Nasi Anjing dalam Dunia Periklanan

Orang-orang yang menggagas bagi-bagi nasi anjing ini orang-orang pintar yang paham soal dunia komunikasi pemasaran dan periklanan.

Rabu, 29 April 2020 | 10:36 WIB
1
456
Nasi Anjing dalam Dunia Periklanan
Nasi anjing (Foto: vivanews.co.id)

Lagi ramai ribut-ribut soal nasi anjing. Nasi bungkus yang dibagikan untuk berbuka puasa ummat Islam di sebuah masjid di kawasan Jakarta Utara, sebuah tempat yang dulu ada catatan kelam pernah terjadi di sana.

Saya tertarik melihat kemasannya.

Pada kertas pembungkus cokelatnya tertulis cap stempel warna biru dengan gambar ilustrasi logo muka anjing:

Nasi Anjing
nasi orang kecil
bersahabat dengan nasi kucing
#jakartatahanbanting

Saya mau bahas ribut-ribut nasi anjing dari sisi komunikasi pemasaran dalam periklanan, dunia kerja yang pernah saya geluti selama lima tahun sebagai copywriter (penulis naskah iklan) di tiga perusahaan periklanan yang berbeda-beda, 1994-1999.

Memilih atau menentukan nama sebuah brand itu, selain harus mempelajari jenis dan kandungan bahan produk yang akan dijual, tentu saja ada risetnya. Nama sebuah brand itu harus merepresentasi keunggulan, kualitas, dan harus ada sesuatu yang menjadi pembeda dibanding produk-produk brand kompetitor.

Sebagai contoh produk-produk mie instant. Di Indonesia dulu, seingat saya, cuma ada satu nama produk untuk mie instant. Namanya Super Mie. Lalu muncul nama Indomie, yang kemudian tidak saja mengalahkan Super Mie tapi justru mengakuisisinya juga.

Nama Indomie ini cepat populer, selain jaringan distribusi dan kualitas produk sesuai lidah kebanyakan orang, karena namanya yang (gampang) diingat dan seperti nama negara kita Indonesia. Indomie ini juga sebagai nama produk perusahaannya, Indofood.

Singkat kata Indomie adalah produk mie berkualitas dari Indofood yang rasanya sesuai selera orang Indonesia yang akan mudah diterima di pasar karena namanya mudah diingat dan seolah-olah itulah mie instant-nya orang Indonesia.

Dengan demikian, didukung jaringan yang luas dan reputasi nama perusahaan yang terkenal sebagai penyedia makanan berkualitas milik seorang konglomerat, Indomie langsung melejit memimpin pasar mie instant di Indonesia dengan mengalahkan pendahulunya yaitu Super Mie.

Dan yang tak kalah penting sebuah produk atau brand, selain logo nama produk dengan tipe huruf tertentu, harus memiliki tagline alias semboyan. Tagline ini adalah semacam deskripsi singkat tentang kekuatan kualitas dan pembeda sebuah brand dengan brand lainnya sehingga menjadi alasan mengapa orang harus membeli brand itu.

Mengapa tagline Indomie itu “Seleraku”? Karena frasa kata “seleraku” menggambarkan makanan yang enak yang harus kita coba dan kalau bisa kita jadikan makanan sehari-sehari sebagai pengganti nasi.

Kata “seleraku” ini juga menggambarkan produk mie instant ini dibuat dengan berbagai bumbu masakan yang dapat menggugah selera makan. Dan kata “seleraku” menjadi sebuah pembeda yang sangat kuat bahwa selera orang-orang yang makan Indomie itu lebih oke dibanding orang-orang yang makan mie instant merek lain.

Baca Juga: Nasi Anjing, Buat Apa?

Saya rasa orang-orang yang menggagas bagi-bagi nasi anjing ini orang-orang pintar yang paham soal dunia komunikasi pemasaran dan periklanan.

Mereka sangat serius menggarap nasi bungkus ini. Sampai sempat-sempatnya memberi nasi bungkus ini dengan nama produk (Nasi Anjing) dan logo produk (ilustrasi muka anjing) dengan tagline “nasi orang kecil bersahabat dengan nasi kucing” bahkan pakai penanda hashtag (#jakartatahanbanting) yang biasa dipakai untuk kampanye satu isu di media sosial seperti Instagram dan Twitter.

Apalagi salah satu penggagasnya sampai menjelaskan apa itu Nasi Anjing: nasi bungkus yang lebih banyak isi lauk-pauk dan nasinya dibanding nasi kucing (sebutan untuk nasi putih dengan lauk tempe atau ikan atau teri yang porsinya seperti untuk makanan kucing biasanya untuk konsumsi tukang becak, buruh, dan mahasiswa yang dijual sangat murah di pinggir jalan dengan gerobak bertenda atau disebut warung angkringan yang banyak kita temui di Kota Yogya dan Solo tapi kini dikenal juga di Jakarta dan kota-kota lainnya).

Ia bahkan menambahkan di dalam Nasi Anjing ada visi misi tentang kesetiaan seperti sifat seekor anjing dikaitkan dengan situasi wabah coronavirus yang saat ini lagi melanda negara kita.

Orang-orang pintar penggagas Nasi Anjing ini cuma tidak punya otak saja.

Mereka tidak berpikir bahwa kata anjing itu masih sangat sensitif buat mayoritas bangsa Indonesia yang beragama Islam.

Nasi Anjing - walau dibungkusnya dikasih label kata HALAL sekalipun seperti produk sebuah lemari es dari Jepang - tidak akan mudah diterima begitu saja oleh jamaah masjid yang sedang menahan rasa lapar karena mereka punya sensor di dalam keyakinannya soal halal dan haram.

Dan kesalahan fatal mereka adalah membagikan Nasi Anjing untuk makanan berbuka puasa di sebuah masjid di kawasan Jakarta Utara yang masih menjadi basis kelompok Islam fanatik.

Semoga semua orang-orang pintar tapi goblok, seperti para penggagas Nasi Anjing ini, ikut enyah bersama wabah coronavirus. 

***