Bachtiar Effendy

Selamat jalan Prof. Bahtiar Effendy. Kau boleh berpulang, tetapi tulisan-tulisanmu akan abadi karena 'menulis adalah bekerja untuk keabadian', kata Pramoedya Ananta Toer.

Selasa, 31 Maret 2020 | 11:40 WIB
0
385
Bachtiar Effendy
Bachtiar Effendy (Foto: The Jakarta Post)

Kamis, 21 November 2019, status Facebook banyak teman berisi ucapan belasungkawa atas berpulangnya Prof. Bahtiar Effendy. Semasa kuliah di Medan di awal 1990-an, saya mengenal Prof. Bahtiar dari tulisannya atau kutipan wawancaranya di media massa. Saya sebagai mahasiswa maupun aktivis HMI mengenalnya sebagai penulis, pengamat politik, cendekiawan muslim, dan alumni HMI Ciputat.

Pada 2003, saya menumpang mobil yang mengantar pulang Prof. Bahtiar yang selesai menjadi nara sumber acara bincang-bincang di Metro TV, stasiun televisi tempat saya bekerja. Saya ketika itu sedang menulis tesis "Pertarungan Wacana Islam Liberal dan Islam Fundamental" di Sosiologi UI. Di perjalanan saya mendiskusikan tesis saya itu dengan Prof. Bahtiar. "Kamu harus kritik dua-duanya (Islam liberal dan Islam fundamental)," katanya.

Prof. Bahtiar rupanya tinggal di Perumahan Gema Pesona, Depok. Kelak, tepatnya pada 2012, saya pindah ke Gema Pesona. Saya bertetangga dengannya, tetapi jarang berjumpa. Di Pileg 2014, saya menyaksikan Prof. Bahtiar menjadi panelis "uji kandidat" anggota DPRD Kota Depok yang digelar di komplek kami.

Kebanyakan kita barangkali mengenal Prof. Bahtiar dari buku fenomenalnya yang berjudul "Merambah Jalan Baru Islam" yang ditulis bersama Fachry Ali. Ketika tahun 2000 saya bersama Zaim Uchrowi menulis buku "ICMI Bergerak: Lintasan 10 Tahun Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia" saya memerlukan buku itu sebagai referensi. Saya meminjamnya dari perpustakaan Republika. Saya mengutip beberapa bagian buku itu untuk buku "ICMI Bergerak."

Ketika saya menulis tesis, saya bertandang ke rumah seorang teman, Muchlis Ainur Rofiq, untuk meminjam buku-buku yang bisa saya jadikan referensi. Muchlis alumni Universitas Negeri Islam, jadi punya banyak buku tentang Islam. Saya menemukan buku "Merambah Jalan Baru Islam" di rak bukunya dan meminjamnya. Sampai sekarang saya belum mengembalikan buku yang terbit pada 1986 itu. "Meminjamkan buku bodoh. Mengembalikan buku yang kita pinjam gila."

Buku "Merambah Jalan Baru Islam" menampilkan analisis sosial historis perkembangan pemikiran Islam di Indonesia sejak masuknya Islam hingga masa Orde Baru, termasuk ketegangan, konflik, dan dinamika yang mengiringinya. Perkembangan pemikiran Islam itu dianalisis dari pemikiran Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Kuntowijoyo, M. Amien Rais, Jalaluddin Rahmat, A.M. Saefuddin, Ahmad Syafi'i Ma'arid, Djohan Effendi. Ketegangan, konflik, atau dinamika tersebut kelak terjadi dalam bentuk dikotomi tradisionalis-modernis. Ini bisa dikatakan buku pertama yang memetakan pemikiran Islam di Indonesia.

Saya juga memiliki buku lain tulisan Prof. Bahtiar yang berjudul "Repolitisasi Islam: Pernahkan Islam Berhenti Berpolitik?" Buku ini berisi 60-an esei yang ditulis Prof. Bahtiar antara 1995-1999. Buku ini sekadar memotret Islam politik yang antara lain berwujud maraknya parpol-parpol Islam pada Pemilu 1999. Buku ini tidak hendak menjawab apakah repolitisasi Islam suatu bentuk manipulasi agama. Saya juga mengutip beberapa bagian buku ini di buku "ICMI Bergerak."

Selamat jalan Prof. Bahtiar Effendy. Kau boleh berpulang, tetapi tulisan-tulisanmu akan abadi karena 'menulis adalah bekerja untuk keabadian', kata Pramoedya Ananta Toer.

***