Balonku ke Puncak Gunung

Ada pula yang curiga dengan bentuk palang. Karena dianggap sebagai simbol agama lain. Bentuk palang kayu pada jendela, \lemari atau besi pada pagar, dimaknai sebagai misi terselubung.

Senin, 15 Juni 2020 | 13:29 WIB
0
296
Balonku ke Puncak Gunung
Balon (Foto: mines.id)

Malam Minggu ditemani lagu "Balonku" dan "Naik-naik ke Puncak Gunung". Diputar berulang-ulang, alhamdulillah akidah saya tidak goyah. Lagu ini juga sering dinyanyikan anak-anak saya di masa kecil mereka. Aman-aman saja. Mengapa kini ada yang mengaitkannya dengan persoalan agama ya?

Saya yakin, "asbabun nuzul" kedua lagu itu bukan untuk membenci Islam dan mengangkat agama lain. Lagu pertama diciptakan Pa Kasur (nama aslinya Soerjono) kemudian digubah Abdulah Totong Mahmud (AT Mahmud). Lagu kedua diciptakan Ibu Sud. Mereka mengabdikan diri pada pendidikan antara lain melalui lagu-lagu anak. Sebuah pengkhidmatan yang hingga kini belum ada padanannya. Saya yakin pula ketiganya tak punya agenda untuk menohok agamanya sendiri. Untuk apa pula?

Penafsiran atas segala sesuatu itu ada ilmunya dan harus berbasis pada referensi yang jelas, sehingga bisa dipertanggungjawabkan. Kalau tidak, ya bisa menyesatkan. Contohnya, saya bisa menambahkan kesesatan dengan menafsirkan kalimat "kiri kanan kulihat saja..." pada lagu "Naik-naik ke Puncak Gunung". Tafsirkan saja bahwa "kiri" dalam lagu itu berarti ideologi komunis. Wah bahaya sekali lagu itu haha...

Saya juga bisa menafsirkan seenaknya, bahwa lagu "Pelangi" ciptaan AT Mahmud tidak layak dinyanyikan. Sebab bukankah warna pelangi kini dipakai simbol oleh kaum LGBT? Jangan-jangan lagu ini dijadikan "Mars LGBT".

Dan sekian banyak lagi penafsiran (lebih tepatnya tuduhan) atas lagu-lagu bisa dilontarkan dengan sembarangan. Kumaha aing we. Begitu kira-kira.

Penafsiran yang dilandasi kecurigaan tak berdasar, tidak hanya terarah pada diksi. Tapi juga terjadi pada bentuk benda. Masih ingat bukan bagaimana bentuk segi tiga yang universal itu dipersempit hanya sebagai simbol illuminati atau Dajjal? Sehingga bangunan yang memasang segi tiga sebagai elemennya dianggap sebagai representasi penganut Dajjal.

Bahkan masjid sekalipun. Waduh, bagaimana dengan pelajaran matematika di sekolah ya? Kan dibahas dan digambar tuh segi tiga sama sisi juga segi tiga sama kaki.

Ada pula yang terus-terusan curiga dengan bentuk palang. Karena dianggap sebagai simbol agama lain. Bentuk palang kayu pada jendela, lobang angin, lemari atau besi pada pagar, dimaknai sebagai misi terselubung. Wah kalau begitu, jangan sekali-kali gunakan huruf "t" dong.

Ah sudahlah...saya mau nyetel lagi lagu "Balonku", "Naik-naik ke Puncak Gunung" ditambah "Pelangi". Sambil mengintip bulan dari "segi tiga" lobang angin.....asyik.

***