Karangan bunga yang dikirimkan ke balai kota jakarta itu, walau sebagai bentuk kemarahan dan kekecewaan mereka. Justru adalah simbol ambiguitas hidup dan rendahnya integritas mereka.
Mungkin ini untuk kali pertama, saya "membela" Anies Baswedan. Bukan karena saya setuju dengan berbagai keputusannya di bidang pendidikan. Terutama tentang kasus-kasus penerimaan siswa baru yang rupanya tak kunjung mereda itu. Persoalannya, tentu bukan atas dasar salah benar kebijakan tersebut. AB dan jajaran pendidikan di bawahnya hanya menjalankan ketentuan baru yang sesungguhnya juga berlaku secara nasional.
Saya lebih ingin menyoroti perilaku orangtua, yang sedemikian berlebihan terhadap nasib anaknya. Yang konon merasa sedemikian "dizalimi", sehingga reaksinya sedemikian sarkastiknya. Di mata saya mereka tak lebih menggunakan kacamata kuda: pokoknya yang penting nasib anak saya! Yang lain minggir dulu. Sedemikian brengseknyakah cara berpikir mereka, sehingga "hanya" karena gagal di tingkat SMP Negeri lalu menganggap mimpi-mimpi anaknya hancur? Dramatisasi yang sungguh tidak perlu.
Sikap saya jelas sekali: lepas dari kebijakannya yang silang sengkarut, bahwa bila usia dijadikan patokan umur itu sesuatu yang baru, berani, dan selayaknya diapresiasi. Walaupun tentu perlu koreksi dan kejelasan yang lebih tajam di masa mendatang!
Untuk pertama kalinya, pemerintah punya kesadaran bahwa salah satu cara mengembalikan sekolah negeri untuk "rakyat" itu sudah di jalur yang benar. Rakyat di sini bisa punya banyak makna: mereka yang secara SSE (status sosial ekonomi) memang kurang, juga mereka yang mungkin tidak terlalu menganggap penting pendidikan.
Mereka yang selalu terlambat mikir, selalu kalah dalam bersaing. Apalagi bila harus berdebat, apalagi lagi kalau harus menggalang solidaritas. Mereka yang tak berkemampuan apa-apa, ketika si anak mogok sekolah, karena seribu satu sebab. Mereka yang anaknya "bodoh" dalam satu dua mata pelajaran, sehingga harus tinggal kelas dan tidak dianggap memiliki "potensi". Mereka yang umurnya terlalu banyak, sehingga harus malu dan tersingkir dari bangku sekolah.
Mereka orangtua yang bahkan, akan mikir dua kali hanya sekedar mengantar anak masuk ke sekolah negeri yang mereka rasa "terlalu elitis". Padahal sejatinya justru untuk merekalah terutama sekolah negeri itu harusnya ada. Bandingkan dengan orangtua yang sedemikian bisa bersuara keras, ngomel di media sosial, bikin konferensi pers, bahkan berencana menggugat ke PTUN.
Bisa apa mereka itu?
Golongan kelas menengah atas "tanggung" inilah yang selalu bersuara sedemikian keras, ketika kepentingannya terganggu. Lalu sedemikian mudahnya mengkambinghitamkan siapa pun yang dianggapnya merugikan kepentingannya. Padahal secara rerata, persoalan terbesarnya terkadang karena si orangtua juga terlalu memaksakan kehendaknya memasukkan anak, ketika usia pada tingkat dasar sebenarnya belum masuk. Saat ini di tingkat SD sudah sangat jelas: kalau belum umur 7 tahun tak mungkin diterima. Bisa dihitung berapa minimal selanjutnya di tingkat SMP lalu SMA...
Lagi pula apa sih hebatnya sekolah negeri itu, selain bayarannya murah? Atau nyaris gratis itu...
Bila ukurannya adalah kebanggaan sesaat, atau minimal kelegaan pada saat itu. OK. Tapi kalau ukurannya jangka panjang. Atau malah ukuran yang lebih kekinian, harusnya orang tua bisa lebih berbesar hati lagi. Dan terutama, dengan cepat beralih membesarkan hati anaknya. Bukan malah mencari celah2 peraturan di sana-sini!
Pengalaman saya pribadi, yang sejak SMP, SMA hingga PTN (yang bahkan di dua tempat berbeda). Saya tidak merasa terlalu bangga, kecuali pada kenangannya. Satu-satunya yang saya ingat kenapa saya selalu bersekolah di negeri adalah karena di situ satu-satunya orangtua saya bisa membiayainya. Tak lebih! Bukan karena ngirit, sebagaimana banyak orangtua hari ini berargumetasi secara jujur. Tapi memang tak ada uang yang lainnya yang bisa disisihkan.
Realitas hari ini, banyak sekali orangtua "curang", kaya raya. Tapi justru memaksakan anaknya sekolah di sekolah negeri, hanya atas dasar berhemat. Yang itu maknanya, mencuri kesempatan mereka yang jauh lebih membutuhkan.
Apalagi zaman sudah berubah! Kualitas sekolah swasta lokal dan bahkan internasional, bahkan sudah berkali lipat lebih maju dibanding sekolah negeri. Pilihan lainnya ada homescolling, atau sekolah model pesantren, atau sekolah alam yang sebenarnya juga tak terlalu mahal bila dihitung secara lebih cermat dan bijak. Dan bahkan sekolah untuk kaum dhuafa, yang banyak disediakan bagi mereka yang benar-benar tidak mampu. Yang sependek saya tahu, nyaris banyak orang idealis yang bersedia bekerja keras menyelenggarakannya nyaris di seluruh penjuru Nusantara.
Dan sebagian orangtua itu tetap ngotot ingin menyekolahkan anaknya di sekolah negeri. Seolah bila tidak, masa depan anaknya gelap. Psikologis si anak ambruk, lalu tak bersemangat lagi sekolah. Padahal sesungguhnya juga tak ada jaminan sama sekali, ketika mereka sudah bersekolah negeri. Silahkan dicek sekali: betapa pencilannya jumlah (baca: minoritasnya) anggota DPR atau Bupati atau Gubernur yang berasal dari PTN Negeri ternama. Apalagi bila ukurannya adalah mereka yang jadi CEO di perusahaan global ternama. Tak ada jejak "negeri" yang cukup banyak....
Duh! Orangtua seperti inilah yang sungguh berbahaya! Mereka justru memberi contoh buruk, terutama pada anak-anak mereka sendiri: sukar menerima kekalahan. Lalu mencari celah-celah kelemahan peraturan yang membenarkan alasan kekalahannya. Padahal kekalahan itu bisa datang kapan saja, tidak harus dengan dasar adil atau tidak! Ada ketentuan baru atau tidak. Dan pada orangtua seperti ini, mereka tak akan pernah siap dan mudah berbesar jiwa....
Bagi saya: karangan bunga yang dikirimkan ke balai kota jakarta itu, walau sebagai bentuk kemarahan dan kekecewaan mereka. Justru adalah simbol ambiguitas hidup dan rendahnya integritas mereka. Kalau punya uang buat beli karangan bunga semahal itu, kenapa masih mengeluh pada biaya sekolah yang mahal?
Sekali lagi: tak ada jaminan apa pun, ketika kita sudah berhasil menyekolahkan anak di sekolah negeri. Tak ada.....
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews