Kemampuan Mempertahankan Bahasa Indonesia

Saya sering ketemu dengan teman/kerabat yang sudah puluhan tahun tinggal di luar negeri dan bahasa indonesia mereka betul-betul sudah berkarat.

Senin, 28 Juni 2021 | 22:33 WIB
0
151
Kemampuan Mempertahankan Bahasa Indonesia
Diaspora Indonesia (Foto: Dok. pribadi)

Baru-baru ini, saya chatting dengan teman lama SD melalui WA di japri. Dia sudah lebih 50 tahun bermukim di Jerman karena menikah dengan pria Jerman. Obrolan ini kemudian ngelantur ke soal bahasa. Dia bilang bahasa Inggris itu sulit dan lebih mudah bahasa Jerman.

Wow (saya membatin), opo ora kuwalik, nduk? Bahasa Jerman itu justru yang sulit bagi saya. Waktu duduk di bangku SMA saya ada pelajaran bahasa Jerman. Benar-benar puyeng saya dibuatnya. Lha untuk kata sandang "the" dalam bahasa Inggris, di bahasa Jerman ada 3 macam yaitu "der, die dan das". "Der" utk gender laki=laki, "die" untuk gender perempuan, "das" untuk gender netral.

Tapi tidak semudah itu pada aplikasinya, karena misalnya "meja" dianggap berkelamin perempuan (die Tabelle), "kursi" dianggap berkelamin laki-laki (der Stuhl), malahan "gadis" dianggap berkelamin netral (das Mädchen). Kenapa begitu? Yo mbuh, takok o wong Jerman.

Masih mending bahasa Belanda, kata sandangnya cuma dua, yaitu "het" dan "de". "Het" untuk kelamin netral, "de" untuk kelamin laki dan perempuan. Tapi tetap aja ini susah. Kapan sesuatu benda dianggap netral kapan dianggap maskulin/feminin. Misalnya, "gadis" disebutnya dengan "het meisje" meskipun jelas-jelas dia berkelamin perempuan, lantas "koran" disebutnya "de krant" meskipun benda ini bukan gender laki/perempuan.

Yang asyik itu bahasa Inggris cuma mengenal satu kata sandang (article) saja yaitu "the". Tidak ribet. Tapi yang lebih asyik lagi adalah bahasa Indonesia. Nyaris tidak dipakai kata sandang ini. Sebagai gantinya pada kata benda yang dirujuk diberi akhiran (sufiks) "nya".

Ingat "nya" di sini bukan berfungsi sabagai kata ganti kepunyaan (possesive pronoun) tapi berfungsi utk memadani kata sandang "the" tersebut. Misalnya "kursinya rusak" (the chair is broken), atau "jalannya berkelok-kelok (the road is winding), atau "buahnya sangat manis" (the fruit is very sweet).

Kembali kepada perbincangan saya dengan teman SD yang bermukim di Jerman tadi, saya bertanya apakah pada kedua anaknya diajarkan (dibiasakan) pakai bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu (mother's tongue). Ternyata tidak. Mereka berdua sama sekali tidak bisa berbahasa indonesia.

Tetapi ada sesuatu yang saya anggap luar biasa dari teman SD wanita ini. Meskipun sudah 51 tahun berdiam di Jerman, bahasa Indonesia dia masih sangat fasih.

Dia menulis di chatting tidak ada salah eja atau salah ucap dalam bahasa Indonesia. Padahal dia meninggalkan tanah air pada tahun 1969, pada saat kita masih menggunakan ejaan Soewandi (baru pada thn 1972 diganti dgn Ejaan Yang Disempurnakan).

Untuk yang belum paham apa itu ejaan Soewandi, saya kasi contoh misalnya "cukup" ditulis "tjukup", "jari" ditulis "djari", "saya" ditulis "saja" dsb. What amaze me, teman SD ini sangat fasih menuliskan ejaan yang baru ini.

Saya sering ketemu dengan teman/kerabat yang sudah puluhan tahun tinggal di luar negeri dan bahasa indonesia mereka betul-betul sudah berkarat. Nyaris sudah tak mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.

Dulunya saya pikir mereka sok-sokan lupa bahasa ibunya, tapi sepertinya mereka berkata jujur lupa bahasa indonesia. Jadi, teman SD saya yang sudah setengah abad meninggalkan tanah air ini, perlu saya acungi jempol masih begitu fluent menggunakan bahasa Indonesia baik secara lisan maupun tulisan.

***