Nuklir Energi Masa Depan [1] Pembangkit Listrik yang Efisien dan Aman

Hal penting yang perlu dipahami, pemanfaatan iptek melalui riset selain untuk mengembangkan PLTN yang ekonomis, juga untuk meningkatkan faktor keselamatan dan keamanannya.

Kamis, 1 Agustus 2019 | 20:30 WIB
0
378
Nuklir Energi Masa Depan [1] Pembangkit Listrik yang Efisien dan Aman
Muhammad Nasir (Foto: Merdeka.com)

Pada awal masa pemerintahannya, Presiden Joko Widodo melansir proyek pembangunan pembangkit tenaga listrik sebesar 35.000 megawatt dalam lima tahun hingga 2019. Proyek tersebut langsung menjadi bahan kontroversi, baik dari sisi kemungkinan pencapaiannya, juga dari sisi penggunaannya.

Untuk penggunaannya, memang perlu dibarengi dengan pertumbuhan sektor industri sebagai konsumen utama tenaga listrik, sekaligus penggerak pertumbuhan ekonomi. Persoalan ini dikesampingkan dahulu.

Dari sisi kemungkinan pencapaiannya, banyak pendapat yang pada dasarnya membandingkan antara ‘tingginya’ target yang dipasang oleh Presiden, dengan kemampuan sumber daya yang dimiliki Indonesia untuk mewujudkan target tersebut. Pekerjaan besar itu menjadi domain Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 

Kebetulan, bersamaan dengan digulirkannya proyek kelistrikan tersebut, Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) merampungkan riset mengenai pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Menurut Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Prof. Muhamad Nasir, PLTN sangat bisa dibangun di Indonesia, tanpa mengabaikan atau mengurangi faktor keselamatan, keamanan, dan keekonomisan. 

“Dari riset yang dilakukan oleh Batan, PLTN sangat feasible untuk dibangun di Indonesia,” kata Muhamad Nasir dengan meyakinkan. 

Jadi, kata Menteri Nasir, jika target pembangunan pembangkit listrik baru sebesar 35.000 MW yang ditugaskan ke Kementerian ESDM tidak tercapai, maka Kementerian Ristek dan Dikti menawarkan alternatif renewable energy, salah satunya adalah pembangunan PLTN. 

Untuk tahap pertama, Indonesia menargetkan penyediaan listrik, 23% di antaranya dari renewable resources, yaitu micro hidro, geothermal, solar sel, energi mekanik (angin, ombak dan arus laut), dan energi nuklir. Sisanya, 70% berasal dari pembangkit berbahan bakar fosil. Koposisi itu secara bertahap harus berubah, pembangkit listrik renewable energy makin besar, sementara yang berbahan bakar fosil harus semakin kecil. 

Di berbagai belahan dunia, trend-nya demikian. Di beberapa negara Eropa, lebih dari 50% listrik dihasilkan dari renewable energy, termasuk nuklir. Sedangkan di China saat ini, 70% masih menggunakan pembangkit berbahan bakar fosil, 23% dari PLTN dan 7% sisanya dari berbagai jenis pembangkit listrik renewable energy. 

Dari riset yang dilakukan oleh Batan sejak tahun 1990, dari aspek keamanan pembangunan PLTN sangat aman, begitu juga dari aspek keselamatan, dan dari aspek ekonomi sangat efisien. Satu lagi, dari aspek dampak terhadap lingkungan hidup, PLTN sangat bersih, tanpa polusi, ramah lingkungan. Karena menggunakan clean technology. 

Dari sisi keekonomisan, saat ini harga listrik yang dihasilkan dari pembangkit berbahan bakar batubara atau disel, yang harus dibayar oleh masyarakat berkisar antara US$7,5 sen sampai US$9,1 sen per kilowatt jam (kwh). Sementara dalam perhitungan untuk tahun 2016, harga jual listrik yang dihasilkan oleh PLTN hanya sekitar US$3,5 sen per kwh.

Jelas, harga listrik PLTN lebih murah, kurang dari 50% dari harga terendah dari pembangkit konvensional. Ini menguntungkan konsumen, karenanya harus dikenalkan kepada msyarakat. PLTN aman, clean, efisien. 

Menurut Menteri Nasir, biaya investasi PLTN juga jauh lebih murah dibanding pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Saat ini, biaya investasi pembangkit listrik konvensional berkisar antara US$1,5 juta sampai US$2,2 juta per MW. Sedangkan perhitungan biaya investasi untuk membangun PLTN, hanya US$1,2 juta sampai US$1,5 juta per MW. Tapi, untuk menghasilkan listrik 1.000 MW misalnya, dengan pembangkit konvensional perlu membangun tiga sampai empat pembangkit. Sedangkan dengan PLTN, cukup satu pembangkit. 

Kendala utama yang saat ini masih menghadang adalah masyarakat belum bisa menerima keberadaan PLTN karena minimnya referensi mengenai PLTN itu sendiri. Kisah-kisah mengenai kebocoran reaktor nuklir pada PLTN di Chernobyl, Rusia tahun 1986 yang kemudian menimbulkan korban jiwa dalam jumlah besar, masih sangat menghantui.

Gempa dan tsunami di Jepang pada Maret tahun 2011 yang mengakibatkan hancurnya PLTN di Fukushima, seolah mengembalikan ingatan publik pada bencana Chernobyl. 

Alasan ‘terdekat’ dari penolakan terhadap kehadiran PLTN itu adalah letak geografis Indonesia yang berada pada lintasan dua cincin api, yaitu Mediterania, yang memanjang dari Spanyol, melintasi Laut Tengah, ke Asia Selatan, Asia Tenggara, hingga Papua. Dan Sirkom Pasifik, yang melingkar dari Chile, ke utara hingga Alaska, ke Kepulauan Aleut, Kamchatka, Jepang, Filipina hingga Maluku. Indonesia adalah wilayah pertemuan kedua cincin api tersebut.

Indonesia adalah wilayah yang paling sering dilanda gempa. Karena itu, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir dianggap tidak cocok dibangun di Indonesia. Kurang lebih demikian argumentasi dari penolakan tersebut. 

PLTN (Foto: Sepulsa)

Mengenai argumen itu, Muhamad Nasir menjelaskan, meskipun Indonesia berada di jalur dua ring of fire, namun ada daerah-daerah yang relatif aman dari gempa. Karenanya, PLTN diusulkan dibangun di Sumatera bagian timur dan utara, Kalimantan bagian selatan, Jawa bagian utara, atau Sulawesi bagian selatan dan barat. Itu bagian wilayah Indonesia yang relatif aman dari gempa. 

Persoalan letak geographis Indonesia yang berada di ring of fire, adalah hal yang sifatnya given. Namun, bukan berarti Indonesia harus menghindari PLTN untuk selamanya. Perkembangan teknologi sudah demikian maju, sudah banyak teknologi yang lebih menjamin keamanan, sekaligus keekonomisan PLTN.

Hal penting yang perlu dipahami publik adalah, pemanfaatan iptek melalui riset-riset yang dilakukan, selain untuk mengembangkan PLTN yang ekonomis, juga untuk meningkatkan faktor keselamatan dan keamanannya. 

(Bersambung)

***