Saya Berguru pada Jurnalisme Tempo

Puncak kekecewaan saya adalah laporan tentang Ade Armando. Sreenshoot beredar seputar pilihan kata, diksi, dalam liputan lapangan, sangat brutal. Kasar, tak beda dengan dosen, guru besar UGM itu.

Kamis, 21 April 2022 | 05:51 WIB
0
603
Saya Berguru pada Jurnalisme Tempo
Goenawan Mohamad (Foto: dok. pribadi)

“Uda Yon, aku ini pengagum TEMPO. Dari TEMPO, aku pelajari jurnalismenya, kata demi kata!” kata saya kepada Uda Yon Moeis, jurnalis senior Koran TEMPO di markas Kandang Ayam, Rawa Mangun, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu.

Terus terang saya mengutip pernyataan Sastrawan Pramoedya Ananta Toer, “Aku ini pengagum Idrus. Di Bukitduri tulisan Idrus aku pelajari: kata demi kata!”.

Uda Yon Moeis, yang mendengar curhat saya manggut manggut. Begitu juga Benny Benke “Suara Merdeka” yang saya curhati di waktu lain. Masa itu, saya sedang kecewa amat sangat pada laporan TEMPO.

Pram dijebloskan Belanda ke penjara Bukitduri pada tahun 1947, dan baru keluar dua tahun kemudian. Setelah bebas, ia sempat berkunjung ke Balai Pustaka dan memperkenalkan dirinya kepada empat orang, salah satunya Idrus.

Saat bersalaman dengan Idrus, meluncurlah sederet kalimat menyengat yang kelak terkenang terus oleh Pram, “O, ini yang namanya Pramoedya? Pram, kau itu bukan nulis, tapi berak!” kecam Idrus.

Pram terkenang terus dengan kata-kata Idrus – yang sangat menyakitkan - itu sebagaimana ditulis Koesalah Soebagyo Toer, adiknya dalam buku “Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali” (2006).

Idrus dikenal sebagai sastrawan pelopor Angkatan ’45 di bidang prosa seperti Chairil Anwar di bidang puisi. Selain “Surabaya” (1946), karya-karyanya yang lain seperti “Aki” (1944) dan “Dari Ave Maria” ke “Jalan Lain ke Roma” (1948) cukup populer.

Saya membaca majalah berita mingguan TEMPO sejak klas III SMA, dan melanggani sejak ingin jadi wartawan, menjadi reporter pemula, hingga jadi Pemred di tabloid dan majalah.

Sebagaimana diungkapkan Pram, saya belajar dari TEMPO "kata per kata". Kita sama sama tahu, sejak berdirinya majalah berita mingguan ini digarap oleh para sastrawan. Selain Goenawan Mohamad di sana ada Putu Wijaya, Syubah Asa, Isma Sawitri, Amarzan Loebis, Martin Aleida, Eka Budianta, Bondan Winarno, Ed Zoelverdi, selain Salim Said dan Putu Setia, Noorca N. Massardi. Tentu juga nama nama lain.

Saya tak sendiri. Teman teman di kantor redaksi koran kami – koran perkotaan - terutama yang latar belakangnya bukan ilmu komunikasi dan jurnalistik membahas laporan dan tulisan TEMPO secara berkala. Setiap hari kami menulis berita dan membuat laporan, namun kemudian kami sama sama menunggu, bagaimana TEMPO yang terbit setiap Rabu, membuat laporan. Mempelajari angelnya. Selalu menarik dan menginspirasi.

Saya sempat merasa jadi “menjiwai” TEMPO, dan merasai denyut nadi TEMPO karena begitu lamanya melanggani dan mengulik isinya. Seperti menghayati lagu Koes Plus dan Tetty Kadi - melebihi dugaan artis dan musisi yang menyanyikannya.

Kelak saya mempelajari apa yang disebut Jurnalisme Sastra. "Literary Journalism". Menulis dengan gaya bercerita, naratif, berstruktur fiksi – menampilkan tokoh, drama, konflik, dialog, selain narasi. Mengenal Bill Kovach, Tom Rosenstiel, Tom Wolf, Guy Talase dll.

Tak semata melapor ala 5W+1H; dan mengutip, “menurutnya”, ”dikemukakannya...”, “dikatakan oleh.. “ .. “sementara itu diungkapkan...” Apalagi, “dalam rangka memperingati hari, diselenggarakan..” Bahasa koran harian era 1980-an90an.

TEMPO selalu tampil beda, dengan semboyannya yang kondang pada masanya: “Enak dibaca dan perlu, bahkan jenaka pun bisa”

Memang banyak kata kata dan cerita jenaka di TEMPO, terutama di rubrik APA dan SIAPA, asuhan Putu Setia. Juga kolom Mahbub Junaidi, Th Sumartana, MAW Brouwer, Cak Nun, Gus Dur, dll.

Dari majalah TEMPO yang dikagumi pembaca, bukan semata karena enak dibaca dan perlu serta jenaka. Melainkan juga "berani". Kritis pada pemerintah. Selalu mengambil angel berbeda. Eksklusif.

Dari kabar angin, saya dengar wartawan Kompas pun ditugasi untuk mengawasi gaya jurnalisme TEMPO dan menulis artikel majalah di koran mereka. Maka tak heran jika KOMPAS, pun sempat dijuluki “majalah harian” .

Saya juga mengoleksi "Seandainya Saya Wartawan TEMPO" dan "Mat Kodak Melihat untuk Sejuta Mata" dan "Mati Ketawa ala Rusia" yang legendaris itu.

Dari TEMPO saya tak hanya membeli majalahnya, melainkan juga membeli buku buku penerbit Grafitinya. Ketika menerbitkan MATRA saya pun sikap mendapatkannya. Di sana ada Fikri Jufri yang tulisannya lincah dan gurih. Juga majalah ZAMAN yang diasuh Putu Wijaya, dan mulai mengenal karya sufi Danarto dan fiksi jurnalismenya Seno Gumira Ajidarma.

Saya jurnalis lapangan yang tidak merasai kuliah di fak jurnalistik atau ilmu Komunikasi. Setelah menjalani pelatihan singkat, saya hanya meniru dan mengikuti gaya para jurnalis pendahulu, mereka yang sudah kawakan dan sudah jadi – dengan materi tulisan milik sendiri. Hanya dengan cara itu, saya merasa bisa naik kelas. Begitulah juga yang saya lihat dari rekan lain di kantor.

Bukankah jurnalisme TEMPO juga meniru dan mengadaptasi dari gaya majalah internasional Amerika, TIME?

TAPI beberapa tahun ini saya dikecewakan oleh gaya jurnalisme TEMPO. Sejak para sastrawan kawakan memasuki masa pensiun, TEMPO jatuh ke jurnalisme partisan dan bahkan sektarian. Antipati pada Istana dan Pemerintah. Laporan-laporannya tendesius, menyerang personal, terutama presiden Jokowi. Penampilan sampul sampulnya cenderung melanggar etika, frontal dan tak elok.

Saya mendengar bocoran skandal, ada laporan dari wartawan daerah yang baru ikut pelatihan, diturunkan tanpa konfirmasi oleh TEMPO. Untung pemilik tambang yang dirugikan, dan ditulis sepihak, mengenal jurnalis kawakan pensiunan di Jakarta. Melalui kontak kontak personal, disepakati untuk ketemu dan akhirnya diturunkan laporan balasan yang seimbang.

Narasumber masih berbaik hati dan menempuh jalan damai dengan TEMPO, media besar yang jadi tendensius.

Puncak kekecewaan saya adalah laporan tentang Ade Armando beberapa hari lalu. Sreenshoot beredar seputar pilihan kata, diksi, dalam liputan lapangan, sangat brutal. Kasar, tak beda dengan dosen, guru besar UGM itu.

Belakangan dikoreksi dan redaksi minta maaf. Tapi rasanya nasi sudah jadi bubur. Apa yang ditulis tentang Ade Armando jauh dari gambaran liputan TEMPO yang menerapkan standar tinggi jurnalisme dalam meliput peristiwa dan menuliskannya secara tajam, cerdas dan berimbang, .

Generasi pasca1990’an di kemahasiswaan dan kepemudaan - yang mengawang awang, tidak membumi, partisan, dan lupa sejarah masa lalu, mengimbas ke jurnalistik TEMPO. Sangat beda era Gunawan Mohamad dengan jurnalis era onlina yang enteng menghakimi, hantam kromo, sok tahu dan kebodrek-bodrekan.

Pramoedya Ananta Toer, dengan segala kesakitannya – dari serangan cemoohan sastrawan yang dikaguminya, membalas lewat puluhan karya yang melagenda dan menembus zaman. Siapa pecinta sastra yang tidak mengenal Pramoedya? Hanya anak anak sastra saja yang mempelajari Idrus.