Kutukan Homo Corruptus

Mungkin memang kita hidup pada masa, dimana korupsi dan kebodohan merajalela. Segala usaha perubahan bisa dilakukan. Namun, dampaknya kecil, bahkan tidak terasa sama sekali.

Jumat, 19 November 2021 | 10:59 WIB
0
102
Kutukan Homo Corruptus
Ilustrasi korupsi (Foto: beritasatu.com)

2012, saya menulis buku dengan judul Filsafat Anti Korupsi: Membedah Hasrat Berkuasa, Pemburuan Kenikmatan dan Sisi Hewani Manusia di balik Korupsi. Buku itu unik. Ia tidak membahas korupsi dari sisi politik ekonomi semata, seperti buku-buku korupsi pada umumnya. Buku ini membahas korupsi dari sisi pelakunya, yakni manusia yang jiwanya sudah membusuk: homo corruptus.

Homo Corruptus

Homo corruptus adalah mahluk yang koruptif. Nilainya sebagai manusia sudah membusuk. Yang ada di otaknya hanya mencuri, terutama mencuri dalam jumlah besar untuk memuaskan hasrat kerakusannya. Di Indonesia, homo corruptus memegang jabatan tinggi, mulai dari pejabat partai politik sampai dengan menteri penanggung jawab krisis.

Secara resmi, korupsi adalah menggunakan barang publik untuk kepentingan pribadi. Para pejabat negara berpeluang besar melakukan ini, terutama ketika aparat penegak hukum cenderung tak berdaya berhadapan dengan orang kaya dan berkuasa di Indonesia. Namun, rakyat biasa pun bisa melakukannya. Ketika ruang bersama digunakan untuk kepentingan berjualan tanpa ijin, korupsi pun terjadi.

Namun, korupsi bermakna jauh lebih luas daripada itu. Korupsi adalah tindakan memperbusuk keadaan. Ini berlaku mulai dari orang tua yang tidak menjalankan kewajibannya mendidik anak dengan baik, sampai dengan pemuka agama yang menyebarkan kebencian dan kebodohan pada umatnya. Merekalah mahluk-mahluk koruptif (homo corruptus) yang sesungguhnya. Ketika politik, ekonomi, agama dan budaya dipenuhi ketidakdilan, masyarakat tersebut sudah menjadi masyarakat koruptif. Inilah yang kiranya terjadi di Indonesia.

Tiga Tahap Korupsi

Lebih dari 85 persen manusia hidup di bawah pemerintahan yang korup. Begitulah data yang ditemukan oleh Transparency International 2017 lalu. Dampaknya mengerikan, yakni milyaran orang yang hidup dalam himpitan kemiskinan. Rasa keadilan juga rusak, karena korupsi juga mengggerogoti para penegak hukum dan politisi yang dipilih langsung oleh rakyat. Negara yang koruptif, seperti Indonesia, akan terus terjebak di dalam kemiskinan, kesenjangan sosial dan hancur pada akhirnya.

Ada tiga tahap korupsi, sebagaimana dijabarkan oleh Pokharel dan Pratap (2017). Tahap pertama adalah korupsi kecil yang tidak berdampak pada hidup rakyat. Para koruptor adalah pejabat tinggi yang mencuri di balik pintu-pintu tertutup. Masyarakat umum hidup dalam tingkat kemakmuran dan keadilan yang cukup tinggi, walaupun ada korupsi yang terjadi.

Tahap kedua adalah korupsi yang sudah menular ke pelayanan publik. Pemerintah mencuri uang rakyat, dan membagikannya ke pihak-pihak yang mendukungnya. Para pemuka agama dan pendidik disuap untuk mendukung rezim yang korup, namun berkuasa. Hukum dirumuskan untuk melindungi para koruptor, menghabisi upaya pemberantasan kourpsi serta memungkinkan terjadinya korupsi di masa depan.

Tahap ketiga adalah korupsi yang sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat. Nilai-nilai luhur hanya kata-kata manis, dan sama sekali tak terlaksana di kenyataan. Pemberantasan korupsi hanya mengincar beberapa orang yang menjadi kambing hitam penguasa. Namun, pelaku koruptur besar dan struktur yang korup dibiarkan berkembang.

Hubungan antar manusia dipenuhi kebohongan. Tak ada lagi yang bisa dipercaya. Saudara menipu saudara. Penguasa menipu rakyat yang sudah memilihnya.

Penegak hukum tidak berdaya menghadapi penguasa yang korup. Bahkan, para penegak hukum itu sendiri yang justru menjadi pelaku korupsi. Seluruh sistem politik dan ekonomi membusuk, karena korupsi yang menyebar seperti kanker ini. Indonesia di 2021 ada di dalam situasi ini.

Bunuh Diri

Homo corruptus sebenarnya sedang melakukan bunuh diri. Jika ia terus mencuri, maka masyarakat akan hancur. Ia tak lagi punya obyek untuk dirampas. Ia sendiri pun akan hancur.

Masyarakat dibangun di atas nilai-nilai bersama. Korupsi merusak nilai-nilai tersebut. Masyarakat pun akan hancur, jika tak ada perubahan berarti. Para koruptor bisa kabur, setelah menyelesaikan kejahatan mereka. Namun, mereka akan selalu hidup dalam ketakutan dan ancaman kehilangan, karena dampak dari tindakan mereka.

Mungkin memang kita hidup pada masa, dimana korupsi dan kebodohan merajalela. Segala usaha perubahan bisa dilakukan. Namun, dampaknya kecil, bahkan tidak terasa sama sekali. Yang pasti, segala hal berubah. Masa ini pun akan berlalu. Kita hanya perlu mempersiapkan diri untuk menyambut masa yang lebih baik dengan tetap berjuang untuk pencerahan dan keadilan dari saat ke saat.

***