Perlu Orang "Abnormal" untuk Mendorong Kebangkitan Jatiluhur

Saya terbayang bila di sepanjang tepi Sungai Citarum, ditumbuhkan ratusan kampung ilmu yang diisi oleh para champions seperti Pak Abdulbar.

Senin, 5 April 2021 | 08:50 WIB
0
206
Perlu Orang  "Abnormal" untuk Mendorong Kebangkitan Jatiluhur
Saya di Jatiluhur (Foto: Dok. Pribadi)

Tadi malam saya diundang ke acara Jafes 2021 (Jatiluhur Affection for Environment, Social Responsibility and Traditional Culture 2021) di Istora Lake View Caffee and Resto, di tepi bendungan Jatiluhur. Saya terkesima melihat pemandangan tepi waduk Jatiluhur di sore hari. Sebuah keindahan luar biasa yang tak banyak diketahui warga Jakarta.

Sambil meminum kopi, mata saya memandang ke hamparan air yang menjelma bagaikan laut, tersinari matahari sore hari dengan "backdrop" alami bukit berlapis yang indah luar biasa. Sama sekali tak tergambar bahwa air Sungai Citarum pernah menjadi berita dunia sebagai sungai paling tercemar karena ribuan keramba ikan dan sampah. Nampaknya, kerja keras menjadikan Citarum harum secara bertahap mulai terlihat hasilnya.

Untuk menjadikan Citarum lebih indah lagi sebagai "surga dunia" nampaknya perlu kerja kroyokan. Perlu upaya transformasi massive menjadikan wilayah ini sebagai kesatuan ekosistem sehat, yang tak saja menjadi hijau dengan keragaman hayati, tetapi penuh dengan aktivitas kreatif warga yang ramah lingkungan. Untuk menjadikan wilayah ini sebagai sentra peradaban ramah lingkungan kreatif memerlukan kolaborasi.

Para ilmuwan dan seniman kreatif yang selama ini hidup di Jawa Barat dan Jakarta harus bersinergi menjadikan anugrah alam ini menjadi panggung peragaan keindahan. Citarum dengan Jatiluhurnya harus menjadi etalase peragaan kepedulian terbangunnya ekosistem sehat. Jangan jadikan Citarum sebagai contoh kasat mata ketidakpedulian lingkungan dan kebiadaban perilaku terhadap alam.

Untuk meraih impian itu, mungkin inilah saatnya kampus-kampus terkemuka yang kebetulan ada di Jawa Barat menunjukkan kepedulian dan kecerdasannya, kalau memang ada.

Mungkin juga, inilah saatnya para seniman, social entrepreneurs, dan "orang orang abnormal" harus bergabung menggalang sinergi kreatif, menjadikan hamparan Sungai Citarum menjadi lokasi bangkitnya kejayaan peradaban sungai di tahun tahun mendatang. Saya melihat, puluhan wakil BUMN yang hadir sore itu, juga nampak bersemangat untuk ikut menyisihkan dana CSRnya mendorong gerakan ini.

Saat saya melamun membayangkan kebangkitan ini, saya ditemani seorang mantan supir bus asal Magelang Jawa Tengah yang kebetulan saya undang untuk datang berkunjung ke lokasi ini. Namanya Abdulbar. Aktivis penggerak komunitas ini sengaja saya undang karena dia termasuk orang unik yang berhasil mengubah kampungnya dari kampung pertanian konvensional menjadi Kampung Desain.

Warga di kampungnya berhasil ia transformasikan menjadi para designers, kreator logo yang mendunia. Unik sekali. Bagaimana mungkin petani yang sehari-hari bekerja menyangkul dan mengarit rumput, di malam hari berubah profesi menjadi designer logo yang melayani kliennya di mancanegara.

Pak Abdulbar sengaja saya undang karena saya ingin tunjukkan pada banyak tamu yang hadir dalam acara ini, para pejabat dan karyawan BUMN, bahwa perubahan seringkali terjadi karena adanya orang orang abnormal yang menjadi pendorong. Pak Abdulbar adalah salah satu contoh orang abnormal itu. Andy Noya melalui acara Kick Andy di Metrotv, pernah mewawancarai Pak Abdulbar. 

Saya terbayang bila di sepanjang tepi Sungai Citarum, ditumbuhkan ratusan kampung ilmu yang diisi oleh para champions seperti Pak Abdulbar ini, niscara sepanjang Sungai Citarum akan menjadi sentra peradaban ke depan. 

Semoga impian menjadi kenyataan.

#iPras 2021

Note:

Bagi sahabat yang ingin tahu Pak Abdulbar, berikut saya sertakan profil beliau yang pernah ditulis orang.

Panggilan: Wo Doel (Pakde Doel)/ Abdul Bar

TTL : Magelang, 28 Februari 1970

Usia : 47 tahun

Profesi : Pengrajin Logo

Agama : Islam

Nama Istri : Umroh Makhfudah

Jumlah anak : 2 putra

Alamat : Demangan Timur Rt01 / RW02 Kaliabu Salaman Magelang , Jawa Tengah.

Pendidikan Terakhir : SMA

Dulu Sopir Bus.

Bertahun-tahun, Abdul menjalani hidupnya dengan bekerja sebagai seorang sopir bus malam. Bahkan ia sempat pindah dari perusahaan bus satu ke perusahaan bus lain dengan alasan pendapatan yang kurang memuaskan. Abdul sempat bergabung dengan PO. Handoyo jurusan Magelang – Jakarta – Cengkareng, ia merasa pendapatnya dari PO. Handoyo terlampau kecil dengan jarak yang jauh Magelang – Jakarta. Ia pun berpikir untuk beralih ke perusahaan bus lain, ia memilih PO. Budiman jurusan Bandung – Magelang yang dirasa lebih bonafit. “Saya lihat busnya baru-baru dan lebih terawat, terlihat lebih bonafit lah. Saya pikir dengan pindah bus yang lebih bonafit pendapat jadi lebih baik, ternyata sama saja. Dan saya nggak betah lagi,” cerita Abdul.

Merasa trayek yang ia jalani terlampau jauh dan melelahkan, Abdul pindah ke PO. Putra Remaja, jurusan Yogyakarta – Magelang yang lebih dekat jaraknya. Trayek dekat tersebut menjadi trayek terakhir Abdul menjadi seorang sopir bus. “Yang namanya jadi sopir bus, ternyata pendapatannya sama saja. Di sini membuktikan bahwa hasil saya menjadi sopir bus selama ini tidak lah cukup untuk hidup. Hanya cukup untuk kebutuhan makan saja, sedangkan dua anak saya juga harus sekolah,” tukas Abdul. 

Selama menjadi sopir bus, Abdul harus meninggalkan keluarga selama tiga hari untuk hidup di jalanan. selama tiga hari tersebut ia hanya dapat membawa pulang uang sebesar 250-300 ribu rupiah. “Hanya segitu yang saya bawa pulang, rata-rata 250 lah, karena di jalan juga kepotong untuk makan sama rokok,” akunya.

“Gilanya” Seorang Sopir Bus

Abdul merasa pendapatannya menjadi sopir bus tidak dapat mencukupi kehidupannya bersama keluarga. Begitu penatnya pekerjaan selama di jalanan membuat Abdul kenal dengan computer dan jaringan internet, lantaran setiap kali pulang dari jalan Magelang – Jakarta – Cengkareng kembali lagi ke Magelang Abdul mampir ke warnet (warung internet). “Yang namanya sopir bus, beberapa perangainya tidak bagus. Saya sendiri juga, dan ini tidak bagus untuk istri saya waktu itu. Saya itu ganteng nggak, tapi pas waktu itu saya punya pacar. Dan istri saya juga akhirnya tahu,” sesalnya. Selama kembali ke Magelang, di dekat rumahnya, di siang hari ia membuka sosial media, Facebook, dan hanya chatting seharian. “Saya sampai rumah jam tujuh pagi, siangnya main ke warnet, chatting sama si ‘itu’ lewat Facebook,” lanjut Abdul.

Beberapa bulan Abdul melakukan aktifitas tersebut. Saking seringnya ke warnet, terkadang ia mendapat akses gratis dari pemilik warnet. Tanpa ia sadari, ia dipantau oleh pemilik warnet–anak muda bernama Aqib. “Saya baru tahu kalau ternyata dari bilik tempat saya chatting itu bisa dipantau dari admin. Sebagai sopir saya nggak tahu detail tentang computer. Dan ternyata saya dipantai sama pemilik warnet. Mungkin dipantau karena melihat ada orang tua kok main ke warnet itu ngapain. Saking seringnya, dia ngomong dari pada buat gituan mending buat belajar CorelDraw pak, kalau bisa CorelDraw bisa hasil uang. Tapi pas dikasih tahu sama Aqib, saya nggak percaya. Saya masih PD aja jadi sopir bus,” Jelas Abdul. 

Belajar CorelDraw  

Ayah dua anak ini pun resmi menjadi pelanggan tetap warnet di dekat rumahnya. Ia pun lantas menjadi akrab dengan pemilik warnet yang menyarankannya untuk belajar CorelDraw. Meski sudah akrab dan berkali-kali diberi tahu oleh Aqib ia sama sekali tidak menggubris. “Saya nggak gagas aja dikasih tahu berkali-kali. Karena dia lebih muda dari saya, saya pikirnya anak muda tahu apa,” ingatnya.

Di desa Abdul, Desa Kaliabu yang sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai buruh kasar, pekerjaan Abdul sebagai sopir bus menjadi pekerjaan yang cukup bergengsi. Meski dirasa menjadi bekerjaan yang cukup bergengsi, Abdul mendapat kabar dari istrinya bahwa anaknya sudah nunggak bayar uang SPP selama satu semester. Sontak, Abdul pun kaget. Ia merasa sudah memberikan semua penghasilannya pada sang istri, namun kenyataannya masih juga tidak cukup. “Waktu itu saya nggak tahu kalau anak saya belum bayar SPP, yang saya tahu saya bekerja dan uangnya dikasih ke istri. Setelah saya evaluasi, uang yang saya dapat hanya cukup untuk makan saja,” ujar lelaki 47 tahun ini.

Abdul pun bercerita bahwa istrinya hampir saja mengambil keputusan untuk memberhentikan sekolah anak pertamanya yang ketika itu masih duduk di bangku SMA. “Sejak saat itu saya teringat tawaran Aqib untuk belajar CorelDraw. Padahal saya juga nggak tahu CorelDraw itu apa, bagaimana bisa menghasilkan uang,” ucapnya. Abdul pun sempat malu bicara tentang CorelDraw ketika datang ke wanet Aqib. Ia hanya melihat bagaimana cara Aqib membuat desain logo. “Singkatnya saya tunggu dia kasih tawaran lagi, tapi dia nggak kasih-kasih tawaran lagi, malah kesannya jual mahal. Tapi akhirnya dia yang ngalah untuk tawarin saya lagi. Dan kesempatan itu tidak saya buang lagi,” ingat Abdul malu-malu.

Sejak tidak membuang tawaran itu, Abdul langsung dikasih tahu bagaimana membuka CorelDraw. Ia pun mulai belajar bagaimana membuat sebuah lingkaran, membuat kotak, dikenalkan menu-menu dalam CorelDraw, cara menggambar dengan mouse, dan pelajaran CorelDraw lainnya. “Bahasa materi tidak seperti di kampus. Kalau di kampus buat lingkarang, namanya circle. Kalau kami pakai bahasa kami sendiri. Iki lho Wo, carane gawe bunderan. Nganggo tanda seng iki (Ini lho Pakdhe, cara membuat lingkarang. Pakai tanda yang ini). Pertama kenal CorelDraw itu pokoknya saya nggak tahu apa-apa, semua diajarkan pakai bahasa sehari-hari. Saya berterima kasih pada Aqib, dia satu-satunya orang yang berjasa mengentaskan saya dari dunia jalanan. Sekarang dia jadi desain grafis,” kenang Abdul.

Uang Pertama Untuk Bayar SPP Anak

 Keputusan Abdul untuk belajar CorelDraw dan meninggalkan profesinya sebagai sopir bus sempat ditentang mertuanya. Profesi yang dianggap bergengsi di daerahnya harus rela ia buang dan ia ganti dengan profesi yang belum jelas akan menghasilan uang atau tidak. “Resiko yang saya ambil adalah berani hidup melawan pahit. Berani untuk menutup penghasilan dan selama empat bulan saya tidak mendapat penghasilan. Istri saya Alhamdulillah mendukung, mertua saya bilang saya gila. Sudah dapat pekerjaan bagus malah ditinggal. Padahal pekerjaan yang saya tekuni kali ini sama sekali belum ada hasil, karena saya masih terus belajar,” cerita Abdul.

Untuk pertama kali ia memiliki perangkat computer. Ia membeli sebuah computer tabung seharga 50 ribu rupiah dan sebuah CPU Pentium 4, seharga 800 ribu rupiah, dari hasil hutang. Selama empat bulan Abdul belajar tentang desain logo, baginya waktu empat bulan cukup lama untuk menghasilkan uang, karena ia ingin ketika sekarang belajar, sekarang pula mendapatkan uang. Meski begitu, Abdul membuktikan bahwa Hasil tidak mengkhianati proses. Tak lama dari ia belajar, ia mengikuti kontes desain logo dari perusahaan Otomotif, Australia logonya dihargai 400 dollar di tahun 2011 sebagai bentuk hadiah yang dimenangkannya. Hasil tersebut adalah harga pertama yang Abdul dapat sebagai penghasilan terbesarnya selama itu. “Saya ingat karya pertama saya membuat logo SENTENS dari peruhaan Otomotif, Australia. Dalam waktu satu minggu saya buat logo tersebut, uangnya masuk ke rekening saya 400 dollar, kira-kira 3,8 juta. Akhirnya uang itu untuk bayar SPP anak saya,” kisah Abdul.

Dollar Masuk Kaliabu

Penghasilan fantastis masuk ke rekening Abdul. Masyarakat Kaliabu memandang, Abdul sopir bus dengan pendidikan tamatan SMA, usia masuk kepala empat dapat belajar computer, membuat desain logo dan menghasilkan uang. Masyarakat Kaliabu pun mulai heboh, mereka merasa bahwa Abdul bisa. “Aqib anak muda, dia bisa computer, bisa desain itu dianggap wajar. Ketika saya, orang tua bisa computer bisa desain masyarakat heboh. Mereka menilai Aqib berpendidikan, sedangkan saya pendidikan rendah, sopir bus, tapi bisa, lantas masyarakat Kaliabu yang mayoritas kuli dan buruh kasar merasa kenapa tidak mencoba. Mereka pun belajar rame-rame ke saya. Mungkin tidak malu ketika belajar dengan orang yang sama-sama memiliki pendidikan yang rendah,” tukas Abdul.

Fasilitas untuk belajar desain tidak lah memadai seperti yang ada di kota. Di Desa Kaliabu, tempat tinggal Abdul, masyarakat belajar dengan satu computer yang dimiliki Abdul. “Ketika saya bekerja membuat desain, teman-teman melihat. Ketika saya istirahat, teman-teman obok-obok computer saya,” singkatnya tertawa. Abdul mengungkapkan setidaknya dengan adanya belajar desain logo yang kelak menjadi orangnya menjadi desaigner, tetangganya yang hijrah ke Jakarta ke kota-kota besar mereka pulang ke kampung, dan menyejahterakan kampung.

Tahun 2012, dollar mulai masuk Magelang, tepatnya Kaliabu. Sudah banyak masyarakat yang mulai mengikuti kontes desain logo. Ada banyak situs website yang khusus menyediakan informasi kompetisi membuat logo perusahaan tertentu. Kebanyakan perusahaan tersebut berada di negera-negara Eropa dan Australia. Salah satu website yang sering mengadakan kontes desain logo adalah 99designs.com. Saat ini sudah tidak terhitung berapa kali Abdul memenangi kontes mendesain logo perusahaan, seperti Eropa, Asia, Australia, hingga Timur Tengah. Hadiah dari kemenangan kompetisi tersebut terbilang tidak kecil, menurut Abdul mencapai 200-1000 dollar Amerika. “Itu baru satu lomba, tidak jarang mereka jadi kaya mendadak,” singkatnya tertawa.

Beberapa masyarakat Kaliabu sudah alih profesi dari kuli, petani, pengasong, buruh kasar menjadi seorang designer logo. Dari ketekunan belajar secara otodidak dan berbagia ilmu mereka tembus hingga dunia internasional. “Sampai saat ini kami sudah ikut beberapa kontes, dan juga pesanan logo baik di Indonesia maupun luar negeri. Kalau di luar negeri, ada broker yang menghubungkan kami dengan perusahaan luar negeri,” tukas Abdul.

Orang kampung, mendapat penghasilan dollar membuat Abdul sempat dicurigai lantaran rekeningnya dibanjiri dollar. “Kadang hanya uang saya pribadi, kadang juga anak-anak yang tidak punya rekening ikut titip jadi rekening saya jadi banyak uangnya. Misalnya ada 22 orang titip ke rekening saya, pas saya mau ambil kan banyak banget uangnya. Karena dapatnya dollar ditanyain kerjanya apa pak? Jadi TKI ya? Dan lain sebagainya,” ujar Abdul tertawa.

Tanya Google

Ketika sudah mendapat penghasilan dollar, tak lain pelanggan dan kontes Holder (Penyelenggara kontes) yang mereka dapat adalah orang dari manca negara dengan menggunakan bahasa Inggris. Abdul mengaku bahwa dirinya sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris, ia selalu berkelit ketika klien mereka ingin menelepon. “Saya tidak pernah mau terima telepon, karena saya nggak bisa bahas Inggris. Setiap mereka ingin telepon saya bilang, kalau saya tinggal di daerah yang jaringan signal tidak bagus. Jadi lewat SMS saja atau email. Pernah mereka ingin Skype, tapi saya tetap nggak mau karena nggak bisa ngomong. Saya bilang kalau jaringan internet nggak bagus,” ceritanya tertawa. Abdul selalu mengandalkan Google untuk menerjemahkan pesan baik dari SMS atau pun email yang masuk. “Saya selalu tanya mbah Google, jadi balasannya lama,” sambungnya tertawa.

Generasi Pengrajin Logo Bernama Rewo-Rewo

Seiring berjalannya waktu, di Desa Kaliabu, Magelang, bisa dikatakan setiap harinya muncul generasi baru pengrajin logo dari berbagai macam latar belakang sosial. Awalnya mereka hanya sekadar ngumpul tanpa agenda apapun, hanya membicarakan desain grafis. Abdul mengatakan, dalam kegiatannya bersama dengan pemuda Kampung Desain, mereka tidak menjual keterampilan mereka dalam mengoperasikan computer, akan tetapi konsep yang mereka jual. “Kami tidak menjual keterampilan atau kepandaian kami dalam mengoperasikan sebuah software. Kami lebih memberatkan pada konsep. Di sinilah letak mahalnya sebuah karya kami. Bukan pekerjaan yang dilakukan tetapi konsep yang diaplikasikan menjadi sebuah pekerjaan,” tukasnya.

Perkumpulan desain logo yang berlangsung seminggu sekali itu lantas diberi nama Rewo-Rewo Community. Di antara mereka pun lantas membuat sebuah grub melalui FaceBook,. Rewo-Rewo sendiri artinya bermacam-macam, diambil dari bahasa Jawa Werno-Werno. Sejak saat itu tahun 2012 Rewo- Rewo Community terbentuk dengan tujuan sebagai wadah, sarana, dan ajang untuk berkumpul. “Kami terdiri dari beaneka macam latar belakang baik pendidikan, sosial, agama, ekonomi. Usia kami pun bermacam-macam, dari yang muda sampai yang seusia saya,” tutur Abdul. Kini komunitas tersebut memiliki 250 anggota, 40 diantaranya berusia di atas 40 tahun. Latar belakang pendidikan pun kebanyakan mereka hanya lulusan SMP dan SMA.

Rewo-Rewo Community memiliki misi yakni pembelajaran anggota tentang desain grafis dan pemahaman etika berkompetisi sehingga menjadi kontestan desain dalam bidang desain grafis yang professional. Visi mereka adalah ikut serta berperan aktif dalam meningkatkan taraf hidup rakyat Indonesia dengan target minimal memutus mata rantai, mengadu nasib di kota besar dan atau di luar negeri demi menjaga martabat bangsa sesuai dengan UUD 1945.

Abdul sengaja tidak mengenalkan kedua putranya untuk belajar desain sejak dini. Ia memiliki alasan, jika anaknya sudah mengenal desain dan mengonteskannya, si anak akan mengenal uang lebih dulu dan tidak ingin sekolah. “Meskipun saya dulunya hanya sopir bus pendidikan anak tetap nomor satu. Saya sempat mengenalkan desain ke mereka, tapi sekarang mereka tidak boleh dulu. Yang saya takutkan adalah ketika mereka sudah mengenal uang, mereka akan beranggapan tidak usah sekolah saja bisa dapat uang, ngapain sekolah. Saya akan kenalkan mereka di waktu yang tepat,” tukas Abdul yang kini putranya sudah masuk bangku kuliah dan SMA.

Harapan Abdul Bar:

“Saya sudah tidak ada harapan lagi untuk kampung ini, karena penghasilan mereka sudah di atas UMR semua. Lewat komunitas dan desain ini saya ingin memutus mata rantai lewat anak-anak muda. Kalau ibunya hijrah ke kota besar atau jadi TKI ke luar negeri, lewat anak-anak ini kemiskinan diputus. Harapan saya adalah memutus mata rantai secara nasional. buruh tidak punya skill ke mana-mana tetap akan jadi buruh. Setidaknya mereka harus punya skill, supaya kehidupan menjadi lebih baik,” harap Abdul.