Ketika Matematika Berbicara Tentang Lebaran

Sebagaimana kita ketahui, Lebaran adalah momen dimana orang kembali ke fitrah (sifat asal). Kalau versi iklan bahan bakar yang ada di televisi, bisa dipersamakan dengan “dimulai dari nol lagi ya”.

Minggu, 24 Mei 2020 | 15:40 WIB
0
848
Ketika Matematika Berbicara Tentang Lebaran
Ilustrasi matematika (Foto: IDN Times)

Matematika, siapa yang tidak kenal matematika? Ya, pelajaran ini sudah diterima banyak khalayak umum semenjak Tingkat Kanak-Kanak (TK), mau itu anak laki-laki ataupun perempuan. Ini pun diajarkan tidak hanya di sekolah (tempat biasa anak-anak belajar), namun juga di rumah dengan bimbingan orang tua. Bahkan yang tidak sekolah sekalipun, kalau dia mengenal uang, dijamin pasti tidak mungkin dia tidak bisa matematika, minimal persamaan sederhana seperti (+) + (+) = (+), (-) + (-) = (-), dan (+) + (-) = (+) V (-).

Di sini, penulis tidak akan membahas rumus matematika yang rumitnya bisa membuat orang menjadi pusing tujuh keliling, hehe. Pembahasan hanya difokuskan kepada persamaan sederhana yang telah diuraikan pada paragraf sebelumnya, sebuah hitung-hitungan yang telah diajari sejak TK, tapi dengan cara membaca yang unik tentunya. Selanjutnya, diumpamakan bilangan positif (+) adalah perilaku baik, bilangan negatif (-) adalah perilaku buruk, dan sama dengan (=) adalah hasilnya.

Persamaan pertama,

(+) + (+) = (+)

Jika orang berperilaku baik dalam pergaulannya berkumpul dengan orang berperilaku baik, maka hasilnya adalah sekumpulan orang yang berperilaku baik, masih dengan nilai (+). Contoh sederhananya, jika seseorang bertemu dengan orang lain di rumah ibadah dengan niat beribadah bersama, maka hasilnya adalah sekumpulan jamaah yang sedang beribadah. Ini adalah sebuah perbuatan baik, dimana  masing-masing orang satu sama lain bisa terus mengingatkan untuk tetap rajin beribadah, dan bagi sebagian orang, kekhusyukan dalam beribadah berjamaah sangat disukai (selain utamanya juga adalah perintah agama). 

Persamaan kedua,

(-) + (-) = (-)

Dalam gerombolan orang berperilaku buruk, yang dibentuk dari hasil orang berperilaku buruk yang berkumpul dengan orang berperilaku buruk, perilaku buruk secara tidak sadar diakui adalah sebuah kebenaran bagi mereka, karena telah biasa mereka lakukan. Seandainya hati nurani mereka merasa itu adalah perbuatan tidak benar, maka mereka pasti tidak akan melakukannya, apapun alasannya.

Dan biasanya, orang berperilaku buruk kurang suka dengan kehadiran orang yang berperilaku baik, yang mengingatkannya untuk kembali ke jalan yang benar. Ya, mengubah kebiasaan itu diakui penulis memang sangat sulit.

Contohnya bisa kita lihat di lapangan. Sekumpulan pencuri dengan kesepakatan bersama, bekerja sama melakukan tindakan pencurian di suatu bank. Walaupun ada di satu momen mereka tahu bahwa mencuri itu perilaku tidak benar, mereka pun terkadang berusaha membenarkan perbuatannya dan mencari simpati, dengan alasan bahwa hasil curian itu digunakan untuk mencukupi kebutuhan ekonomi mereka.

Kalau begitu, mengapa mereka tidak memilih untuk mencari pekerjaan, dimana itu adalah sesuatu perilaku yang baik dan benar tentunya? Setidaknya, menjadi kuli kasar di pasar, yang kerjaannya angkat-angkat belanjaan orang, bisa menjadi salah satu opsinya.

Persamaan ketiga,

(+) + (-) = (+) V (-)

Persamaan ketiga ini hasilnya adalah relatif, bisa baik bisa juga buruk, tergantung sisi mana yang lebih dominan. Ketika orang berperilaku baik bergaul dengan orang berperilaku buruk, dan jumlah orang baik itu lebih besar daripada jumlah orang berperilaku buruk, maka kemungkinan besar orang yang berperilaku buruk akan sadar dengan perilaku buruknya dan mengubahnya menjadi perilaku baik, sehingga hasilnya adalah sekumpulan orang berperilaku baik.

Di sini, dampak positif orang berperilaku baik berhasil ditularkan untuk mengobati perilaku buruk dan membawanya kembali ke jalan yang benar.

Sebaliknya, ketika orang berperilaku baik berkumpul dengan orang berperilaku buruk, dan mereka berjumlah lebih sedikit daripada orang berperilaku buruk, yang terjadi biasanya adalah kebiasaan berperilaku baik akan menghilang dan mereka akan mengikuti perilaku buruk yang mayoritas kumpulan itu lakukan. Akhirnya, ini akan menghasilkan sekumpulan orang yang berperilaku buruk. Ya, perilaku baik kalah dan terseret ke arah keburukan.

Lalu bagaimana dengan momen Lebaran kali ini?

Sebagaimana kita ketahui, Lebaran adalah momen dimana orang kembali ke fitrah (sifat asal). Kalau versi iklan bahan bakar yang ada di televisi, bisa dipersamakan dengan “dimulai dari nol lagi ya”.

Nah, kalau kita ibaratkan fitrah (keadaan kembali ke sifat asal) adalah 0, permohonan dan pemberian maaf adalah perilaku baik yang dilambangkan dengan bilangan positif (+), dan sejarah perilaku buruk kita dilambangkan dengan bilangan negatif (-), maka di hari raya Lebaran ini, ketika semua orang telah menjadi fitrah (0), berarti semua perilaku buruk kita telah termaafkan ((-) + (+) = 0, hanya jika kedua bilangan tersebut sama besar).

Selanjutnya, semua tergantung ke kita, bagaimana memperlakukan bilangan 0 ini ke depannya. Pilihannya hanya ada dua, diarahkan ke arah positif dengan menambahkan perilaku baik ke dalamnya, atau malah menjadi negatif oleh sebab perilaku buruk kita.

Terlepas dari itu semua, khusus di hari 0 ini, penulis ingin mengucapkan:

Selamat Hari Raya Idul Fitri, 

1 Syawal 1441 H”

 Minal Aidzin Wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir dan Batin.

 Minggu, 24 Mei 2020.

***