P4, Pertolongan Pertama pada Penderitaan

Derita bisa menjadi pintu masuk untuk perubahan hidup. Derita bisa menjadi panggilan untuk hidup lebih dalam dan utuh. Stoa dan Zen bisa membantu kita dalam hal ini.

Minggu, 9 Januari 2022 | 22:13 WIB
0
166
P4, Pertolongan Pertama pada Penderitaan
Ilustrasi wajah (Foto: rumahfilsafat.com)

“Kekuatan untuk mengubah hal-hal yang bisa diubah

Menerima hal-hal yang tak bisa diubah

Kebijaksanaan untuk membedakan keduanya”

Suasana tempat makan itu ramai. Di sana, seorang teman berkomentar tentang buku saya: Urban Zen. “Memang mengapa jika hidup itu menderita? Mengapa harus panik?”, begitu tanyanya.

Memang, hidup harus terus bahagia? Pertanyaan-pertanyaan itu penting untuk direnungkan. Hidup memang tak harus selalu bahagia. Derita adalah bagian tak terpisahkan dari hidup.

Namun, derita tak selalu sama. Ada derita biasa yang merupakan bagian dari keseharian, seperti terkena macet, pusing kepala ataupun bertengkar dengan pasangan. Namun, ada derita yang begitu kuat, seperti kehilangan orang yang dicinta, ataupun ragam kesulitan yang datang bersamaan, tanpa kompromi. Derita semacam ini menggiring orang untuk mengakhiri hidupnya, karena sudah tak tertahankan lagi.

Stoa dan Zen

Maka, saya menulis artikel kecil ini. P4 bukanlah pendidikan Pancasila dogmatik ala Orde Baru dulu. P4 adalah pertolongan pertama pada penderitaan. Saya melangkah dari beberapa pandangan Stoa, lalu masuk ke kunci final, yakni jalan Zen.

Filsafat Stoa adalah salah satu aliran di dalam filsafat Yunani Kuno. Pendirinya adalah Zeno dari Athena sekitar 2300 tahun yang lalu. Ada ragam pandangan Stoa yang berasal dari berbagai tokoh, seperti Markus Aurelius dan Cicero. Stoa menekankan cara berpikir yang masuk akal dan sejalan dengan alam untuk melampaui penderitaan manusia.

Zen adalah upaya untuk memahami jati diri manusia yang asli. Di dalam sejarah, ia berkembang dari ajaran Buddha. Namun, akarnya jauh sebelum itu, yakni di dalam tradisi Upanishad dan Vedanta di India. Dengan memahami jati dirinya yang asli, manusia akan terbebas dari derita sepenuhnya.

Tujuh Prinsip

Ada tujuh hal yang penting. Yang pertama adalah soal kontrol. Kita perlu belajar untuk melepaskan hal-hal yang berada di luar kontrol. Dan, kita juga perlu bekerja sebaik mungkin untuk menata hal-hal yang bisa kita kontrol.

Cuaca, perilaku orang lain, pikiran orang lain, keadaan sosial politik global, itu semua di luar kendali kita. Kita memahaminya, tetapi tidak perlu frustasi, jika tidak mampu mengubahnya. Sebaliknya, pikiran kita, perilaku kita, kebahagiaan kita, semua ada di tangan kita. Kita perlu menatanya sebaik mungkin.

Yang kedua adalah mencintai keadaan. Seburuk apapun, kita perlu belajar untuk menerima keadaan. Hanya dengan begini, kita bisa berbuat sesuatu dengan akal sehat. Perbaikan hanya mungkin, jika kita terlebih dahulu menerima keadaan sebagaimana adanya.

Yang ketiga adalah selalu ingat, bahwa kita akan mati. Kematian tak bisa ditebak datangnya. Tak ada waktu yang terbuang sia-sia, terutama untuk membenci atau marah. Setiap detik menjadi terasa berharga, dan dijalani dengan penuh kesadaran.

Yang keempat terhubung dengan sebelumnya, yakni hidup berkesadaran. Pandangan ini ditemukan di dalam filsafat Stoa maupun Zen. Artinya, apapun yang terjadi, setiap saatnya, semua disadari sepenuhnya. Tak ada penolakan apapun, walaupun mungkin derita sedang berkunjung.

Yang kelima adalah mengelola harapan. Para filsuf Stoa menyarankan, agar setiap pagi, kita membayangkan segala hal yang buruk terjadi. Ini dilakukan, supaya kita siap, jika mereka datang. Jika mereka tak datang, kita bisa merasa lega. Yang membuat kita kecewa bukanlah keadaan, tetapi harapan kita yang terlalu tinggi.

Yang keenam adalah membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Keinginan manusia tak terbatas, bahkan kerap diciptakan oleh kekuatan pasar yang tak masuk akal. Namun, kebutuhan manusia terbatas, dan amat masuk akal untuk dipenuhi. Belajar membedakan ini, dan berfokus pada kebutuhan, akan membuat hidup jauh lebih ringan untuk dijalani.

Yang ketujuh berakar pada pandangan Zen. Segala sesuatu itu kosong, termasuk diri kita sendiri. Kata dan konsep membuat sesuatu itu seolah kokoh. Namun, ini hanya ilusi. Kenyataan yang sebenarnya, termasuk diri kita, adalah kosong.

Menyadari kekosongan berarti mengalami pencerahan. Tak ada lagi subyek dan obyek. Tak ada lagi aku, kamu, mereka, kalian, kami dan kita. Semua hal melebur menjadi satu di dalam kekosongan. Derita berakhir sampai ke akar, dan kita akan kembali ke fitrah, yakni sebagai mahluk semesta yang tak memiliki batas.

Derita bisa menjadi pintu masuk untuk perubahan hidup. Derita bisa menjadi panggilan untuk hidup lebih dalam dan utuh. Stoa dan Zen bisa membantu kita dalam hal ini.

Selamat menerapkannya.

***