Yang sama lucunya dengan pertarungan abadi soal makan bubur itu harus diaduk atau enggak. Yang sama sama lupa bahwa terlepas perbedaannya bubur itu dimakan juga.
Yaollo.... pulang kampung sama mudik kok diperdebatkan. Kentara bahwa kita ini bisa baca tapi gak bisa nangkap apa yang kita baca. Apalagi jika dikaitkan dengan konteks.
Jelas Pak Jokowi merujuk pada terminologi mudik yang pada umumnya dipahami. Mudik itu erat konteksnya dengan Lebaran.
Selesai.
Pulang kampung atau pulkam belum tentu mudik. Karena bisa dilakukan kapan saja. Bolehkah pulkam disebut sebagai mudik? Ya boleh tapi pasti diikuti kalimat penjelasnya.
Gua baru bisa mudik sekarang karena lebaran kemarin gua harus kerja...
Atau yang di luar negeri.
Gua mudik bro... dapet cuti dua Minggu mumpung winter di sini..
Pulkam gak balik lagi? Atau pemudik gak balik lagi?
Ini yang abu-abu. Karena dua istilah itu tidak menjamin orang gak balik lagi ke tempat dia cari idup. Contohnya ART yang mudik tapi gak balik lagi. Atau yang pulang kampung sebentar terus balik lagi ke kota atau ke negara yang manggil lagi dia untuk kerja.
So penjelasan Pak Jokowi itu harusnya diletakkan dalam konteks ini. Yang sangat common sense. Yang ingin membedakan bahwa mudik itu bak eksodus besar-besaran. Sementara yang pulang kampung itu bisa perorangan atau rombongan lebih kecil yang sifatnya sporadis dan tersebar baik tempat maupun waktu.
Sesederhana itu.
Tapi bukan netizen namanya kalo gak julid dan suka gelud nirfaedah. Yang sama lucunya dengan pertarungan abadi soal makan bubur itu harus diaduk atau enggak. Yang sama sama lupa bahwa terlepas perbedaannya bubur itu dimakan juga.
Sama dengan pulkam dan mudik. Terlepas perbedaannya rasanya sama juga. It is good to be back home again. Sometimes the old farm feels like a long lost friend.
Yang tahun ini kita mesti tunda dulu.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews