Falsafah Ngopi ala Guru Tanpa Sertipikat

mari kita membudayakan untuk menerapkan 'ngobrol pintar' dan 'ngolah pikiran'. Dua falsafah ini sangat luar biasa dampaknya bagi kehidupan kita.

Minggu, 13 Oktober 2019 | 05:41 WIB
0
621
Falsafah Ngopi ala Guru Tanpa Sertipikat
Ilustrasi ngobrol sambil ngopi (Foto: kopitop.com)

Pak Guru Doel Kamdi setiap pagi selalu minum kopi. Meskipun hanya kopi sachet yang diaduk dengan bungkus sachet itu tadi, minum kopi pagi adalah sebuah kewajiban bagi Sang Guru Tanpa Sertipikat, bisa dibilang hampir sama wajibnya dengan salat subuh. Namun, meskipun sudah minum kopi di pagi hari, setiap ada ajakan untuk ngopi di luar, pasti Pak Guru Doel Kamdi akan menyanggupi.

Beberapa minggu lalu Pak Guru Doel Kamdi terserang common cold. Meskipun sakit, Pak Guru Doel Kamdi tetap memaksakan diri mengajar sehingga sampai rumah sudah lemas sekali. Setelah makan malam, tiba-tiba seorang kawan mengajak untuk ngopi di kafe dekat rumah. Sang Guru Tanpa Sertipikat segera menyanggupi, meskipun harus berjalan kaki dengan sangat lambat karena sakit kepala, dan juga harus mengenakan baju dobel-dobel ala karakter Harry Potter untuk melawan dingin. 

Bukan cuma kali ini. Setiap kali ajakan ngopi datang dari kawan-kawan, Pak Guru Doel Kamdi selalu berusaha menyanggupi ajakan tersebut. Kadang-kadang malah Pak Guru Doel Kamdi yang mengajak. Ya, biasanya sih itu sama gebetan yang merupakan guru bersertifikat, meskipun ujungnya ya Sang Guru Tanpa Sertipikat tekor menraktir dia.

Mengapa demikian? Ini karena Pak Guru Doel Kamdi membedakan antara 'minum kopi' dan 'ngopi'. Kalau hanya minum kopi, Pak Guru Doel Kamdi tinggal berjalan ke dapur dan meracik kopi sendiri. Atau kalau lagi malas, membuat kopi instan. Namun, 'ngopi' lebih dari demikian. 

Ngopi bukan sekadar minum kopi bersama teman. Sewaktu Pak Guru Doel Kamdi berkuliah, beberapa kegiatan dari organisasi kemahasiswaan sering dijuduli 'Ngopi'. Biasanya bidang Sosial Politik (Sospol) dari BEM yang mengadakan 'Ngopi', yang merupakan akronim dari 'Ngobrol Pintar'.

Dalam acara itu, dibahas berbagai isu dari berbagai sudut pandang, mulai dari sudut pandang dosen ahli, mahasiswa, dan pakar-pakar lainnya. Peserta juga dapat bertanya dan berpendapat dalam suasana yang santai, sehingga pemahaman akan isu tersebut menjadi lebih mendalam. 

Ini mengapa Pak Guru Doel Kamdi sangat mengusahakan menyanggupi ajakan ngopi dari teman. Dengan ngopi, Pak Guru Doel Kamdi mendapatkan obrolan yang bermanfaat ('ngobrol pintar'). Entah sekadar membahas urusan di sekolah kalau ngopinya bersama rekan guru, atau berbagi pemikiran mengenai keadaan bangsa, atau lainnya, Pak Guru Doel Kamdi selalu berusaha menyerap ilmu baru dan sisi-sisi baik dari setiap obrolan itu.  Dengan demikian pengetahuan Pak Guru Doel Kamdi semakin kaya.

Selain itu, falsafah terkenal di kalangan pesantren adalah bahwa 'ngopi' itu 'ngolah pikiran'. Pak Guru Doel Kamdi punya pengetahuan di otak. Namun, apabila pengetahuan yang ada di dalam otak ini tidak diolah menjadi sebuah pemikiran yang baik, maka pengetahuan ini menjadi tidak ada gunanya. Pun jika pemikiran yang belum diolah dikeluarkan sembarangan, konten pemikiran ini tidak akan bisa tersampaikan dengan baik. 

Saat ngopi bersama teman, selain menambah pengetahuan, Pak Guru Doel Kamdi belajar mengolah kumpulan pengetahuan yang tadi sudah diperoleh itu menjadi sebuah pemikiran baru. Mempertimbangkan berbagai sudut pandang dari teman-teman yang ikut ngopi, kedalaman berbagai pengetahuan yang didapat, dan juga pendapat pribadi Sang Guru Tanpa Sertipikat, hasilnya adalah sebuah pemikiran baru yang bisa disampaikan saat itu juga, dieksekusi pada saat yang tepat, atau menjadi tulisan yang bagus. Termasuk tulisan ini ditulis ketika Pak Guru Doel Kamdi sedang ngopi.

Jadi, mari kita membudayakan untuk menerapkan 'ngobrol pintar' dan 'ngolah pikiran'. Dua falsafah ini sangat luar biasa dampaknya bagi kehidupan kita. Selain kita menambah pengetahuan kita, juga kita mengolah berbagai pengetahuan yang ada di kepala kita menjadi sesuatu yang pantas dan berguna.

Salam,

Abdul Hamid Fattahillah, Guru Tanpa Sertipikat