Kecele, Ternyata Bukan Batu Karang tetapi Batu Gamping

Padahal sebelumnya masyarakat sudah terlanjur percaya dan menyebarkan berita kalau batuan dalam bronjong tersebut adalah batu karang laut yang dilindungi undang-undang.

Senin, 26 Agustus 2019 | 09:52 WIB
0
555
Kecele, Ternyata Bukan Batu Karang tetapi Batu Gamping
Riyani Djangkaru (Foto: Brilio)

Dunia media sosial atau medsos selalu ramai dengan tema politik atau sosial. Bahkan tiap Minggu selalu berganti tema atau head line di media sosial. Warganet juga gegap gempita dalam menanggapinya: ada yang berkomentar sambil nyinyir atau sinis, ada juga yang berkomentar ala kadarnya. Sekedar berkomentar.

Yang sekarang lagi ramai yaitu bronjong yang dipasang oleh Pemprov DKI di Bundaran Hotel Indonesia yang menimbulkan beragam komentar, bahkan bully-an. Karena dianggap pemborosan.

Sebelumnya ditempat yang sama, pernah ada seni bambu atau getah-getih yang menghabiskan anggaran Rp550 juta. Pose anyaman bambu itu mirip pose seni bercinta ala Kamasutera atau dalam bahasa Jawa "Minak Jinggo atau miring penak njengking monggo".

Rupanya, bronjong yang diisi dengan bebatuan kapur itu mendapat kritikan atau bully-an oleh warganet. Bahkan tambah ramai setelah ada dugaan, batu kapur  dalam bronjong itu batu karang laut yang terlarang atau dianggap melanggar undang-undang konservasi batu karang laut.

Berawal dari komentar atau cuitan pemerhati isu lingkungan Riyanni Djangkaru yang menyatakan bahwa bebatuan yang disusun menjadi instalasi tersebut adalah batu karang. Riyani Djangkaru ini dulunya presenter televisi "Jejak Petualang". Bahkan Riyani Djangkaru mengecek secara langsung ke Taman tersebut dan memastikan bahwa itu batu karang laut yang secara undang-undang dilindungi.

Ternyata batu karang dalam bronjong tersebut bukan batu karang laut yang dilindungi oleh undang-undang, tetapi merupakan batu karang kapur atau gamping yang sudah ribuan tahun mati.

Bagaimana bisa orang yang merasa ahli  sebagai pemerihati lingkungan tidak bisa membedakan batu karang laut dan batu karang gunung, dari jenis batuanya atau bentuknya saja sudah sangat berbeda jauh.

Batu karang gunung banyak di Citatah Padalarang, Jabar dan di Gunung Kidul, Jogjakarta. Bahkan oleh warga dijadikan pondasi rumah atau diajdikan pagar dengan disusun rapi.

Karena menimbulkan kontroversi masyarakat, untuk memastikan apakah batuan dalam bronjong itu batu karang laut atau batu karang gunung gamping, maka Kepala Dinas Kehutanan DKI Jakarta Suzi Marsita kemudian membantah bahwa instalasi gabion bukan berasal dari batu karang tapi dari batu kapur atau gamping (Jawa).

Dan Kepala Dinas Kehutanan DKI Suzi Marsita kemudian mengajak atau mengundang dosen geologi FMIPA Universitas Indonesia (UI) Asri Oktavioni untuk menjelaskan bahwa batuan dalam bronjong tersebut bukan batu karang laut, namun batu kapur atau gamping yang sudah ribuan atau jutaan tahun sudah mati.

Kalau yang sudah bicara ahlinya mau tidak mau masyarakat lebih percaya pada ahlinya yaitu dosen geologi dari Universitas Indonesia bukan ahli jadi-jadian.

Padahal sebelumnya masyarakat sudah terlanjur percaya dan menyebarkan berita kalau batuan dalam bronjong tersebut adalah batu karang laut yang dilindungi undang-undang.

Terkadang warganet atau masyarakat seperti ikan Piranha kalau ada benda jatuh kedalam sungai dikiranya santapan yang bisa dimakan sampai tinggal tulang belulang, tapi adakalanya Piranha juga tertipu atau kecele, ternyata benda yang jatuh dalam sungai itu kayu yang kering dan dikiranya santapan yang bisa dimakan.

Begitu juga masyarakat atau warganet bisa tertipu atau kecele terhadap suatu berita yang belum jelas kebenarannya. Akhirnya malu dan kecele, padahal sudah berkomentar atau mem-bully sampai tulang belulang.

Jangan menjadi ikan Piranha dan Lele Dumbo, yang satu ganas kalau memangsa makanan dan yang satu hidup di air yang keruh atau comberan. Jadilan ikan Salmon yang hidup di air yang jernis dan melawan arus.

***