The Old Soldier Never Die, ungkapan ini tepat untuk menggambarkan sosok Sabam Sirait, salah satu Deklarator Partai Demokrasi Indonesia (PDI) tahun 1973 cikal bakal PDIP. Hanya Sabam satu-satunya tokoh masih hidup, di usianya masuk ke 83 tahun masih aktif di panggung politik dengan posisi sebagai Senator di Dewan Perwakilan Daeah (DPD) pada 15 Januari 2018 menggantikan AM Fatwa yang meninggal.
Pada Pemilu 2019 ini, ia masih bergairah untuk mencalonkan sebagai anggota DPD untuk wilayah pemilihan (Dapil Jakarta), semangatnya belum memudar mewarnai politik nasional yang dirintisnya sejak tahun 1967 di Partai Kristen Indonesia (Parkindo).
Saya pribadi salut kepada konsistensi beliau di jalur politik, bukan kutu loncat meski di eranya banyak kader PDIP loncat pagar ke Golkar demi jabatan.
Pada peringatan tahun ulang tahun ke-80 tahun (2016) di Jakarta, Megawati Ketua PDIP menyampaikan kesannya terhadap sosok Sabam lewat Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto, Putri Presiden RI pertama ini mengakui dirinya berhasil dibujuk Sabam masuk ke dunia politik ketika Orde Baru berkuasa. Padahal saat itu putra-putri Soekarno berkonsensus tidak masuk ke salah satu parpol dengan pertimbangan Sang Ayahanda, Proklamator RI adalah milik semua kalangan.
Kiprah Megawati ini membawanya menjadi Ketua PDI de facto pada Konggres Luar Biasa di Surabaya pada tahun 1996. Dinamika politik membuka kran demokrasi, Megawati bersama pengikut setianya mendirikan partai baru, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Pada Pemilu 1999, PDIP memenangkan pemilu pertama paska reformasi, menjadi catatan kesuksesan Megawati di politik nasional. Dibalik sukses PDIP dan Megawati, ada sosok Sabam Sirait, saat rezim Orba berperan aktif dalam fusi partai warisan Orde Lama dari golongan Kristen, Katholik dan Nasionalis. Sejak itu sesepuh PDIP ini aktif di PDI, partai hasil fusi tersebut dan menjadi Sekretaris Jenderal (Sekjen) terlama di partai berlambang banteng ini.
Menarik sekali mencermati rekam jejak Sabam Sirait yang berasal dari aktifis Partai Kristen Indonesia (Parkindo) di era Orde Lama, sejarah panjang dari Presiden ke-1 sampai Presiden ke-7 masih aktif di gelanggang politik Indonesia.
Dalam usia tak lagi muda, sosok Sabam patut menjadi contoh para politisi muda Indonesia dalam memandang politik adalah sesuatu yang sakral atau suci, tidak opportunis. Hal ini ini diakui juga oleh Hasto Kristiyanto, menurut Hasto ditengah arus pragmatisme politik saat ini beliau masih berpandangan politik itu adalah suatu hal yang suci.
Di era Orde Baru, secara politis Sabam Sirait dirantai oleh Soeharto dengan menempatkan dirinya sebagai salah anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) namun tidak menghentikan konsistensinya memperjuangkan demokrasi dan kebebasan bicara yang dikekang saat itu.
Pria kelahiran Tanjung Balai 13 Oktober 1936 ini berkiprah di dunia politik nasional yang mengalami masa pemerintahan 7 Presiden, dimulai sebagai anggota DPR Gotong Royong (1967 - 1971) di era Orde Lama. Kiprahnya berlanjut di sebagai anggota DPR di era Orde Baru dari Partai Demokrasi Indonesia setelah Fusi Partai tahun 1973.
Tak hanya dari kalangan PDIP mengakui ketokohan sesepuh Parkindo ini, Akbar Tanjung salah yunior di kelompok mahasiswa Cipayung juga mengakui ketokohannya. Menurut Akbar, Sabam adalah tokoh yang berperan mengantar Megawati menjadi Presiden RI ke-4.
Darah politik Sabam rupanya diwarisi oleh Maruarar Sirait, anak lelakinya yang kini duduk sebagai salah anggota legislatif dari PDIP. Ara, panggilan Maruarar juga aktif di salah satu organisasi massa Taruna Merah Putih yang menggalang semua kalangan dan aliran politik. Pemerintah lewat Presiden Jokowi juga menganugerahi Bintang Mahaputera Utama atas sepak terjang di dunia politik hingga sekarang.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews