Padahal sebelumnya masyarakat sudah terlanjur percaya dan menyebarkan berita kalau batuan dalam bronjong tersebut adalah batu karang laut yang dilindungi undang-undang.
Dunia media sosial atau medsos selalu ramai dengan tema politik atau sosial. Bahkan tiap Minggu selalu berganti tema atau head line di media sosial. Warganet juga gegap gempita dalam menanggapinya: ada yang berkomentar sambil nyinyir atau sinis, ada juga yang berkomentar ala kadarnya. Sekedar berkomentar.
Yang sekarang lagi ramai yaitu bronjong yang dipasang oleh Pemprov DKI di Bundaran Hotel Indonesia yang menimbulkan beragam komentar, bahkan bully-an. Karena dianggap pemborosan.
Sebelumnya ditempat yang sama, pernah ada seni bambu atau getah-getih yang menghabiskan anggaran Rp550 juta. Pose anyaman bambu itu mirip pose seni bercinta ala Kamasutera atau dalam bahasa Jawa "Minak Jinggo atau miring penak njengking monggo".
Rupanya, bronjong yang diisi dengan bebatuan kapur itu mendapat kritikan atau bully-an oleh warganet. Bahkan tambah ramai setelah ada dugaan, batu kapur dalam bronjong itu batu karang laut yang terlarang atau dianggap melanggar undang-undang konservasi batu karang laut.
Berawal dari komentar atau cuitan pemerhati isu lingkungan Riyanni Djangkaru yang menyatakan bahwa bebatuan yang disusun menjadi instalasi tersebut adalah batu karang. Riyani Djangkaru ini dulunya presenter televisi "Jejak Petualang". Bahkan Riyani Djangkaru mengecek secara langsung ke Taman tersebut dan memastikan bahwa itu batu karang laut yang secara undang-undang dilindungi.
Ternyata batu karang dalam bronjong tersebut bukan batu karang laut yang dilindungi oleh undang-undang, tetapi merupakan batu karang kapur atau gamping yang sudah ribuan tahun mati.
Bagaimana bisa orang yang merasa ahli sebagai pemerihati lingkungan tidak bisa membedakan batu karang laut dan batu karang gunung, dari jenis batuanya atau bentuknya saja sudah sangat berbeda jauh.
Batu karang gunung banyak di Citatah Padalarang, Jabar dan di Gunung Kidul, Jogjakarta. Bahkan oleh warga dijadikan pondasi rumah atau diajdikan pagar dengan disusun rapi.
Karena menimbulkan kontroversi masyarakat, untuk memastikan apakah batuan dalam bronjong itu batu karang laut atau batu karang gunung gamping, maka Kepala Dinas Kehutanan DKI Jakarta Suzi Marsita kemudian membantah bahwa instalasi gabion bukan berasal dari batu karang tapi dari batu kapur atau gamping (Jawa).
Dan Kepala Dinas Kehutanan DKI Suzi Marsita kemudian mengajak atau mengundang dosen geologi FMIPA Universitas Indonesia (UI) Asri Oktavioni untuk menjelaskan bahwa batuan dalam bronjong tersebut bukan batu karang laut, namun batu kapur atau gamping yang sudah ribuan atau jutaan tahun sudah mati.
Kalau yang sudah bicara ahlinya mau tidak mau masyarakat lebih percaya pada ahlinya yaitu dosen geologi dari Universitas Indonesia bukan ahli jadi-jadian.
Padahal sebelumnya masyarakat sudah terlanjur percaya dan menyebarkan berita kalau batuan dalam bronjong tersebut adalah batu karang laut yang dilindungi undang-undang.
Terkadang warganet atau masyarakat seperti ikan Piranha kalau ada benda jatuh kedalam sungai dikiranya santapan yang bisa dimakan sampai tinggal tulang belulang, tapi adakalanya Piranha juga tertipu atau kecele, ternyata benda yang jatuh dalam sungai itu kayu yang kering dan dikiranya santapan yang bisa dimakan.
Begitu juga masyarakat atau warganet bisa tertipu atau kecele terhadap suatu berita yang belum jelas kebenarannya. Akhirnya malu dan kecele, padahal sudah berkomentar atau mem-bully sampai tulang belulang.
Jangan menjadi ikan Piranha dan Lele Dumbo, yang satu ganas kalau memangsa makanan dan yang satu hidup di air yang keruh atau comberan. Jadilan ikan Salmon yang hidup di air yang jernis dan melawan arus.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews