Megawati dan BRIN

Di sinilah arti penting Megawati, yaitu meletakkan landasan politik jangka panjang dalam arah riset nasional yang punya kedaulatan seperti era Sukarno.

Kamis, 6 Mei 2021 | 21:27 WIB
0
264
Megawati dan BRIN
Megawati Soekarnoputri (Foto: tempo.co)

Ditunjuknya Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) banyak menuai kontroversi. ada yang menanggapi dengan kontroversi, namun bagi yang mengenal rekam jejak kepemimpinannya, banyak yang memberikan apresiasi.

Mereka yang mendulang kontroversi, berangkat dari tuduhan BRIN akan rentan dipolitisasi, di sisi lain meragukan kemampuan akademis Megawati dalam memahami ‘peta jalan’ riset dan menggerakkan sel-sel kreator yang mampu menginovasi segala hal ke arah yang jelas.

Yang kerap disalahpahami banyak orang terhadap Megawati adalah tidak mengenal Megawati secara mendalam. 

Serangan-serangan terhadap Megawati lebih kepada “cap cepat” ketimbang sebuah kritik yang evaluatif seperti hal-nya penempatan Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN. 

Perkembangan dunia riset di Indonesia terutama terhadap ilmu-ilmu murni mengalami stagnasi selama masa Orde Baru dan tidak ada perkembangan yang berarti selama masa reformasi ini. 

Awalnya dunia riset ilmu-ilmu murni mendapatkan tempat di masa Demokrasi Terpimpin era Presiden Sukarno, saat itu Sukarno melihat bahwa dunia masa depan akan direbut siapa yang menguasai informasi soal ilmu-ilmu murni dan risetnya, pada dekade 1950-an awal dimulailah Proyek Sukarno dalam merebut penguasaan ilmu-ilmu murni dengan mengirimkan banyak mahasiswa ke negara-negara maju.

Dunia riset saat itu diarahkan oleh Sukarno adalah riset atom dan tenaga nuklir, riset biologi, riset pertanian dan riset kedirgantaraan luar angkasa.

Dalam tempo waktu yang cepat Sukarno meletakkan landasan-landasan riset yang memiliki tujuan-tujuan nasional dan ada ideologi-nya. Batan (Badan Tenaga Atom Nasional) dipimpin Prof.DR G.A Siwabessy mengembangkan dasar-dasar penelitian atom di Indonesia tercatat juga nama Achmad Baiquni, ahli fisika nuklir pertama yang secara gradual mengembangkan dasar-dasar riset atom.

Sukarno juga mendorong dibentuknya kelembagaan riset biologi sebagai penyempurnaan riset yang telah dilakukan di masa Hindia Belanda. Laboratorium-laboratorium biologi dibangun dan yang sudah ada disempurnakan.

Riset dalam dunia pertanian juga menjadi perhatian khusus Sukarno, pengembangan riset dalam dunia pertanian diarahkan menuju “Kedaulatan Pangan”. Bibit-bibit unggulan diriset dan dikembangkan di beberapa wilayah, peta tata ruang pertanian dibagi-bagi dalam agenda pembangunan delapan tahun yang termaktub dalam Dekon (Deklarasi Ekonomi) 1963 dengan dasar-dasar pertanian yang berdikari sehingga ke depan Indonesia tidak mengalami ketergantungan suplai pangan dari negara-negara asing.

Di masa Presiden Sukarno, dunia sedang mengalami “Space Race”, lomba menguasai luar angkasa yang dijadikan lebensraum (ruang hidup baru) bagi negara-negara maju.

Kesadaran sejarah peradaban Sukarno yang meletakkan luar angkasa sebagai titik paling akhir modernisasi dunia dikatakan dalam pidato Sukarno di Bandung 25 Januari 1960 pada pembukaan Musyawarah Nasional Untuk Perdamaian.

“Ada lima tahapan revolusi dunia yakni revolusi agama, komersial, industri atom dan terakhir revolusi luar angkasa” ujar Sukarno.

Di sini Bung Karno menyadari bahwa tahapan terakhir peradaban dunia adalah “menciptakan ruang hidup baru di luar angkasa” untuk itulah Indonesia secara revolusioner membangun pusat-pusat penelitian luar angkasa dan kedirgantaraan.

Pemikiran Sukarno tentang luar angkasa disambut dengan eforia oleh para pemuda-pemudi Indonesia, bahkan Sukarno secara glamour mengundang empat kosmonot Rusia : German Titov, Adrian Nikolayev, Valentina Tereshkova dan Valeriy Bikovsky ke Indonesia. Di Jakarta mereka disambut di Stadion Utama Gelora Bung Karno dihadiri ribuan pemuda dan ini mengilhami pemuda-pemuda Indonesia menekuni luar angkasa.

Riset-riset terhadap peluncuran roket berkembang pesat dan pusat penelitian luar angkasa dibangun secara serius oleh Presiden Sukarno. Rencananya tahun 1968 Indonesia mengirimkan misi astronotnya ke luar angkasa dan didahului tahun 1966 mengirimkan dua orang utan sebagai eksperimen namun rencana ini gagal keburu adanya Gestok 1965. 

Di masa Orde Baru dunia riset gagal berkembang karena orientasi pembangunan Orde Baru yang pragmatis. Selain itu ada skenario besar Indonesia dibuat tergantung pada asing sehingga riset menjadi sangat tidak penting dan ada kepentingan asing yang menghalang-halangi berkembangnya dunia riset di Indonesia. 

Di masa itu rakyat hanya dilatih menjadi “konsumen” apa yang sudah jadi dari luar negeri. Tidak seperti masa Sukarno dimana ilmuwan riset sangat dihargai, di masa Orde Baru ilmuwan riset tidak ada nilai-nya sama sekali, di Indonesia para ilmuwan riset digaji sangat rendah sementara rakyat diajarkan hidup pragmatis, konsumtif dan bergantung pada produk luar.

Riset pangan dihancurkan banyak benih-benih pangan unggulan dihancurkan demi melancarkan intensifikasi pangan menggunakan benih produksi asing yang serba kimiawi. Kedaulatan pangan tidak ada sama sekali, bahkan gandum yang bukan menjadi makanan pokok menjadi bahan yang diimpor besar-besaran secara perlahan rakyat dibuat tergantung dengan gandum yang asing dalam dunia pertanian Indonesia. 

Lembaga-lembaga riset di masa Suharto hanya jadi “tempelan artifisial” tanpa diberikan yang substantif. Panglima kehidupan di masa Orde Baru adalah sikap pragmatis dan konsumtif sehingga peran ilmu murni menjadi tersingkirkan, riset-riset menjadi tidak penting karena rakyat diarahkan hanya menjadi konsumen produk aplikasi asing. 

Ketika banyak orang menganggap riset dan inovasi harus dijauhkan dari politik justru mengasingkan kesadaran bahwa segala hal dibangun lewat politik. Begitu dihargainya ilmuwan-ilmuwan riset nasional dan dibangunnya pusat-pusat pengembangan riset di masa Sukarno adalah karena sikap politik Sukarno yang berkesadaran berdikari menjadi tujuan nasional. Lalu hancurnya sistem riset di Indonesia karena sikap politik Orde Baru yang menjadikan Indonesia bergantung pada produk-produk asing.

Peran Megawati justru merevitalisasi dan memperbaharui sistem riset yang bukan sekedar kajian akademis tapi mempunyai implikasi populis di masyarakat luas dan punya landasan ideologis kedaulatan nasional. Untukuntuk itulah diperlukan keberpihakan politik secara jangka panjang.

Di sinilah arti penting Megawati yang sudah teruji dalam politik. Meletakkan landasan politik jangka panjang dalam arah riset nasional yang punya kedaulatan seperti era Sukarno. 

Pandangan bahwa Megawati tidak punya latar belakang akademis dalam bidang riset adalah kesalah kaprahan lagi. Justru kekuatan utama Megawati adalah menggerakkan kebijakan-kebijakan yang membangun dan melindungi dunia riset. Mengonsolidasi para ilmuwan-ilmuwan nasional untuk melakukan tindakan riset. Megawati memiliki kecerdasan alami dalam melakukan konsolidasi dan membangun solidaritas organisasi. Kemampuannya membina organisasi politik paling berantakan di masa Orde Baru seperti PDI menjadi organisasi politik paling rapi dan modern adalah pengalaman otentiknya ini bisa diterapkan dalam membangun Badan Riset dan Inovasi Nasional. 

Di internal Partai sendiri Megawati secara berkala mengundang para ahli-ahli dalam berbagai bidang untuk melakukan diskusi dan mengarahkan para ahli untuk memecahkan persoalan-persoalan nasional.

Kemampuan konsolidasi para ahli dan kelihaian dalam membangun organisasi menjadi arti penting dalam pembangunan lembaga Badan Riset dan Inovasi Nasional. Bahkan saya mendengar sendiri sepuluh tahun yang lalu perintah Megawati terhadap kader-kader Partai untuk menguasai ilmu pengetahuan dan pengembangan riset.

Megawati sendiri sesungguhnya seorang periset, salah satu kawan periset Megawati adalah Taufiqurrahman Ruki - kelak menjadi Ketua KPK pertama- yang sama-sama pernah membedah kelinci. 

Sementara riset tidak boleh terkungkung dalam jebakan penjara akademis. Riset harus hidup di tengah-tengah rakyat, seperti riset benih unggulan yang secara tradisional bisa dilakukan banyak petani di berbagai daerah. 

Kemampuan Megawati dalam menggerakkan para ahli yang hidup di tengah masyarakat luas sangat dibutuhkan dalam menggalang kekuatan riset nasional dengan ideologi berdikari dan gotong royong.

Renungan-renungan untuk mengembangkan dunia riset Indonesia adalah bagian kontemplasi Megawati yang mendalam atas dasar pengalaman pribadinya. Dia sendiri menjadi Ketua Kebun Raya Indonesia dalam perjalanan memimpin Kebun Raya, ia banyak mengonsolidasi para ilmuwan-ilmuwan flora Indonesia.

Di bawah kepemimpinan Megawati Kebun Raya Indonesia banyak mengalami kemajuan pesat. Kemudian lebih luas lagi renungan Megawati dalam membangun riset secara massif dan multidimensi karena keyakinan manusia Indonesia adalah orang-orang yang berotak cemerlang. Maka landasan paling dasar dari pengembangan riset dan inovasi adalah organisasi-nya.

Pembentukan dasar-dasar organisasi inilah kelebihan utama Megawati. Maka revitalisasi secara integral lembaga-lembaga riset yang kemudian disatukan dalam BRIN adalah langkah strategis jangka panjang menghidupkan kembali dunia riset di Indonesia. 

Riset dan Inovasi harus hidup di tengah-tengah rakyat, negara melindungi dan menyejahterakan para ilmuwan-nya serta organisasi riset dibangun dengan multidimensi bidang adalah kebijakan politik jangka panjang yang perlu keberpihakan politik untuk itulah peran Megawati amat dibutuhkan.

Anton DH Nugrahanto

***