? Hanya ada satu sarung yang memadai: spiritualitas.

Spiritualitas adalah jalan hidup untuk orang menyadari dirinya yang sebenarnya. Hal ini dapat dilakukan, jika orang mampu berjarak dari identitas sosial yang diterimanya dari masyarakat.

Sebelum semua identitas, termasuk sebelum bahasa, siapa kita yang sebenarnya? Kita adalah mahluk semesta yang mengambil identitas sosial untuk sementara hidup di dunia ini.

Menyadari ini adalah spiritualitas yang sejati. Ia melampaui batas-batas keagamaan. Di dalam filsafat dan teori politik, kesadaran semacam disebut juga sebagai kesadaran kosmopolit.

Spiritualitas dan Sarung

Terkait dengan kekuasaan sebagai pedang, dan spiritualitas sebagai sarungnya, ada dua hal yang penting. Pertama, identitas pemegang kekuasaan haruslah seluas semesta.

Ia tidak boleh melekat, apalagi fanatik, dengan satu identitas sosial tertentu, seperti agama, ras, suku dan bangsa. Identitas manusia yang sejati adalah mahluk semesta. Sebelum memegang kekuasaan, orang harus sungguh sadar dan menghidupi hal ini sedalam mungkin.

Dua, dari identitas seluas semesta ini, lahirlah moralitas yang sejati. Orang berbuat baik pada orang lain, karena mereka adalah sesama mahluk semesta.

Batas-batas diri adalah batas-batas semesta. Moral yang lahir dari kesadaran ini adalah moralitas alami yang sejalan dengan hukum alam semesta, sekaligus amat ideal untuk menjalankan kekuasaan.

Jika ini terjadi, kekuasaan lalu dibaktikan untuk merawat kehidupan, baik manusia maupun semua mahluk. Inilah kekuasaan yang sejati.

Indonesia

Kita melihat banyak pedang tanpa sarung di Indonesia. Banyak penguasa politik, ekonomi dan agama memegang kekuasaan dengan identitas sempit.

Akibatnya, moralitas menjadi sempit dan semu. Diskriminasi, korupsi dan kesalahan kebijakan kerap terjadi.

Rakyat hidup dalam kemiskinan dan kebodohan, karena tidak adanya teladan dari para pemimpinnya. Ini semua ditambah dengan gelombang pengaruh asing, baik dari Arab maupun Barat, yang menghancurkan kebudayaan yang ada.

Kemunafikan lalu menjadi budaya sehari-hari. Agama dan moral dijadikan topeng untuk menutupi ketidakadilan, diskriminasi dan korupsi.

Semua ini tentu tak bisa dibiarkan berlanjut. Jika tak ada sarung, sebaiknya pedang dibuang jauh-jauh, karena ia akan melukai semua orang.

Jika penguasa tak punya spiritualitas, sehingga korup dan memecah belah, sebaiknya ia turun. Sebelum rakyat menurunkannya dengan paksa.

***