Jiwa-jiwa yang Terbelah

Menata jiwa yang terbelah adalah tugas kita semua. Ini adalah tugas bangsa kita. Sehingga, jarak antara nilai kehidupan dan tindakan di keseharian menjadi semakin kecil di dalam proses.

Jumat, 12 Maret 2021 | 07:40 WIB
0
158
Jiwa-jiwa yang Terbelah
Halusinasi (Foto: Geeq.id)

Kisahnya mungkin sama dengan kisah jutaan pasangan lainnya. Sebagai perempuan, ia memilih pasangan yang cerdas dan bijak. Ia pun memilih seorang penulis yang karya-karyanya mencerahkan banyak orang. Yang ia alami selanjutnya sungguh tak terduga.

Lain di karya, lain di kehidupan. Itulah yang terjadi. Karya-karya pencerahan tak sesuai dengan tindakan di kenyataan. Kata berbeda jauh dengan hidup nyata.

Di mata masyarakat, sang suami adalah pemikir mendalam dan mencerahkan. Namun, di rumah, ia melepas tanggung jawab, dan bertindak semena-mena. Ia cenderung sempit berpikir. Sampai satu titik, hubungan tak lagi bisa dipertahankan, dan perpisahkan pun tak terhindarkan.

Inilah jiwa-jiwa yang terbelah. Hidup tak sanggup mewujudkan ide-ide di kepala. Kesan kemunafikan tampak tak terhindarkan. Namun, masalahnya sedikit lebih rumit dari sekedar cap kemunafikan.

Bandung yang Terbelah

Bandung, Kota Kembang, adalah kota yang mempesona. Cuaca yang sejuk dibarengi dengan tata kota yang cukup memikat. Sebagai pusat pemerintahan Jawa Barat, Bandung memang mengandung kerumitan tersendiri. Di balik paras cantiknya, ada hal gelap yang sudah terlalu jelas bagi warga setempat.

Siang hari, gadis-gadis Bandung tampak alim. Mereka mengenakan pakaian keagamaan tertentu yang serba tertutup. Mereka pergi belajar dan bekerja. Namun, di malam hari, cerita lain tampil ke depan.

Mereka menjadi perempuan yang berbeda. Baju terbuka dengan alkohol di tangan. Tak jarang yang berdiri di pinggir jalan, siap berjumpa dengan pria yang mungkin diimpikan. Bandung secara khusus, dan Jawa Barat secacra umum, adalah tempat dengan jiwa-jiwa terbelah hidup di dalamnya.

Disini juga, kesan kemunafikan tampak tak mudah dihindarkan. Keterbelahan hidup yang dibalut dengan pemahaman agama yang sempit. Kebebasan yang ingin tampil ke depan di tengah masyarakat yang terbelakang. Disini juga, keadaan yang sebenarnya lebih rumit dari cap kemunafikan.

Jiwa-jiwa yang Terbelah

Mereka sudah tahu, bahwa merokok bisa membunuh. Kematian bisa datang dengan cara yang begitu lama dan menyakitkan. Namun, para perokok tetap keras kepala. Mereka tetap merokok, walaupun ancaman sakit dan kematian terus datang.

Perilaku konsumtif berpola serupa. Keadaan ekonomi yang sulit tak menghalangi dorongan untuk terus berbelanja. Hutang dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Ketika keadaan meledak, orang lalu menyalahkan tuhan, atau melarikan diri dari kenyataan dalam pelukan narkoba, alkohol atau bentuk-bentuk candu lainnya.

Inilah contoh jiwa-jiwa yang terbelah. Sayangnya, keterbelahan semacam ini tidak hanya terjadi pada manusia. Bangsa pun bisa mengalaminya. Di awal abad 21 ini, Indonesia terus menjadi bangsa yang terbelah.

Kita ingin menjadi bangsa yang berpijak pada Pancasila. Artinya, kita ingin menjadi bangsa yang manusiawi, demokratis, beradab dan berkeadilan. Namun, dalam kebijakan, kita terus bersikap tak adil terhadap banyak pihak. Kepentingan agama mayoritas diutamakan sambil mengabaikan kepentingan agama-agama lainnya, termasuk kepentingan nasional. Ini terus berjalan, sambil kelompok miskin di berbagai daerah terus mengalami penindasan struktural.

Tak heran, di dalam bangsa yang terbelah jiwanya, warganya pun hidup dalam keterbelahan. Saya pun mengalaminya. Aspirasi tak sejalan dengan apa yang dilakukan sehari-hari. Dalam kesadaran, jarak itu tentu semakin mengecil.

Disonansi Kognitif

Mengapa para jiwa terbelah ini bisa hadir? Mengapa jiwa kita terbelah antara harapan dan tindakan? Mengapa ada jarak antara cara berpikir dan pola perilaku di dalam keseharian? Inilah yang perlu dicermati lebih dalam.

Keadaan terbelah ini disebut juga sebagai disonansi kognitif. Konsep ini pertama kali dirumuskan oleh Leon Festinger di dalam bukunya yang berjudul A Theory of Cognitive Dissonace pada 1957 lalu. Disonansi kognitif adalah konflik di dalam diri, ketika perilaku seseorang berbeda dengan pandangan dunia yang ia pegang. Ini juga menjelaskan keadaan batin, dimana orang memegang dua pandangan yang saling bertentangan satu sama lain.

Dalam keterbelahan, orang lalu mencari pembenaran. Beberapa pandangan dirumuskan ulang. Walaupun, ia seringkali bertentangan dengan akal sehat. Ini banyak terjadi pada orang yang tetap konservatif dan berpikiran sempit di dalam perilaku keseharian, namun mampu menghasilkan karya-karya pencerahan untuk masyarakat luas.

Data dimanipulasi. Pandangan-pandangan berbeda dianggap tak ada. Orang tetap tenggelam dalam kebodohan dan kesempitan berpikir, walaupun informasi dan jalan kebijaksanaan tersebar di sekitarnya. Hal yang semakin sering ditemukan di Indonesia.

Akar dari Disonansi Kognitif

Ada tiga hal yang kiranya menjadi penyebab. Yang pertama adalah perilaku yang dipaksakan. Ini terjadi, biasanya karena tekanan sosial yang kuat. Orang dipaksa untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan sosial, tanpa ada pilihan lain.

Ia bisa memiliki pandangan luas. Ia bisa memiliki keterbukaan pada perbedaan. Namun, jika keluarga dan masyarakatnya masih terbelakang, maka ia akan dipaksa untuk mengikuti mereka. Ia lalu berperilaku dengan sempit dan juga terbelakang.

Inilah inti dari konformisme sosial. Orang mengikuti kecenderungan sekitarnya, karena terpaksa. Ia bisa mengambil banyak bentuk, mulai dari cara berpakaian sampai dengan jenis pekerjaan. Orang lalu terbelah jiwanya.

Di Indonesia, pola ini dengan mudah ditemukan. Orang berbusana dengan gaya tertentu, karena terpaksa. Mereka takut akan tekanan dan penghakiman sosial dari keluarga maupun masyarakat. Akhirnya, mereka terlihat tunduk patuh, walaupun memberontak dalam hati. Mereka terbelah jiwanya.

Yang kedua adalah tekanan untuk membuat keputusan sulit. Ini terjadi, ketika orang harus membuat keputusan sulit yang bertentangan dengan prinsip hidupnya. Akhirnya, ia harus menjalani keadaan yang tak sungguh sejalan dengan pandangan hidupnya. Ini pun mencakup banyak hal, mulai dari soal pekerjaan sampai dengan pernikahan.

Yang ketiga adalah pertimbangan atas usaha yang telah dilakukan. Ini terjadi, ketika orang tetap berperilaku tak sesuai dengan pandangan hidupnya, karena ia telah merasa berkorban terlalu banyak. Orang enggan berhenti dari pekerjaan yang menyakitinya, karena sudah terlalu lama bekerja dan meniti karir. Orang enggan untuk keluar dari pernikahan yang menyakiti batinnya, karena sudah terlalu lama menikah, dan sudah terlalu banyak pengorbanan yang dilakukan.

Maka, pertentangan antara pandangan dan perilaku lebih dari sekedar kemunafikan. Banyak hal yang menjadi penyebabnya. Kerap kali, hal-hal tersebut diluar kemampuan orang terkait untuk melampauinya. Ada kerusakan sistemik yang melandasi disonansi kognitif seseorang, maupun sebuah bangsa.

Jiwa yang terbelah harus sungguh disadari terlebih dahulu. Orang harus sungguh sadar, bahwa ada jarak yang cukup besar antara pandangan hidup dan perilakunya di keseharian. Kesadaran ini tentu menciptakan kegelisahan. Namun, ia adalah awal dari perbaikan.

Sedikit demi sedikit, jarak tersebut akan mengecil. Ia memang tak pernah sungguh lenyap. Namun, besarnya bisa dikelola, asal ada kesadaran untuk sungguh berubah. Dalam banyak hal, ini menjadi pekerjaan seumur hidup.

Menata jiwa yang terbelah adalah tugas kita semua. Ini adalah tugas bangsa kita. Sehingga, jarak antara nilai kehidupan dan tindakan di keseharian menjadi semakin kecil di dalam proses. Semua dimulai dari saat ini.

***