Beda Riset, Beda Teknologi

Riwayat Baequni, BJ Habibie dan Kementerian Ristek adalah riwayat gagalnya Indonesia mewujudkan kedaulatannya di ilmu ilmu murni juga kedaulatan modal pengembangan teknologi.

Rabu, 29 Juli 2020 | 12:01 WIB
0
309
Beda Riset, Beda Teknologi
Soekarno (Foto: Facebook/Anton DH Nugrahanto)

Ada salah satu pos kementerian yang sifatnya rancu, namanya Menristek. Harusnya Kementerian ini hanyalah Menteri Riset Ilmu Ilmu Murni, bukan Teknologi. Dulu tahun 1977 Pak Harto kesengsem sama BJ Habibie, dan Pak Harto mengira Ilmu Murni bisa digabungkan dengan Teknologi. Padahal Teknologi itu bukan lagi ilmu murni tapi sudah masuk ke dalam Ilmu Terapan.

Diciptakannya Kementerian Riset adalah ide dari Menteri Pendidikan Mangunsarkoro 1950 yang kemudian diterjemahkan dalam pemikiran Djuanda di tahun 1960 yang saat itu sedang keranjingan menciptakan riset luar angkasa di satu sisi dan riset ilmu atom di sisi lain. Laporan soal ide riset dari Mangunsarkoro ini disampaikan pada Bung Hatta, dan Bung Hatta sangat paham sekali tentang mengembangkan ilmu ilmu murni.

Baca Juga: Presiden Soekarno dan Peta Dunia

Pemikiran Mangunsarkoro justru baru terlaksana 10 tahun kemudian. Djuanda meminta Bung Karno membangun pusat pusat riset. Nah Bung Karno yang baru saja keliling dunia mendapatkan pencerahan dalam tangkapan pemikirannya tentang dinamika dunia, bahwa dunia sedang merancang terciptanya lebensraum (ruang hidup) baru di luar angkasa.

Karena itulah Bung Karno meminta Djuanda untuk mengembangkan Makrokosmos dan Mikrokosmos, sebutan Bung Karno soal alam Makro dan alam Mikro sangat berhubungan dengan cara pandang orang Jawa menyelami alam dan tanda tanda alam yang menyertainya.

Dalam dunia riset dan pengetahuan saat itu memang berkembang pemikiran Atom bukan lagi teori atom dasar seperti Teori Dalton di abad 19, pandangan pandangan atom Niels Bohr sudah mulai mendapatkan tempat dalam menyelidiki lebih lanjut bagaimana alam bekerja, pada masa Bung Karno berkembang secara maju Teori Mekanika Kuantum, saat itu laporan laporan jurnal luar negeri sangat dinikmati para ilmuwan universitas lokal dan menjadi gejala umum gairah memburu pengetahuan.

Bung Karno sangat suka dengan ilmu riset murni dan memerintahkan sarjana sarjana Indonesia mencari pendidikan soal Ilmu Atom dari sekian banyak sarjana Republik yang menonjol justru ilmuwan dari Kota Solo bernama Baiquni, ia diperintahkan Bung Karno belajar ilmu Atom di Amerika Serikat.

Sementara untuk pengembangan teknologi, Bung Karno ternyata menitikberatkan pengembangan teknologi dirgantara. Di tahun 1950-an ada seorang mahasiswa ITB yang matanya terkagum kagum pada Bung Karno saat Bung Karno memberikan wejangan kepada para mahasiswa yang akan berangkat ke Jerman Barat untuk belajar ilmu teknologi.

Mahasiswa muda itu bernama BJ Habibie, tertarik dengan mata Habibie yang berbinar binar Bung Karno menepuk kepala BJ Habibie seperti seorang Bapak pada anaknya, “Aku yakin kamu akan jadi orang besar” kata Bung Karno pada Habibie muda.

“Satu saat nanti Indonesia akan memiliki kedaulatan dirgantara. Apa itu kedaulatan Dirgantara: seluruh pesawat pesawat yang terbang di atas langit Nusantara adalah pesawat buatan Republik, dan ...seluruh pulau pulau sambung menyambung jadi satu oleh pesawat buatan bangsa kita itu,” kata Bung Karno dan BJ Habibie makin semangat berangkat ke Jerman Barat.

Agenda transfer teknologi dari Indonesia ke Jerman Barat dikerjain oleh tokoh Murba yang dikejar kejar Nasution namanya Chaerul Saleh. Tokoh flamboyan Chaerul Saleh yang kemudian meninggal di WC dalam kamar tahanan Orde Baru itulah yang keras pada Bung Karno bahwa masa depan teknologi itu di Jerman Barat bukan Jerman Timur ataupun Cekoslowakia.

“Teknologi orang orang Sosialis itu usang, yang maju Jerman Barat seraya Chaerul Saleh menyebut masa depan teknologi itu di Mercedes Benz bukan di Volkswagen,” kata Chaerul Saleh saat bertemu Sukarno di Istana.

Akhirnya Chaerul Saleh diperintahkan Presiden Sukarno membawa anak anak muda berpengetahuan teknologi ke Jerman Barat. Tradisi Jerman Barat sebagai kiblat teknologi Indonesia terus berlangsung sampai jaman Orde Baru.

Di tahun 1968, Soemitro Djojohadikusumo sudah datang dari pelariannya. Oleh Suharto, Soemitro ditempatkan sebagai Menteri Perdagangan. Seorang Jenderal Orde Baru berkata pada Pak Cum, “Anda seharusnya belum boleh disini,” kemudian dijawab ketus oleh Pak Cum, “Ya, tapi saya sudah di sini.”

Penempatan Soemitro Djojohadikusumo di kabinet dalam pandangan politis seperti menerima kembali PSI (Partai Sosialis Indonesia) ke dalam struktur kekuasaan dan ini tidak begitu saja diterima para petinggi militer di Jakarta yang pernah secara langsung perang di Sumatera dan Sulawesi melawan separatis PRRI dan Permesta.

Tapi Suharto punya cara pandang lain, ia sengaja menempatkan Soemitro yang ditembaki secara politis oleh kelompok militer, tapi berharap gerbong anak didik Pak Cum mengarah pada dirinya, anak didik itu dibina Pak Cum dan dikenal sebagai “Mafia Barkeley”. Dan Presiden Suharto tahu Pak Cum punya sifat arogan seperti D’Artagnan salah satu dari Empat Muskeeter (dimana sebenarnya D’Artagnan Muskeeter yang paling hebat) dalam cerita punggawa Raja di Perancis.

D’Artagnan memisahkan diri dari tiga kawannya, sama persis seperti Soemitro Djojohadikusumo memisahkan diri kawan kawan PSI-nya. Di sini Pak Harto bisa memainkan peran mengatur orang orang PSI agar tak terlalu mengganggu.

Baca Juga: Merangkai Jejak Trah Soemitro di Freeport

Namun posisi Soemitro di Kementerian Perdagangan Orde Baru menjadi gangguan bagi kelompok kelompok penguasa baru yang ingin menguasai jalur perdagangan termasuk perdagangan cengkeh di,mana banyak kroni kroni keluarga Bu Tien mulai bermunculan, dan Soemitro galak menghadapi lalu terjadilah Soemitro digeser ke Menteri Riset tahun 1972.

Di sepanjang tahun 1970 seluruh anak didik Pak Cum berhasil diakuisisi Suharto, dan Suharto sengaja menempatkan Bappenas sampai Kementerian Keuangan di bawah kendali anak anak didik Soemitro, karena ia yakin Soemitro adalah Intelektual yang bisa dikendalikan, karena satu hal: dialah satu satunya orang yang berani head to head dengan Sukarno.

Begitulah nasib Soemitro, “anak buahnya dipakai, tapi dia disingkirkan ke Menteri Riset”. Kepandaian Suharto mengatur game power ternyata tidak dibarengi kecerdasan membaca persoalan seperti Sukarno. Bila Bung Karno sangat keranjingan dengan perkembangan ilmu atom yang saat itu sudah memasuki fase mekanika kuantum dan punya prospek pengembangan ke segala arah dari biologi sampai fisiologi maka Pak Harto “nggak ngeh” dengan ilmu murni.

Bila Bung Karno mengembangkan teknologi dirgantara dibarengi dengan pengembangan armada AURI, sehingga pengembangan teknologi banyak dipegang para perwira cerdas AURI, maka di jaman Pak Harto peran AURI dipinggirkan karena kecurigaan pada kelompok kelompok Marsekal Omar Dhani yang dibui oleh Orde Baru. Pak Harto memisahkan pengembangan teknologi udara antara militer dan sipil. Untuk pengembangan industri pesawat sipil diserahkan total pada BJ Habibie.

Beberapa saat BJ Habibie pulang dan dibawa oleh Ibnu Sutowo, beberapa minggu kemudian sudah terpapar blueprint industri nasional di meja ruang tamu Pak Harto di Cendana.

Sebenarnya posisi Menteri Riset akan ditempatkan oleh Baiquni, tapi menurut laporan intelijen Profesor Baiquni tidak “bersih lingkungan” tapi Prof. Baiquni tidak disingkirkan oleh Pak Harto. Prof Baiquni tetap pegang posisi di BATAN, Badan Tenaga Atom Nasional. Kemudian di tahun 1980-an menjadi Dubes di Swedia, karena pemerintah menganggap di sana negerinya Ilmu Murni Fisika Nuklir.

Ada tiga orang yang tidak begitu digunakan padahal potensial dalam pengembangan ilmu murni, Prof. Baiquni, Prof Doddy Tisna Amidjaja dan Prof. Andi Hakim Nasution. Di masa Orde Baru ilmu murni lari di tempat.

Kementerian Riset yang awalnya posisi buangan di masa Orde Baru menjadi penting karena di situ ternyata ditempatkan pengembangan teknologi.

Di satu sisi pengembangan teknologi menjadikan Kementerian Riset naik daun dan punya anggaran yang mengarah pada proyek proyek punya visi, tapi secara filosofis kementerian riset kehilangan aura-nya sebagai pengembangan ilmu ilmu murni, karena di masa BJ Habibie semuanya keranjingan teknologi, pengembangan ilmu murni seolah dilupakan oleh Kementerian Riset dan Teknologi.

Baca Juga: Salah Sangka tentang Habibie

Di masa Orde Baru, pengembangan ilmu murni sama sekali tak terjadi. Pusat Pusat Riset seperti laboratorium penuh hantu, sepi bagai kuburan. Riset Riset justru dikembangkan oleh Universitas Universitas dengan inisiatif mandiri tapi di sisi lain pengembangan teknologi terus dilakukan sampai pada puncaknya di tahun 1995.

Tapi pada akhirnya industri teknologi dihancurkan oleh Nekolim. Penghancuran agenda agenda politik BJ Habibie soal kawasan industri di seluruh wilayah produktif Indonesia dihancurkan tanpa bekas bahkan semua pesawat lokal dipaksa pakai produksi Amerika, tak ada lagi pesawat Indonesia.

Riwayat Baequni, BJ Habibie dan Kementerian Ristek adalah riwayat gagalnya Indonesia mewujudkan kedaulatannya di ilmu ilmu murni juga kedaulatan modal pengembangan teknologi.

Politik ilmu modal harus dipelajari lagi, apalagi bangsa kita sekarang sangat terasing dalam strategi strategi pengembangan jangka panjang. Bahkan untuk berpikir tahap Suharto saja belum sampai apalagi berpikir seperti Sukarno.

Sudah saatnya kita bangkitkan lagi kenangan akan pemikiran pemikiran besar ini.........

Anton DH Nugrahanto

***