"Lockdown", Solusi Atau Masalah?

Pemerintah Pusat dan Daerah harus rajin turun ke bawah, gerakan semua sumber daya sampai tingkat Kelurahan dan RT/RW melakukan edukasi.

Minggu, 15 Maret 2020 | 18:10 WIB
0
426
"Lockdown", Solusi Atau Masalah?
Lockdown (Foto: nytimes.com)

Lockdown atau singkatnya mengkarantina seluruh area di mana pergerakan seseorang dibatasi, berdiam di rumah dengan pengawasan ketat dan suplai makanan dari pemerintah. China bisa disebut sukses melakukan ini di Wuhan. Dengan segenap kuasa absolut dan tingkat kepatuhan masyarakat yang tinggi, pergerakan warga dapat dikunci sehingga penyebaran ditekan serendah mungkin.

Itali coba melakukan hal yang sama di awal. Ya, kawasan Italia Utara di-lockdown. Hasilnya? Banyak masyarakat yang justru akhirnya keluar dari utara dan berbondong pindah ke selatan. Kelambanan pemerintah Itali dalam mengawal area dan transportasi umum membuat warga di utara memiliki ruang yang cukup untuk "kabur" menuju selatan. Akhirnya yang terjadi adalah Superspreader, penyebaran masif,  jumlah penderita di Italia melonjak. Sekarang ini Italia terpaksa me-lockdown seluruh negara.

Kemarin, Manila melakukan hal yang mirip. Presiden Duterte sendiri yang malah langsung mengumumkan lockdown. Hasilnya? Warga Manila berbondong-bondong keluar memenuhi jalan tol dan bandara sebelum lockdown berlaku. Entah apa yang terjadi di Filipina beberapa waktu ke depan. Mudah-mudahan tidak terjadi superspreader atau penyebaran masal akibat masifnya perpindahan warga ke lokasi yang tidak di-lockdown.

Di Indonesia, tak kurang gencar usulan dari berbagai kalangan untuk lockdown. Paling tidak untuk kota tertentu. Bagaimana andai ini diterapkan? Sukses seperti China atau malah akan mengikuti Italia?

Saya pikir tak sulit menerka bahwa kemungkinan kedualah yang akan terjadi.

Masih banyak masyarakat kita yang kurang memahami soal Corona termasuk etika atau tindakan pencegahan sederhana. Masih banyak yang lebih pusing memikirkan hal seperti, "Besok bisa makan ngga ya?"  Atau, "Gimana cari makan buat besok?".

Negara ini belum sekaya China, pun tingkat pendidikannya masih jauh dibanding Singapura. Yang saya kuatirkan andai kota "se-elit" Jakarta di-lockdown pun, alih-alih berhasil mengontrol pergerakan massa, yang ada malah kemungkinan panik dan hijrah masal.

Masyarakat menengah bawah yang harus bekerja dengan upah harian mustahil tinggal diam. Bisa jadi aksi protes akan berujung chaos, aksi penjarahan dan kriminal karena kuatir kelaparan akibat lockdown. Belum lagi ada potensi oknum untuk menunggangi isu, menciptakan kerusuhan dan guncangan sosial, politik dan ekonomi lebih besar. Jangan kesampingkan itu.

Lalu, siapa yang bisa menjamin suplai makanan dr pemerintah mampu menjangkau setiap sudut kampung Jakarta? Andai suplai makanan cukup pun, apa negara sanggup membayar upah harian setiap warga terdampak? Ada rumah kontrakan yang harus tetap dibayar, uang sekolah atau kebutuhan sehari-hari di luar makanan. Mampukah negara menjangkau semua warga terdampak?

Kelas mennegah atas? Sebagian pasti berpikir layaknya warga Italia dan Manila. "Ngapain repot di Jakarta, mending ke luar". Ya, mereka punya daya beli lebih baik. Akibatnya? Pergerakan masif dan masal pindah lokasi, yang justru bisa memicu super spreader, menyebabkan virus menyebar lebih luas dan cepat. Backfire!

Lockdown mungkin efektif di China. Melawan, tembak. Selesai. Siapa yg bernai protes? Dan mereka kaya. China sanggup walk the talk. "Lu diem, kebutuhan lu gw penuhi. Gw punya banyak duit". Kasarnya begitu. Indonesia?

Situasi sosial, ekonomi, politik dan budaya di sini jauh berbeda. Lockdown, alih-alih mengunci penyebaran, malah bisa berujung super spreader karena pergerakan massa justru bisa di luar kendali.

Karena itu sejak awal saya melawan ide ini. Bukan karena tak ingin, tapi tidak cocok. Seburuk apapun data di tangan, solusi akan selalu terikat dengan konteks sosial, politik, ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Jadi harus dilihat secara keseluruhan, bukan partial penanganan virusnya saja.

Italia dan Manila sudah jadi bukti keras bahwa lockdown bukannya berhasil mengunci pergerakan, sebaliknya, malah membuat panik dan berujung perpindahan masal yang bisa mengakibatkan super spreader.

Karena itu, social distancing atau mengurangi aktivitas sosial ke luar rumah ketika tidak darurat atau perlu, seperti yang saat ini dijalankan, rasanya lebih cocok. Kurangi aktivitas sosial, kerumunan, batasi jam buka tempat umum seperti mall dan yang tak kalah penting, intensif melakukan edukasi di masyarakat.

Yang terakhir ini saya belum lihat wujudnya padahal edukasi sesederhana cuci tangan dan etika batuk, sampai soal penggunaan masker akan sangat masif efeknya andai bisa dipahami banyak orang. Ini adalah garis terdepan dalam perang melawan virus. Menang di pos ini akan sangat membantu pasukan di garis belakang.

Pemerintah Pusat dan Daerah harus rajin turun ke bawah, gerakan semua sumber daya sampai tingkat Kelurahan dan RT/RW melakukan edukasi. Ini akan efektif menjangkau masyarakat menengah bawah dan impactnya akan luar biasa signifikan. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

***